Monday, May 16, 2016

LPM "A Nation that Doesn't Read" [Asean Literary Festival 2016]

A nation that does not read much does not know much. And a nation that does not know much is more likely to make poor choices in the home, the marketplace, the jury box, and the voting booth. And those decisions ultimately affect the entire nation...the literate and illiterate – Jim Trelease

Siang itu, menebas panas matahari saya menuju teater kecil Taman Ismail Marzuki yang terletak di gedung paling belakang lokasi TIM, tempat digelarnya salah satu diskusi menarik A Nation that doesn’t Read dalam Asean Literary Festival (ALF) 2016, yang untuk ketiga kalinya diadakan di Jakarta. Suasana di depan teater kecil tampak sudah ramai, beberapa orang sedang antri registrasi, sekumpulan orang bule saling menyapa sebelum masuk ke dalam ruangan. Saya bersama seorang teman pun menuliskan nama dan email di lembar registrasi yang disediakan panitia, lalu beranjak masuk ke teater yang disambut udara dingin melegakkan. Belum banyak orang di dalam ruangan, namun tak lama menunggu tampak seorang wanita keren berambut merah yang terlihat seperti fairy godmother (saya lupa nama beliau, maafkan Madam), naik ke panggung dan menyambut semua yang telah hadir sambil memperkenalkan diri. Karena saya lupa nama beliau, maka dalam tulisan ini, saya akan menyapanya dengan Madam Moderator. Setelah meminta semua peserta untuk mengisi deretan kursi paling depan (kebiasaan orang Indonesia, termasuk saya, selalu mengambil tempat aman, yaitu tengah ke belakang), Madam Moderator pun mengundang narasumber dan memperkenalkan mereka: Päivi Hiltunen-Toivio, Finnish Ambassador; John McGlynn, Chairman of Lontar Foundation; Endy Bayuni, Chief Editor of Jakarta Post; Youngduk Shin, Professor of University of Education (UPI) Bandung; dan seorang penerjemah untuk Professor Youngduk.

Berada dalam ruangan teater saat itu gratis, hanya diperlukan minat dan sedikit ongkos (tentunya untuk mereka yang tinggal di Jakarta), namun menjadi sebuah priviledge buat saya pribadi, seakan-akan saya adalah Graduate Student yang sedang berada dalam sebuah kuliah umum dengan tema yang menarik dan panelis yang tahu persis apa yang mereka bicarakan. Mula-mula mereka diminta memaparkan pemikiran mereka terkait tema diskusi saat itu. Finish Ambassador mengambil kesempatan pertama, Ia berbicara tentang hal-hal mereka lakukan di Finlandia, khususnya untuk pendidikan, sistem perpustakaan, anjuran untuk subscribe newspaper untuk setiap keluarga, bedtime story untuk anak-anak dan poin-poin yang menurut saya terkesan sederhana tetapi penting, seperti inisiatif pemerintah memberikan maternity package yang salah satu isinya adalah picture book untuk anak-anak. Bukankah mereka mengharapkan orang tua memberikan head start untuk anak-anak mereka mengenal dunia membaca? Tentang hal ini, Chairman Lontar Foundation asal Amerika menyampaikan komplainnya yang pertama,

The problem in Indonesia – maybe you can argue with me later – is that people don’t read at home”- John McGlynn

Well, I couldn’t agree more. Ia pun melanjutkan dengan sedikit cerita tentang kebiasaan orang tuanya membacakan cerita untuk dia dan saudara-saudaranya, serta menambahkan,

If parents don’t read to their children, the children are not going to have that head start when they get into school. It doesn’t matter what you read, it could be a newspaper, it could be the bible, it could be the children’s book, but the important thing is to read – John McGlynn

Kebiasaan membaca memang sangat berkaitan erat dengan banyak hal seperti kurikulum, sistem pendidikan di sekolah, dan sistem perpustakaan. Menurut Paivi, di Finland, anak-anak baru mulai sekolah diusia 7 tahun, Guru diberikan kebebasan melaksanakan kurikulum, dan bebas memilih buku yang akan digunakan untuk mendukung pengajaran mereka. Lalu bagaimana dengan kualitas guru disana? Pemerintah Finland menjamin kualitas Guru dengan menerapkan proses seleksi ketat bagi mereka yang akan mengambil studi pendidikan untuk menjadi Guru. Ketika sedang menulis tulisan ini, saya mencari artikel-artikel yang bisa menjelaskan beberapa statement yang saya dengarkan dari Finnish Ambassador saat itu, dan saya pun menemukan sebuah artikel menarik yang ditulis oleh mahasiswa Fulbright. Salah satunya mengatakan bahwa pemerintah Finland percaya bahwa anak-anak akan siap menerima pendidikan formal diusia 7 tahun, sebelum itu mereka dibiarkan menikmati masa anak-anak, bermain diluar dan explore apapun. Jika tertarik dengan artikel itu, bisa baca selengkapnya disini.

Menyinggung tentang sistem pendidikan, microphone pun kembali ke tangan John McGlynn, beliau mengajak audience membayangkan keadaan di Indonesia, seorang anak yang tidak mendapatkan head start membaca nantinya akan masuk ke sekolah yang tidak memasukkan literature sebagai bagian dari kurikulum, diajari dengan cara menghapalkan pelajaran yang diterima, serta setiap hari mungkin hanya ditemani oleh seorang pembantu yang tidak pernah membaca buku sama sekali. Kalimat terakhirnya mengundang tawa dari seluruh isi teater.

Saya menikmati horizon yang terus meluas setiap kali ide baru muncul dan dicatat oleh Madam Moderator yang berjanji akan membuat list dan memberikannya sebagai masukan kepada pemerintah kita (I hope so). Endy Bayuni pun angkat bicara dengan memberi tahu kami tentang hasil penelitian Central Connecticut State University di New England, US yang menempatkan Indonesia pada posisi kedua terbawah dari total 61 Negara dalam urutan World’s Most Literate Nation. Menurut Endy, memang ada banyak faktor yang menyebabkan kurangnya minat baca di Indonesia, yang diantaranya adalah susahnya akses terhadap buku serta kurangnya penghargaan terhadap penulis Indonesia. Kalau ada yang berpikir bahwa dengan hadirnya Big Bad Wolf di Jakarta beberapa waktu yang lalu lantas memberikan kita akses yang sangat luar biasa terhadap buku berkualitas dengan harga murah, coba pikirkan lagi, kita yang mendapatkan akses itu hanya sebagian kecil dari populasi masyarakat Indonesia. Populasi yang lebih besar justru tidak punya akses. Endy Bayuni pun menambahkan bahwa kurangnya minat baca memiliki efek yang patut kita sadari,

The consequences of these very poor reading habits are a lack of critical thinking among our children, a lack of creativity, a lack of innovation, and also poverty. Part of the problem of poverty is ignorance, and ignorance comes from poor education and a very low literacy rate – Endy Bayuni 

Akhirnya Madam Moderator pun memberikan kesempatan untuk audience bertanya, banyak tangan terangkat, namun waktu yang kami miliki hanya tinggal sedikit. Mereka yang mendapat kesempatan sebagian mengajukan pertanyaan, sebagian lagi hanya berkomentar dan sharing pengalaman mereka membaca dan membangun komunitas baca. Saya mendengar seseorang menyuarakan bahwa ia bertumbuh dengan buku-buku Harry Potter, bahwa membaca apapun bukan masalah, yang penting adalah kebiasaan membaca itu sendiri dan pada akhirnya menemukan the beauty of reading, yang ditimpali oleh Endy Bayuni dengan menganjurkan yang bersangkutan untuk mulai menulis sesuatu, karena menemukan the beauty of reading hanyalah satu langkah terakhir sebelum menjadi seorang penulis. I hope she will try it and we will have another writer.  Komentar menarik lainnya berasal dari seorang perempuan yang duduk di depan saya, Ia bercerita tentang pengalamannya di Afganistan, dimana para orang tua tidak terbiasa membaca, tetapi ada sekelompok orang (kalau tidak salah dalam bentuk organisasi) yang mengumpulkan anak-anak dan mengajari mereka membaca lalu memberikan homework supaya mereka pulang dan mengajari orang tua mereka membaca buku yang sedang mereka baca. Menarik bukan? Yes Madam Moderator pun setuju itu ide yang bagus untuk dicatat. Komentar dan ide terus berdatangan dari audience, bahkan ada yang menyarankan untuk mengganti beberapa nama jalan di Indonesia dengan nama penulis terkenal. Well banyak Ide, tetapi lagi-lagi waktu terbatas dan akhirnya sesi pun selesai dengan tepuk tangan dari seluruh audience

Saya berharap event seperti ini bisa terus diadakan di Indonesia, mungkin bisa berpindah ke kota-kota lainnya untuk menjangkau lebih banyak peserta. Sebagai peserta yang hadir pada saat itu, saya pun berharap ada pihak pemerintah yang ikut hadir dalam diskusi itu, mungkin dari Kementerian Pendidikan dan Budaya supaya ide-ide yang disampaikan bisa didengarkan, ataupun bisa sharing kesulitan yang mereka hadapi terkait Budaya Membaca, siapa tahu bisa dapat feedback yang membantu dari siapapun yang hadir bukan?

Terimakasih untuk penyelenggara Asean Literary Festival ini, kalian membuat wawasan kami bertambah luas. Ciao. 

8 comments:

  1. Tulisan yang keren, Essy. Emang budaya membaca sangat kurang di negara kita ini ya. Murid2ku bisa dihitung mana yang excited dg bacaan, dan yang excited nonton film aja ato main gadget... #miris

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih mba Lila...Iya aku juga berpikir kita (Indonesia) sendiri rasanya kurang ya buku-buku seperti jenis Newbery Books yang memang utk middle grade reader gitu. Tapi peran orang tua berasa banget kok untuk anak-anak

      Delete
  2. Ah ini yang paling kutunggu2! Thanks tulisannya Essy, walau aku gak ikut ada di sana jadi paham beberapa poin penting yang disampaikan. I will share this article everywhere hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama-sama mel, emang tujuannya supaya yang gak dateng tetap dapat info yang sama, walaupun terbatas yang tercatat, tp poin gedenya kira-kira begitulah :)

      Delete
  3. Thanks udah share, Essy. infonya keren banget... moga-moga bisa sering2 diadakan acara begini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku baru liat ada comment ini, sama2 Ika, senang kalau berguna :)

      Delete
  4. Aku tertarik sama artikel yang masalah pendidikan di Finlandia dan apa bisa diterapkan di Indonesia. Aku jadi ingat, sekolah di Indonesia (well jamanku dulu dan aku juga di daerah) selalu mulai jam 6 pagi! Bayangkan jam setengah 5 sudah bangun, sholat subuh, pake seragam, naik angkot cepat agar tidak terlambat. Lalu kita sekolah sampai jam 3 sore. Kalau ada les bisa pulang magrib. Ga heran juga ya namanya pelajaran cuma nempel semasa sekolah, hahaha.

    Menurutku jika kita ingin sistem Finlandia dipakai di Indonesia, mesti ada reformasi besar - besaran dan aku yakin juga sistem ini tidak akan diterima banyak pihak. Mungkin memang harus memulai dari yang paling sederhana ya, mengajak anak, keluarga atau lingkungan lebih gemar membaca. Mencoba mengubah mindset mereka juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya ren ngubah sistem pendidikan di Indonesia itu root cause dalam banget dan akarnya kemana-mana, banyak yang harus dibenahi disaat yang bersamaan, apalagi masalah mind set itu

      Delete