Showing posts with label Pramoedya Ananta Toer. Show all posts
Showing posts with label Pramoedya Ananta Toer. Show all posts

Friday, July 22, 2016

[Review] Anak Semua Bangsa by Pramoedya Ananta Toer

Title: Anak Semua Bangsa (Tetralogi Buru #2)
Author: Pramoedya Ananta Toer
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Published: 2006
Pages: 539p
ISBN13: 9789799731241
Rating: 3.5 of 5 stars

“Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga – abadi. Di depan sana ufuk yang itu juga – abadi. Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukkan dan menggenggamnya dalam tangan – jarak dan ufuk abadi itu”

Setelah membaca Bumi Manusia, sulit untuk tidak melanjutkan ke buku ini, alasannya tidak lain karena Pramoedya memberikan dasar berpijak yang jelas dan menarik di Bumi Manusia yang dibungkus kisah cinta Minke dan Annelies serta keluarga Mellema dan Nyai Ontosoroh. Saya penasaran dengan nasib Minke dan Annelies yang harus berpisah diakhir cerita, namun kisah mereka ternyata hanya menghiasi dua bab pertama buku ini, sekaligus menandai terbentuknya dendam dihati Minke dan Nyai Ontosoroh yang adalah titik balik Minke mulai melihat Eropa tidak lain sebagai sosok penjajah yang mampu merampas apapun yang mereka inginkan, sama sekali berbeda dengan ajaran dan citra sebuah bangsa terpelajar yang didapatkannya.  Kalau pembaca mengikuti Bumi Manusia, pasti akan memahami betapa Minke tampak berdiri dibarisan orang Eropa, berpakaian seperti orang Eropa, berbicara dan menulis seperti orang Eropa, dia mengagungkan pemikiran terbuka dan kebijaksanaan itu diatas adat istiadat suku bangsanya sendiri. Sejak dendam itu muncul, Minke mulai mengenal sisi gelap Eropa yang semula tak mampu ia lihat dengan jelas.

Sunday, May 15, 2016

[Review] Bumi Manusia "Sebuah Jendela ke Masa Lalu" by Pramoedya Ananta Toer

Title: Bumi Manusia (The Earth of Mankind)
Author: Pramoedya Ananta Toer
Publisher: Lentera Dipantara
Published: 2005 (first published 1975)
Pages: 535p
ISBN: 9789799731234
Borrowed from HelvrySinaga



Namanya minke (baca: Mingke), tokoh yang digunakan oleh Pram untuk menggambarkan Indonesia di akhir 1800 hingga awal 1900 yang oleh sejarah kita tercatat sebagai masa awal Kebangkitan National. Diceritakan dengan latar Surabaya dan Wonokromo serta beberapa kota lain di Provinsi yang kita kenal sekarang dengan nama Jawa Timur. Zaman yang digambarkan Pram dalam buku ini, mungkin sekilas pernah kita pelajari lewat pelajaran sejarah di sekolah, namun karena metode yang saya temukan hanyalah, mencatat buku sampai habis, maka hanya sedikit ingatan yang tersisa dari halaman-halaman buku yang entah dimana sekarang. Kisah Minke bermula di tahun 1898, saat itu dia adalah siswa H.B.S, sebuah sekolah Belanda. Ia mengaku pribumi, namun semua orang tahu, untuk masuk ke H.B.S, kalau bukan totok (orang Eropa asli) atau Indo (campuran), pastilah si pribumi dijamin oleh sebuah kedudukan yang cukup tinggi. Minke tak pernah mengakui jaminan itu, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Minke, tanpa nama keluarga, seorang pribumi.

Jauh sebelum Eropa beradab, bangsa Yahudi dan Cina telah menggunakan nama marga. Adanya hubungan dengan bangsa-bangsa lain yang menyebabkan Eropa tahu pentingnya nama keluarga…Kalau pribumi tak punya nama keluarga, memang karena mereka tidak atau belum membutuhkan, dan itu tidak berarti hina. Kalau Nederland tak punya Prambanan dan Borobudur, jelas pada jamannya Jawa lebih maju daripada Nederland (saya lupa catat hal-nya, bukunya sudah dikembalikan :D)


Sebagai seorang pribumi, Minke membaca dan menulis dalam bahasa Belanda sebanding bahkan lebih baik dari mereka yang berdarah totok. Lalu suatu ketika, atas ajakan teman sekelasnya, Minke berkunjung ke sebuah rumah mewah, jenis rumah yang tak pernah dimasukinya dan yang ia yakini adalah milik orang Belanda. Kunjungannya itu mengenalkannya pada  Annelies, seorang gadis yang digambarkan Pram menandingi kecantikan bidadari yang turun dari kayangan. Minke pun jatuh cinta. Seakan nasib berpihak padanya, Ibu gadis itu, yang dikenal dengan nama Nyai Ontosoroh seperti mendukung keberadaannya di rumah itu, mendorong Annelies untuk menemani Minke mengelilingi rumah mereka yang berujung pada semakin terperosoknya Minke dalam kekaguman akan kecantikan Annelies.