Showing posts with label England Writer. Show all posts
Showing posts with label England Writer. Show all posts

Saturday, May 7, 2016

[Review] Murder on the Orient Express by Agatha Christie

Title: Murder on the Orient Express
Author: Agatha Christie
Publisher: Harper Collins (Agatha Christie Signature Edition)
Published: June 4th, 2007
Page: 347p
ISBN: 9780007119318
Bought at Kinokuniya Plaza Senayan 133K

Berada dalam Orient Express, Hercule Poirot sedang menuju London ketika kereta yang ditumpanginya itu berhenti ditengah malam karena tumpukan salju direl kereta. Keesokan harinya, sebuah mayat ditemukan dalam kompartemen terkunci dengan dua belas luka tusuk. Korban adalah Simon Rachett, seorang milyuner yang sehari sebelumnya sempat menghampiri Poirot dan meminta bantuan karena mengaku dirinya sedang dalam bahaya, namun Poirot menolak bekerja padanya. Atas permintaan temannya, M. Bouc, Direktur dari perusahaan yang mengatur Orient Express, yang kebetulan sedang berada di kereta yang sama, Poirot pun harus memulai penyelidikan dan mencari pembunuh Rachett diantara para penumpang. Ada 14 orang penumpang (termasuk Rachett dan Poirot) dan seorang kondektur di dalam gerbong yang sama dengan Poirot dan Rachett.

Wednesday, December 2, 2015

[Review] "Cerita Detektif tanpa Detektif" [And Then There Were None by Agatha Christie]

Title: And then there were none
Author: Agatha Christie
Publisher: Harper Collins
Published: March 2003
Pages: 317p
ISBN:  9780007136834

Ten Little Soldier Boys went out to dine; One chocked his little self and then there were nine.
Nine Little Soldier Boys stayed up very late; One overslept himself and then there were eight.
Eight Little Soldier Boys travelling in Devon; One said he’d stay there and then there were seven.
Seven Little Soldier Boys chopping up sticks; One chopped himself in halves and then there were six.
Six Little Soldier Boys playing with a hive; A bumblebee stung one and then there were five.
Five Little Soldier Boys going in for law;  One got in Chancery and then there were four.
Four Little Soldier Boys going out to sea; A red herring swallowed one and then there were three.
Three Little Soldier Boys walking in the zoo; A big bear hugged one and then there were two.
Two Little Soldier Boys sitting in the sun; One got frizzled up and then there was one.
One Little Soldier Boy left all alone; He went and hanged himself and then there were none.

Sepuluh orang asing menerima undangan dari seorang tuan rumah yang mengklaim dirinya sebagai pemilik Soldier Island, dan mengharapkan sepuluh orang ini untuk datang dengan tujuan yang berbeda-beda. Tepat pada harinya, mereka tiba di Soldier Island, namun alih-alih menemukan tuan rumah, mereka hanya bertemu dengan dua orang pelayan yang juga tak pernah bertemu dengan tuan rumah yang sebenarnya. Soldier Island terisolasi dari kota dimana semua orang tinggal dan perlu perahu serta laut yang tenang untuk bisa bolak-balik dari pulau itu ke kota terdekat. Awalnya mereka menikmati rumah dan pulau yang terasa seperti milik sendiri, tetapi ketika malam tiba dan orang pertama mati didepan mereka, barulah mereka sadar kalau mereka tidak sedang berlibur, tetapi justru sedang berada dalam bahaya besar yang kapan saja bisa mengambil nyawa mereka. Sajak yang ada dibagian awal review ini tergantung di kamar setiap orang dan membaca sajak ini serta menyaksikan kematian demi kematian, mereka sadar kalau hidup mereka sedang dipermainkan selayaknya bunyi sajak tersebut. Namun akankah sajak itu berhasil dibunyikan dengan sempurna dalam kehidupan nyata di Soldier Island?  

Thursday, October 15, 2015

[Review] The Murder of Roger Ackroyd by Agatha Christie

Title: The Murder of Roger Ackroyd
Author: Agatha Christie
Publisher: HarperCollins
Published: April 2nd 2002
Page: 368p
ISBN: 9780007141340

Cerita dengan tema pembunuhan acap kali saya hindari, sampai saya hampir tidak punya buku dengan tema pembunuhan di rak buku rumah. Tetapi ketika saya menemukan sebuah rak yang berisi buku-buku Agatha Christie dengan cover baru terbitan Harper di Kinokuniya Bangkok, sulit untuk menghindar dari rak cantik itu, kelihatannya akan sangat bagus kalau buku-buku ini pindah ke rak buku sendiri. Saya belum pernah membaca buku Agatha Christie, kalau pun pernah mungkin sudah sangat lama sampai saya tidak ingat lagi judulnya, tetapi dengan bantuan rekomendasi dari seorang teman, saya pun membawa The Murder of Roger Ackroyd dan And There Were None pulang ke Indonesia menjadi koleksi Agatha Christie yang pertama. Baru belakangan pun saya tahu kalau dua buku ini juga masuk dalam Top 10 Agatha Christie Novel versi The Guardian, what a great start I thought to start collecting them, thanks to kak Astrid for recommending it.

Monday, December 23, 2013

[Review] Black Beauty by Anne Sewell

Title: Black Beauty
Author: Anna Sewell
Publisher: Orange Books
Published: 2010
Pages: 388p
ISBN: 978-602-8436-84-7

Para penulis klasik sering kali menjadikan buku mereka sebagai sarana kritik terhadap orang-orang dengan pandangan tertentu atau birokrasi tertentu. Buku ini pun memiliki dasar yang serupa, sejak awal memaparkan sifat-sifat manusia, mulai dari yang terbaik sampai yang paling memalukan. Keunikannya adalah, kisah menarik ini dituturkan melalui kacamata seekor kuda hitam yang dikenal dengan nama Black Beauty oleh mereka yang mencintainya.

Wednesday, October 30, 2013

[Review] The Remains of the Day by Kazuo Ishiguro


Title: The Remains of the Day (Puing-Puing Kehidupan)
Author: Kazuo Ishiguro
Publisher: Hikmah
Published: January 2007
Pages: 336p
ISBN: 979-114-023-5

Ada orang-orang yang mengejar kekayaan dalam hidup, ada yang mencari ketenangan dan mungkin hanya sedikit orang yang mengusahakan pelayanan sempurna kepada majikan tanpa maksud menumpuk harta. Melihat buku ini dari tampilan luar sedikit membuatku menebak-nebak, apa gerangan yang ingin disampaikan Ishiguro dalam tulisannya. Aku mencari sedikit petunjuk dari sinopsis di belakang cover dan mendapati bahwa buku ini bercerita tentang seorang kepala pelayan bernama Stevens yang bekerja di Darlington Hall dengan penuh dedikasi, sukses dan disebut bermartabat serta luar biasa, namun kehilangan beberapa hal yang dikorbankannya termasuk seorang wanita bernama Miss Kenton. Apakah buku ini lantas menjadi kisah “mengejar kembali cinta yang hilang”? Sejujurnya aku sempat berpikir seperti itu, namun apa yang kudapati ternyata sama sekali berbeda. 

Wednesday, July 31, 2013

[Review] Harry Potter and Deathly Hallows by JK Rowling


Title: Harry Potter and Deadly Hallows
Author : JK Rowling
Publisher: Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Pubslihed: Januari 2008
Pages: 1008p
ISBN: 978-979-22-3348-3

Buku ketujuh ini seharusnya menceritakan tahun ke-7 Harry berada di Hogwartz, namun peristiwa menyedihkan di akhir buku ke-6 memantapkan tekad Harry untuk meninggalkan Hogwartz dan melakukan tugas yang harus dipikulnya. Menjadi tugas Harry untuk menemukan Hocrux yang diciptakan oleh Sang Pangeran Kegelapan. Pecahan jiwa Voldemort tersimpan di dalam setiap Hocrux dan selama Hocrux itu masih utuh, Voldemort takkan pernah bisa dikalahkan.

Tuesday, July 30, 2013

[Review] Coraline by Neil Gaiman


Title: Coraline
Author: Neil Gaiman
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Published: November 2004
Pages: 232p
ISBN: 978-979-22-1111-5

SYNOPSIS
Di flat yang ditempati keluarga Coraline ada 21 jendela dan 14 pintu. Tiga belas pintu bisa membuka-menutup, pintu ke-14 dikunci, dan dibaliknya hanya ada tembok batu bata. Suatu hari Coraline membuka pintu itu, dan menemukan lorong ke flat lain, di rumah lain yang persis dirumahnya.
Mulanya semuanya tampak menyenangkan di flat itu. Makanannya lebih enak. Mainan-mainannya mengasyikkan. Tapi di sana ada ibu lain, ayah lain, dan mereka ingin menahan Coraline di situ selama-lamanya. Mereka ingin mengubahnya dan tidak melepaskannya lagi.
Di rumah itu juga ada anak-anak lain yang terperangkap, jiwa-jiwa yang dipenjara di balik cermin. Dan Coraline satu-satunya harapan mereka untuk selamat.

Sunday, July 28, 2013

[Review] Harry Potter and Half-Blood Prince by JK Rowling


Title: Harry Potter and Half-Blood Prince
Author: JK Rowling
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Published: Januari, 2006
Pages: 816p
ISBN: 979-22-1762-2

SYNOPIS – diambil dari sinopsis dibuku terbitan GPU.


Harry di tahun keenamnya di Hogwartz diangkat jadi kapten tim Quidditch Gryffindor heran sekali, mendadak Quidditch jadi sangat sangat populer. Banyak sekali anak yang mendaftar ingin masuk tim, bahkan sampai ada anak-anak Hufflepuff dan Revenclaw yang menyelundup. Tetapi seperti kata Hermione, “Bukan Quidditch yang ngetop, tapi kau!” Kau belum pernah semenarik ini, dan jujur saja, kau belum pernah sekeren ini...seluruh dunia sihir harus mengakui kau benar soal Voldemort telah kembali dan bahwa kau telah menghadapinya dua kali dalam dua tahun terakhir ini dan berhasil selamat dalam dua-duanya. Dan sekarang mereka menyebutmu ‘Sang Terpilih’ – nah coba, tidak bisakah kau melihat kenapa orang terpesona olehmu?”. Pantas saja gadis-gadis sampai nekat mau memberikan ramuan cinta kepada Harry. Namun Harry tidak memusingkan semua itu. Hanya ada satu gadis yang memenuhi pikirannya. Lagi pula dia sangat sibuk. Tahun ini Dumbledore memberinya pelajaran privat. Mempersiapkannya menghadapi musuh bebuyutannya, Lord Voldemort. Seperti dikatakan Ron, Dumbledore pasti tak akan membuang-buang waktu untuk memberinya pelajaran kalau dia menganggap Harry pecundang – dia pasti berpendapat Harry punya peluang! Harry mengira cita-citanya untuk menjadi Auror telah kandas, karena nilai Ramuannya tidak mencukupi. Namun dia keliru. Tahun ini Snape tidak lagi mengajar Ramuan, dan Harry menjadi yang paling pintar dalam kelas Ramuan – berkat bantuan Pangeran Berdarah-Campuran!

Tuesday, July 9, 2013

[Review] Pride and Prejudice by Jane Austen

Title: Pride and Prejudice
Author: Jane Austen
Publisher: Qanita
Published: Juli 2011 (Cetakan IV)
Pages: 588p
Genre: Classic Romance
Review for BBI Read Along on June (review telat banget)

Jane Austen adalah novelis asal inggris yang banyak menyajikan nuansa romance dalam karya-karyanya. Austen lahir di Hampshire Inggris dan memulai karyanya melalui novel pertamanya Sense and Sensibility yang diterbitkan pada tahun 1811. Elizabeth Bennet dalam Pride and Prejudice adalah tokoh favorit Austen, ia menjadikan Elizabeth Bennet sebagai salah satu tokoh perempuan yang paling banyak dikagumi dalam literatur Inggris. Apa yang membuat Elizabeth Bennet begitu istimewa? Diawal buku terbitan Qanita ini, dikatakan bahwa “perangainya yang tegas, feminis, dan pada saat bersamaan ceria” merupakan hal-hal yang membuat wanita ini istimewa. Mengapa Elizabeth Bennet harus diciptakan bersinggungan dengan feminisme? Ada apa dengan masyarakat inggris saat itu?

Monday, May 27, 2013

[Review] Harry Potter & the Order of Phoenix by JK Rowling


Title: Harry Potter & the Order of the Phoenix
Author: JK Rowling
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Published: Januari 2004 (Cetakan ke-2)
Pages: 1200p
ISBN: 979-22-0651-5

Ehem..ehem..
Ehem..ehem..
Ehem..ehem..
Tak terasa event Hotter Potter sudah berlangsung 5 bulan dan sebentar lagi selesai. Walaupun beberapa buku sudah dibaca kesekian kali, tetap saja rasanya berat berpisah dengan petualangan Harry, tidak mau berhenti tertawa menyimak celetukan ron, tidak mau meninggalkan ide-ide brilian hermione, bahkan tidak keberatan harus menyimak orang seperti Umbridge yang sangat menyebalkan, asalkan tidak berpisah dengan petualangan Harry Potter. Harry Potter menjadi bacaan yang disukai anak-anak sampai orang dewasa, nilai-nilainya memberi pelajaran untuk semua usia, dan persahabatan yang disuguhi membuat saya secara pribadi sangat iri. 

Tuesday, May 21, 2013

[Review] Harry Potter & the Goblet of Fire by JK Rowling



Title: Harry Potter and the Goblet of Fire
Author: JK Rowling
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Published: Desember 2012 (Cetakan ke-21)
Pages: 896p
ISBN: 979-655-854-8

Serial Harry Potter pertama kali diterbitkan tahun 1997, diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 2000, dan pertama kali tayang di layar lebar tahun 2001. Di masa-masa itu, saya melewati masa smp dan sma tanpa sedikit pun mendengar dan melihat buku ataupun filmnya. Kalau mengingat masa-masa itu, entahlah saya sedang sibuk dengan hal apa *tepokjidat*. Di tahun ke-2 kuliah, banyak teman sering kumpul di kamar kos saya untuk sekedar ngobrol atau nonton film. Malam itu, mereka membawa film Harry Potter and Goblet of Fire untuk kami tonton bersama. Itulah perkenalan pertama saya dengan Harry dan petualangannya. Tidak perlu menunggu lama untuk jatuh cinta dengan karya Madam Rowling ini. Malam itu, teman-teman saya capek mendengar pertanyaan saya tentang Harry...kenapa dia punya bekas luka? Apa artinya? Siapa Voldemort dan kenapa semua orang takut padanya? Seorang teman lantas menyuruh saya untuk mulai dari film pertama, Harry Potter and the Sorcerer’s Stone. Dengan bermodalkan kenalan seorang penjaga rental VCD, saya pun memintanya mencari koleksi lamanya dan akhirnya berhasil membawa pulang tiga film yang berasal dari buku pertama sampai ketiga. Rasanya seperti menemukan teman baru, sesuatu yang benar-benar saya sukai. Setelah film, lalu dilanjutkan dengan buku, namun saya hanya mulai membaca buku kelima sampai tujuh, dengan asumsi sudah memahami cerita dari buku pertama sampai keempat lewat film. Terimakasih sekali lagi untuk Surgabuku yang memulai event Hotter Potter Reading Challenge ini, sehingga saya bisa membaca buku 1-7 dan khususnya buku keempat ini, untuk pertama kalinya sejak saya mengenal Harry lewat film yang dibawakan oleh teman-teman saya itu.

Sunday, March 31, 2013

[Review] Harry Potter and the Prisoner of Azkaban


Title: Harry Potter and the Prisoner of Azkaban
Author: JK Rowling
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Published: Desember 2012 (cetakan ke-23)
Pages: 534p
ISBN: 979-655-854-8

Banyak hal baru yang saya temukan dalam buku ini. Sejujurnya *malu* saya belum pernah baca buku Harry Potter yang ketiga ini dan karena itu banyak sekali konfirmasi atas kebingungan saya terhadap film yang saya tonton.



Apa yang baru saya sadari? 

Ron, Hermione dan Hagrid tetap berusaha mengirimkan hadiah dihari ulang tahun Harry. They are trully friend...so sweet :)

Hedwig sangat cerdas terbang ke tempat Hermione saat Hermione tidak punya cara mengirimkan hadiah ulang tahun untuk Harry. Hedwid ingin memastikan Harry mendapat hadiah di hari ulang tahunnya. I love Hedwig :)

Thursday, February 28, 2013

[Review] Harry Potter and the Chamber of Secrets




Dear Joanne Rowling,

Saya menikmati membaca buku anda sejak halaman pertama. Sulit sekali untuk menutupnya sebelum lembaran terakhir. Apa yang membuat imajinasi anda begitu luar biasa? Saya ingin duduk mendengar anda menuturkan bagian-bagian kesukaan anda dari buku yang anda tulis sendiri. Namun sebelumnya, ijinkanlah saya mengungkapkan hal-hal yang membuat saya banyak tertawa, iri, kaget, dan terpesona saat tenggelam dalam kehidupan Harry dan Hogwarts.

[Review] Oliver Twist by Charles Dickens



Kesulitan ekonomi dapat membuat manusia menjadi serakah, brutal dan tanpa belas kasihan. Bagaimana ketamakan manusia itu menguasainya dan apa efek luar biasa yang ditimbulkannya,  digambarkan dengan jelas oleh Charles Dickens dalam buku yang telah beberapa kali di sajikan lewat layar lebar ini. Banyak orang mengenal Oliver Twist lewat film yang pernah ditayangkan pada tahun 1948, 1968 (musikal), dan 2005. Oliver Twist pun berkali-kali masuk dalam nominasi Academy Awards dan pernah memenangkan penghargaan Oscar untuk kategori Best Picture. Namun sejujurnya saya belum pernah menonton satupun filmnya, sehingga rasanya menyenangkan sekali membaca buku ini tanpa clue sedikit pun tentang ide ceritanya.

Monday, January 28, 2013

Harry Potter and the Sorcerer's Stone



This my first time read Harry Potter and the Sorcerer’s Stone. I watched the movie instead of read the book. And as usual, after I saw the movie, I lost the will to read the original story from the book. In this New Year, there is a blog called Surgabuku, who make an event called HotterPotter to everybody who wants to join in Harry Potter re-reading challenge and that’s a door to me to see the detail words from JK Rowling. 

I prepared a synopsis for you who never read or watch a story of the boy who lived, here it is from Goodreads, hope it’s enough to give a drawing for you about him. And for you who know Harry Potter very well, you can skip this part: 

Friday, November 16, 2012

The Thirteenth Tale




“All children mythologize their birth. It is a universal trait. You want to know someone? Heart, mind and soul? Ask him to tell you about when he was born. What you get won’t be the truth: it will be a story. And nothing is more telling than a story.” ~ Diane Setterfield, the Thirteenth Tale

Margaret Lea telah menghabiskan sepanjang hidupnya berada di toko buku milik ayahnya. Ia bergaul dengan banyak penenun kisah yang berasal dari masa yang berbeda dengan masanya. Ia menyukai kisah klasik dan bersahabat dengan para tokoh klasik. Ia menyukai karya-karya mereka yang telah lama terlupakan. Margaret menjalani hidupnya seperti biasa, menyimpan ceritanya sendiri didasar hatinya dan berdiam diri bersama buku-bukunya. Jane Eyre, Wuthering Heights, The Woman in White menjadi sahabatnya. Ia menjalani kehidupannya dengan cara lama, sampai sebuah surat datang menghampirinya, dan semuanya pun berubah.

Vida Winter adalah seorang penenun cerita. Dongeng-dongengnya dikenal dunia namun kisah hidupnya tetap tinggal sebagai misteri. Ia sangat piawai merangkai sebuah kisah, menceritakan dongeng yang ingin didengar orang, memberikan ending yang membuat setiap orang puas, dan meninggalkan ruang kosong yang membuat setiap orang harus selalu menoleh kembali. Ruang kosong yang seharusnya diisi dengan kisahnya sendiri, namun ia membiarkannya tak terangkai. Tiga Belas Dongeng dan Perubahan Keputusasaan adalah karyanya yang meninggalkan misteri, buku yang setelah beredar dipasaran, ditarik kembali karena hanya memuat dua belas dongeng didalamnya. Dongeng ketiga belas tetap menjadi misteri, sampai seorang pemuda berjas cokelat datang menghampirinya dan memintanya “ceritakan padaku yang sesungguhnya”…saat itulah ia menulis surat kepada seseorang yang terlahir sebagai anak kembar. Mengapa Vida Winter memilih Margaret Lea? Mungkin karena ia pun akan menceritakan kisah anak kembar.

Margaret mengunjungi Vida Winter di rumahnya. Ia sepakat akan menjadi penulis biografi Vida Winter dengan beberapa kesepakatan. Setelah menyetujui bahwa tidak boleh ada lompatan cerita, Vida Winter menenun kisah puluhan tahun silam, kisah tentang keluarga Angelfield, tentang George Angelfied dan Mathilda, kisah Charlie dan Isabell, Adeline dan Emeline, Missus dan John-the-dig, serta kisah rumah yang mungkin berhantu.

Aku dan Margaret Lea, kami berdua sama-sama mendengarkan kisah ini dari mulut Vida Winter. Charlie dan Isabell adalah saudara kandung, Adeline dan Emeline adalah saudari kembar, Missus dan John-the-dig adalah pelayan yang setia sampai mati tetap melayani di rumah keluarga Angelfield. Ada banyak orang yang datang dan pergi, membawa aturan dan meninggalkan bekas yang membuat rumah Angelfield tidak pernah sama. Suasana rumah yang tidak terurus membuat semua tetangga menganggap rumah itu berhantu. Lalu bagaimana kisah mereka yang tinggal di rumah keluarga Angelfield?

Seseorang atau apapun itu menjadi menarik karena mengandung misteri dan buku ini sejak halaman pertama adalah sebuah misteri untukku. Ada banyak hal yang kusukai dari buku ini. Pertama, karena Margaret memiliki toko buku yang sangat kuinginkan. Kedua, karena Vida Winter menenun kisahnya menggunakan bahasa yang tidak biasa, dan Ketiga, karena kisah di buku ini tidak bisa kutebak. Aku bahkan harus membolak –balik beberapa bagian untuk kubaca ulang setelah sebuah rahasia terungkap, rahasia yang menurut Margaret sudah disadarinya namun tidak bisa kusadari, padahal kami berdua menempati posisi yang sama sebagai pendengar. Buku ini adalah referensi model baru untukku, gaya penuturan yang kusukai. Pada bagian awal, Vida Winter bercerita dari sudut pandang orang ketiga, kemudian dibagian tertentu, ia akan menggunakan “aku” untuk menuturkan ceritanya, kemudian aku pun melihat sudut pandang Hester, seorang guru yang pernah hadir dalam keluarga Angelfield, melalui buku hariannya.

Buku ini disebut-sebut sebagai sebuah karya bercirikan gothic yang mengingatkan pembaca pada nuansa klasik Wuthering Height dan Jane Eyre. Cara penuturannya mengalir dan mencekam tetapi indah. Jane Eyre terus menghiasi seluruh kisah dalam buku ini. Setiap karakter dalam buku ini memiliki daya tarik misteri, ada yang rasanya tidak pas, namun sepertinya mereka dibuat memang untuk maksud itu. Dan saat-saat Margaret sudah mulai memahami kisah Vida Winter, disaat yang sama ia membantu saya mampu memahaminya. Ketika rahasia mulai terungkap, Vida Winter dan Margaret Lea justru harus menghadapi kisahnya sendiri, hantunya sendiri, dan pergolakan jiwa mereka yang terus memaksa saya tetap tinggal sebagai satu-satunya pendengar terakhir.

“There is something about words. In expert hands, manipulated deftly, they take you prisoner. Wind themselves around your limbs like spider silk, and when you are so enthralled you cannot move, they pierce your skin, enter your blood, numb your thoughts. Inside you they work their magic.” ~ Diane Setterfield, the Thirteenth Tale

Itulah gambaran kesan selama membaca buku ini. Terimakasih untuk Gramedia telah berhasil menerjemahkan buku dengan mempertahankan gaya penuturan yang mempesona. Lima bintang kuberikan untuk penerjemah. Diane Setterfield adalah penulis asal inggris yang lahir pada bulan Agustus 1964. The Thirteenth Tale adalah novel pertamanya yang diterbitkan pada tahun 2006 dan langsung menjadi New York Times’s Bestseller. Well, this is Book Lover’s Book.


---------------------------------------------------------------------
Judul: The Thirteenth Tale (Dongeng ketiga belas)
Penulis: Diane Setterfield
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Maret 2009 (Cetakan II)
Tebal: 608 hal
ISBN: 978-979-22-4129-7
----------------------------------------------------------------------

Friday, March 30, 2012

[Review] Kisah seorang Putri kecil yang murah hati


Seorang gadis kecil kaya raya mungkin mampu menampilkan dirinya bak seorang putri raja, namun bagaimana jika gadis kecil itu miskin, kedinginan, dan kelaparan? Penderitaan seringkali mengubah hati seorang putri raja sekalipun menjadi sangat berbeda, pembaca dapat menarik kesimpulan pribadi setelah membaca kisah karya Francess Hodgson Burnett ini.

Sara Crewe dibawa oleh sang ayah dari India menuju sebuah sekolah asrama di London yang dipimpin oleh seorang perempuan berhati dingin bernama Miss Minchin. Miss Minchin yang sangat matrealistis itu menyambut Sara dengan pujian bertubi-tubi karena ia merasa bangga menyambut seorang yang sangat kaya raya akan bersekolah ditempatnya. Sara bukanlah seorang gadis kecil biasa, ia sering disebut sebagai “nyonya kecil” oleh ayahnya, Kapten Crewe, karena jalan pikirannya yang terkadang melampaui usianya. Sara yang cerdas langsung bisa menyadari karakter Miss Minchin, namun ia berusaha untuk bersikap dewasa dan tidak mengeluh. Ia membayangkan dirinya sebagai seorang serdadu di medan perang yang tidak boleh mengeluh. Setelah menyiapkan semua kebutuhan Sara, Kapten Crewe kembali ke India. Sara diberikan seorang pelayan, kamar yang indah, hadiah-hadiah yang membuat semua anak-anak lain di sekolah itu mengguminya bak seorang putri. Seperti biasa, dimana ada kekaguman, disitu juga biasanya terdapat kecemburuan dan iri hati. Banyak anak kecil yang menyukai dan memuja Sara, namun ada juga yang iri terhadapnya sehingga sangat membencinya. Sara tidak hanya baik hati untuk setiap teman sekolahnya, ia juga bersikap baik kepada seorang pembantu kecil bernama Becky. Becky yang setiap hari mendapat omelan dan selama hidupnya tidak pernah mendengar sapaan lembut untuk dirinya sangat memuja dan menyayangi Sara.
Sara-yang hanya melakukan sesuatu yang sangat disukainya melebihi apapun, karena Alam telah membuatnya menjadi orang yang murah hati – sama sekali tak punya bayangan tentang betapa besar arti dirinya bagi Becky yang malang, dan betapa dirinya adalah penyelamat” [hal 81] 
Suatu hari, saat sedang merayakan pesta ulang tahunnya dengan sangat meriah, ditengah semua kegembiraan yang sedang dibaginya bersama seluruh teman-teman asramanya, kabar buruk itupun datang menghampirinya. Kapten Crewe meninggal dunia karena demam yang dilandanya dan meninggalkan Sara tanpa warisan sepeser pun. Hidup Sara berubah semudah membalikan telapak tangan. Pesta ulang tahun langsung dihentikan, semua pakaian indah diambil daripadanya. Sara tak bisa lagi menempati kamar indahnya. Ia langsung ditempatkan di sebuah bilik di bawah atap bersebelahan dengan bilik Becky. Becky menjadi sahabat yang menghiburnya. Sejak saat itu, Sarah harus mengerjakan pekerjaan pembantu, mengajar anak-anak kecil dan seringkali tidak mendapat makanan sehingga ia harus tidur dengan perut kelaparan.

Sarah memiliki kebiasaan suka menceritakan dongeng, sehingga tidak heran, ia pun senang sekali berkhayal, namun khayalannya ini seringkali membantunya melewati masa-masa suram. Terkadang disaat kedinginan, sambil memandang sekeliling biliknya di bawah atap itu, Sarah membayangkan semua hal indah tentang tempat itu. Hal itu sangat membantunya mengobati rasa kesepiannya. Miss Michin pun acapkali geram ketika mengomeli Sara dan mendapati anak itu hanya menatapnya dengan tatapan yang sangat tenang dan tetap bersikap sopan. Karakter Sara yang sangat berbeda itu membuat semua orang di asrama itu, temasuk para pembantu, terheran-heran melihatnya. Akankah Sara tetap mempertahankan hati seorang putri yang dimilikinya dalam semua penderitaan yang semakin lama semakin berat itu? Akankah hadir seorang malaikat yang diutus oleh sang Ayah untuk datang mengubah nasibnya?

Cobalah bertanya kepada diri anda sendiri, “apakah saya adalah orang yang baik?” apakah anda tahu jawabannya?
Kemalangan dikirim untuk mencobai orang-orang, dan kemalanganku telah mencobai dirimu dan membuktikan bahwa kau orang yang baik” [hal 131]
Sebelum mengalami penderitaan, Sara tidak berani menyebut dirinya seorang yang baik. Ia berpikir, karena ia dilahirkan dilingkungan yang baik, maka ia pun bersikap baik. Akhirnya cobaan itu datang kepadanya untuk membantu dirinya menjawab pertanyaan itu. Pada saat cobaan tersebut datang, ia harus memilih untuk tetap menjadi orang yang baik atau bersikap sebaliknya. Kisah Sara juga membuat pembaca bisa mempelajari banyak hal. Kisah ini, sejak halaman pertama menaburkan kebaikan dan ketulusan Sara.
Bukan hadiah bagus, kain flanelnya bukan kain baru, tapi aku ingin memberimu sesuatu dan aku membuatnya setiap malam. Aku tahu kau pasti bisa berpura-pura bahwa bantalan jarum itu terbuat dari kain satin dan jarum-jarum berlian. Aku sudah mencobanya saat aku membuatnya……Sarah langsung berdiri dan memeluk Becky. Ia tak bisa menjelaskan kepada dirinya atau kepada orang lain, mengapa tenggorokannya terasa begitu tercekat” [hal 85]
Buku ini juga mengingatkan setiap pembaca bahwa dunia ini dipenuhi dengan orang-orang yang mendambakan sebuah senyuman dan sapaan lembut. Tersenyumlah kepada seorang anak kecil yang anda lewati entah dimana, itu mungkin akan mengenyangkan hatinya. 
Becky nyaris tidak pernah mengenal suara tawa dalam hidupnya yang penuh kemalangan dan kerja keras itu. Sara telah membuatnya tertawa dan ikut tertawa bersama-sama; dan meski mereka tidak menyadarinya, suara tawa itu juga “mengenyangkan”, sama seperti perkedel-perkedel daging tersebut” [hal 82]
A little princess dituturkan dengan detail tempat, kondisi, dan perasaan tokoh yang sangat jelas. Seperti halnya buku klasik lainnya, hal-hal seperti itu terasa tidak aneh. Buku ini dituturkan oleh seorang narator seperti pendongeng yang sedang menceritakan kisahnya. Terjemahan gramedia pun mengalir, tidak kaku dan mudah dipahami. Pilihan covernya terasa pas dengan nuansa London dan konteks klasiknya. Buku ini bisa menjadi bacaan untuk semua usia. Untuk anak-anak, mereka bisa belajar untuk memiliki kebesaran hati dan ketulusan serta kerendahan hati lewat karakter Sara. Untuk orang dewasa, buku ini kembali mengingatkan untuk hidup dalam ambisi positif, memelihara kesabaran ditengah persoalan hidup serta bersyukur dalam setiap keadaan.

Gramedia untuk kedua kalinya memperkenalkan saya kepada karya Francess Hodgson Burnett. Kedua karyanya yang telah saya baca melibatkan seorang anak kecil dengan latar belakangan India dan inggris. Francess Hodgson Burnett memang seorang wanita berdarah inggris, namun mengapa ia memilih India menjadi latar kedua karyanya yang banyak dikenal di dunia (A Little Princess dan A Secret Garden)? Sampai dengan tulisan ini terbit, saya tidak menemukan alasannya. Mungkin untuk pembaca resensi ini yang mengetahui jawabannya bisa berbagi informasi pada kotak komentar yang tersedia.
------------------------------------------
Judul : A Little Princess
Penulis : Frances Hodgson Burnett
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : November 2010
Tebal : 312 hal
ISBN : 978-979-22-6406-7
------------------------------------------

Tuesday, May 31, 2011

[Review] Wuthering Heights


Kau berkata aku membunuhmu – hantui aku kalau begitu! Orang yang dibunuh memang menghantui pembunuh mereka. Aku percaya – aku tahu hantu pernah gentayangan di bumi ini. Bersamalah denganku selalu – ambilah bentuk apa saja – buat aku gila! Tapi jangan tinggalkan aku dalam jurang ini, di mana aku tak bisa menemukanmu! Oh Tuhan! Sakitnya tak terkatakan! Aku tak bisa hidup tanpa hidupku! Aku tak bisa hidup tanpa jiwaku!”

Don't judge a book by it's cover.....coba kita pasangkan pernyataan itu secara harafiah ke cover buku ini. Apa yang anda lihat? Seorang pria yang sedang memeluk wanitanya dengan latarbelakang sebuah pohon yang gersang "tak berdaun", terkesan menghitam dan mati? Apakah anda melihat hal yang sama dengan saya? Apakah isi buku ini benar-benar serupa dengan covernya? ini sedikit hal yang saya bisa saya bagikan. Membaca kisah ini selama empat hari benar-benar mempengaruhi saya. Kisah yang sangat membekas.

Wuthering Heights adalah sebutan untuk rumah kediaman keluarga Earnshaw di dalam novel ini. Menurut Wikipedia, Wuthering merupakan kosakata dari daerah Yorkshire yang berarti cuaca yang bergolak. Sama seperti asal katanya, kisah di Wuthering Heights juga membuat emosi saya bergolak hebat. Ini adalah cerita tentang cinta, kebencian, kesedihan dan kematian. Cerita ini bermula dari keluarga Earnshaw. Keluarga ini memiliki dua orang anak, Hindley dan Catherine. Suatu hari, sepulang dari perjalanannya, Mr. Earnshaw membawa seorang anak laki-laki yatim piatu yang sangat kotor, compang-camping dan berambut hitam. Ia bernama Heathcliff. Heatcliff segera menjadi anak favorit bagi Mr.Earnshaw, ia bersahabat dengan Catherine, sedangkan Hindley sangat membencinya. Perlakuan Mr.Earnshaw terhadap Heathcliff membuat Hindley membenci mereka semua. Ayahnya mengirim Hindley untuk melanjutkan sekolah. Mr. Earnshaw memberikan harga diri kepada Heathcliff yang malang dan mengajarinya. Namun, ketika Mr. Earnshaw meninggal dunia, Hindley kembali kerumah bersama istrinya dan mulai menindas Heathcliff. Heathcliff dan Catherine menjadi pemberontak melawan Hindley.

Suatu hari, ketika Heathcliff dan Catherine sedang jalan-jalan di sekitar Thrushcross Grange, kediaman keluarga Linton, Catherine terluka. Keluarga Linton menolong dan merawatnya, namun mereka mengusir Heathcliff. Catherine tinggal beberapa minggu di Thrushcross Grange, ia berkenalan dengan putra-putri keluarga Linton, Edgar dan Isabela. Sekembalinya dari Thrushcross Grange, ia menjadi seorang gadis yang berbeda : lebih lembut dan anggun. Catherine melanjutkan hubungannya dengan Edgar dan Isabella. Ketika Edgar melamarnya, ia berkata “Ya” dan mengorbankan perasaan Heathcliff padanya. Ia mencintai Heathcliff dengan sepenuh jiwa, namun tidak memilihnya sebagai suami karena keadaanya.
Cintaku kepada Linton seperti dedaunan di hutan : waktu akan mengubahnya, aku sadar sekali itu, sebagaimana musim dingin mengubah pepohonan. Cintaku kepada Heathcliff menyerupai karang-karang abadi di bawah – sumber dari sedikit saja kesenangan yang terlihat, tetapi perlu. Nelly akulah Heathcliff. Dia selalu, selalu ada dalam pikiranku – bukan sebagai kesenangan, seperti aku tidak selalu menyenangkan bagi diriku sendiri, tetapi sebagai keberadaanku sendiri
Keputusannya menikahi Edgar terdengar oleh Heathcliff, ia marah dan menghilang selama tiga tahun. Selang tiga tahun, ia kembali, namun ia telah berubah. Tidak ada bekas kemelaratan yang terlihat didalam dirinya. Ia menjadi pria terdidik dan kaya. Catherine yang sejak menikah telah pindah mengikuti suaminya ke Thrushcross Grange sangat senang dengan kepulangan Heathcliff, ia meminta suaminya agar berteman dengan Heathcliff, meskipun ia tahu Edgar selalu membenci tabiat Heathcliff. Namun tidak membutuhkan waktu lama ketika Catherine sadar bahwa ia tidak bisa berteman dengan Heathcliff dan tetap menikah dengan Edgar. 

Heathcliff kembali dengan rencana balas dendam kepada Hindley dan Edgar yang sangat dibencinya. Namun ia juga kembali dengan cinta yang masih sama besarnya terhadap Catherine. Ia mencintai dan juga membenci. Peperangan terus berlangsung di dalam jiwa Heathcliff. Apakah dia sanggup mengatasinya? Akankah Catherine meninggalkan suaminya untuk belahan jiwanya? Bagaimana dengan setiap keturunan mereka? Anak-anak mereka? Akankah mereka hidup bahagia jauh dari perseteruan kelam orang tuanya? 

Saya tidak suka dengan aura negatif novel ini. Namun saya sangat kagum dengan kemampuan novel ini mengaduk emosi saya. Untuk saya pribadi, Emily Bronte sama suksesnya dengan Victor Hugo mengaduk emosi saya ketika saya membaca Les Miserables, tentu saja emosi yang berbeda. Membaca Wuthering Heights awalnya melelahkan, dimulai dan diakhiri dengan mengumpat, namun ketika saya mencoba menerima umpatan itu sebagai sesuatu yang “biasa” untuk beberapa tokoh didalamnya, maka yang tersisa adalah rasa ingin tahu yang besar akan nasib setiap tokoh di dalam cerita ini. Ini adalah sebuah karya sastra yang mengundang banyak kritik dan pujian. Kompleksitas setiap karakter digambarkan dengan sangat jelas dan memukau. Emily Bronte berhasil menyampaikan bagaimana seseorang diwaktu yang bersamaan mampu memiliki kapasitas mencintai dan membenci yang sebanding. Sejak lembaran pertama novel ini, suasananya sangat suram. Semburat kelam tergambar dengan jelas lewat karakter dan kata-kata yang dikeluarkan oleh setiap tokoh. Ketika sampai ke sebuah bagian yang menurut saya merupakan klimaks novel ini, saya merasa seakan ingin masuk ke dalam cerita dan membantu ketidakberdayaan beberapa tokoh didalamnya. Saya memberikan lima bintang untuk novel ini. Menurut saya, it was amazing in different ways. Manusia punya berbagai macam emosi, dan novel ini berhasil mengeluarkan bagian emosi saya yang jarang muncul ketika membaca kisah cinta lainnya. Ternyata sebuah novel mampu mengatakan banyak hal tentang perilaku manusia dan dunia disekitar kita. Novel ini bisa menjadi lebih kompleks daripada hanya menjadi sebuah bacaan. Bahkan novel ini telah menjadi sebuah bahan diskusi dalam membahas isu-isu yang lebih besar. Wuthering Heights membuat saya semakin menyukai literature. Wajar saja jika novel ini menjadi salah satu bacaan wajib untuk pelajar di Amerika. Namun sayangnya, cara penuturan novel ini membuat saya bingung. Perpindahan tokoh “aku” antara Ellen Dean dan Mr.Lockwood, kedua orang yang secara bergantian menuturkan kisah ini, terkadang membuat saya harus membaca ulang beberapa bagian untuk mengetahui siapa yang sedang bercerita.

Didalam novel ini, setiap orang memiliki kesulitan cinta. Catherine mencintai Heathcliff dan demikian sebaliknya, namun mereka harus terpisah. Edgar mencintai Catherine dan menikahinya, namun tidak pernah benar-benar mendapatkan cintanya. Hindley mencintai Francess istrinya, tapi ia meninggal diusia muda. Isabel mencintai Heathcliff, namun mendapat perlakuan yang tidak pantas atas cintanya. Semua orang di dalam novel ini, mencintai seseorang dan terluka oleh cinta itu. Kedua tema yang sama pun banyak sekali muncul didalam puisi-puisi yang diciptakan oleh Emily Bronte.



Emily Bronte related to Wuthering Heights:


Emily Jane Brontë lahir di Thornton, dekat Bradford di Yorkshire, 30 Juli 1818 dan meninggal 19 Desember 1848 pada usia 30 tahun. Ia adalah seorang novelis dan penyair Inggris. Ia dikenal atas novel satu-satunya Wuthering Heights. Dia menerbitkan buku ini dibawah nama penanya Ellis Bell.

Sebelum menulis novel ini, Emily bersama dengan kedua saudaranya, Charlotte dan Anne Brontë pernah mempublikasikan puisi-puisi mereka sekitar tahun 1846, namun karya tersebut hanya terjual dua copy. Kegagalan inilah yang memacu Brontë bersaudara untuk mulai menulis novel mereka masing-masing.

Emily Brontë adalah sosok yang penyendiri. Tidak banyak orang dari zamanya yang mengenal dia dengan baik, selain saudara-saudaranya dan dua orang temannya Ellen Nussey dan Amy Taylor. Ellen Nussey adalah orang yang merawat kakaknya, Charlotte Bronte, dan dialah yang diyakini telah menjadi inspirasi untuk tokoh Ellen Dean di dalam novel ini.

Mengenai latar belakang, ada beberapa dugaan mengenai asal inspirasi Wuthering Heights. Sehubungan dengan kehidupan Emily Bronte yang penyendiri, ia pernah belajar disebuah sekolah, Law Hill, dalam waktu singkat. Pada masa itu, ada seorang hamba yang bernama Earnshaw. Beberapa dugaan kemudian mengaitkannya dengan tokoh-tokoh keluarga Earnshaw di dalam novel ini. Kemudian dugaan lainnya menyebutkan bahwa cerita itu berasal dari kisah kakeknya, Hugh  Brunty, yang pernah dituturkan oleh ayah Emily ketika mereka masih kecil. Namun tidak ada yang tahu pasti dari mana Emily Bronte mendapatkan inspirasi untuk menulis novel ini, hanya ada beberapa cerita yang didengarnya yang kemungkinan diduga bisa menjadi sumber inspirasinya. Cerita-cerita itu bisa dilihat dibawah ini. 


Latar tempat Wuthering Heights sendiri menarik perhatian dan memunculkan banyak rasa ingin tahu. Emily pernah bekerja sebagai pengasuh pada tahun 1838 di sebuah bangunan bergaya gothic, High Sunderland Hall, dekat Halifax, Yorkshire Barat. Bangunan ini diduga menjadi inspirasi Wuthering Heights. Di bangunan tersebut terdapat hiasan berbentuk laki-laki telanjang mirip dengan gambaran yang dituturkan oleh Mr.Lockwood berikut :

sebelum melewati ambang pintu, aku berhenti untuk mengaggumi sejumlah ukiran menyeramkan yang menghiasi bagian depan dan terutama di sekitar pintu utama; di atasnya, di antara kerumunan bentuk monster yang runtuh dan bocah-bocah lelaki tak berbusana…” [hal 7]

source :



 ----------------------------------------------
Judul       : Wuthering Heights
Penulis    : Emily Bronte
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit      : April 2011
Tebal       : 488 hal
------------------------------------------------