Showing posts with label Indonesian Writer. Show all posts
Showing posts with label Indonesian Writer. Show all posts

Sunday, May 15, 2016

[Review] Bumi Manusia "Sebuah Jendela ke Masa Lalu" by Pramoedya Ananta Toer

Title: Bumi Manusia (The Earth of Mankind)
Author: Pramoedya Ananta Toer
Publisher: Lentera Dipantara
Published: 2005 (first published 1975)
Pages: 535p
ISBN: 9789799731234
Borrowed from HelvrySinaga



Namanya minke (baca: Mingke), tokoh yang digunakan oleh Pram untuk menggambarkan Indonesia di akhir 1800 hingga awal 1900 yang oleh sejarah kita tercatat sebagai masa awal Kebangkitan National. Diceritakan dengan latar Surabaya dan Wonokromo serta beberapa kota lain di Provinsi yang kita kenal sekarang dengan nama Jawa Timur. Zaman yang digambarkan Pram dalam buku ini, mungkin sekilas pernah kita pelajari lewat pelajaran sejarah di sekolah, namun karena metode yang saya temukan hanyalah, mencatat buku sampai habis, maka hanya sedikit ingatan yang tersisa dari halaman-halaman buku yang entah dimana sekarang. Kisah Minke bermula di tahun 1898, saat itu dia adalah siswa H.B.S, sebuah sekolah Belanda. Ia mengaku pribumi, namun semua orang tahu, untuk masuk ke H.B.S, kalau bukan totok (orang Eropa asli) atau Indo (campuran), pastilah si pribumi dijamin oleh sebuah kedudukan yang cukup tinggi. Minke tak pernah mengakui jaminan itu, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Minke, tanpa nama keluarga, seorang pribumi.

Jauh sebelum Eropa beradab, bangsa Yahudi dan Cina telah menggunakan nama marga. Adanya hubungan dengan bangsa-bangsa lain yang menyebabkan Eropa tahu pentingnya nama keluarga…Kalau pribumi tak punya nama keluarga, memang karena mereka tidak atau belum membutuhkan, dan itu tidak berarti hina. Kalau Nederland tak punya Prambanan dan Borobudur, jelas pada jamannya Jawa lebih maju daripada Nederland (saya lupa catat hal-nya, bukunya sudah dikembalikan :D)


Sebagai seorang pribumi, Minke membaca dan menulis dalam bahasa Belanda sebanding bahkan lebih baik dari mereka yang berdarah totok. Lalu suatu ketika, atas ajakan teman sekelasnya, Minke berkunjung ke sebuah rumah mewah, jenis rumah yang tak pernah dimasukinya dan yang ia yakini adalah milik orang Belanda. Kunjungannya itu mengenalkannya pada  Annelies, seorang gadis yang digambarkan Pram menandingi kecantikan bidadari yang turun dari kayangan. Minke pun jatuh cinta. Seakan nasib berpihak padanya, Ibu gadis itu, yang dikenal dengan nama Nyai Ontosoroh seperti mendukung keberadaannya di rumah itu, mendorong Annelies untuk menemani Minke mengelilingi rumah mereka yang berujung pada semakin terperosoknya Minke dalam kekaguman akan kecantikan Annelies.

Thursday, August 29, 2013

[Review] Winter Dreams by Maggie Tiojakin


Judul: Winder Dreams (Perjalanan Semusim Ilusi)
Penulis: Maggie Tiojakin
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2010
Tebal: 291 hal
ISBN: 978-979-22-7812-5

Nicky F. Rompa tinggal bersama ayahnya setelah perpisahan kedua orang tuanya. Tindak kekerasan sang ayah yang membuat ibu dan adiknya meninggalkan rumah pun tak terhindarkan darinya. Ibunya mengusulkan agar ia tinggal sementara bersama Tante Riesma, kerabat jauh ibunya di Boston. Walaupun pada awalnya Nicky menolak, namun sebuah peristiwa akhirnya membuatnya mengambil keputusan itu. Tak tahu akan menjadi apa, Nicky pun menjejakkan kaki di Negeri orang. Keluarga Tante Riesma menjadi rumah baru untuk Nicky. Melalui Leah, anak perempuan Tante Riesma, Nicky mulai mengenal kehidupan Amerika, mengenal teman-teman baru, seorang gadis yang lantas menjadi pacarnya dan memasuki romantisme kota yang memiliki ritme cukup lambat itu. Namun hidup terkadang tidak berjalan semulus yang kita kira, begitu pun bagi Nicky. Sebuah kejadian tak menyenangkan mengusirnya dari rumah satu-satunya kerabat yang dikenalnya, membawanya ke jalanan, tinggal di rumah pacarnya, kehilangan jaminan untuk visa dan akhirnya menjadi imigran gelap yang terus gonta ganti pekerjaan.

Saturday, April 20, 2013

[Review] Dimsum Terakhir by Clara Ng


Judul: Dimsum Terakhir
Penulis: Clara Ng
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2012 (Cetakan ke-4)
Tebal: 368 hal
ISBN: 978-979-22-7952-8
Harga: 60k
 


“ A novel about being single and becoming part of a family...when everything is going totally wrong”
  
Kutipan itu ada di cover depan cetakan ke-4 buku Dimsum Terakhir yang terbitkan oleh Gramedia. Selain karena rekomendasi beberapa teman, kutipan itu menjadi alasanku membeli buku ini. Aku hidup terpisah dengan keluarga sejak lulus SMP, keluar dari rumah untuk sekolah ke luar kota. Awalnya rasanya menyenangkan karena bebas dari aturan yang mengikat setiap saat *piss mama* namun setelah dua belas tahun berlalu dan hidup terus diperantauan, aku sangat mengenal rasanya kesepian dan capeknya meng-handle segala sesuatunya sendiri (ini review apa curhat ya). Sehingga ketika ada kesempatan libur dan bisa pulang ke rumah walau hanya 2 tahun atau 5 tahun sekali, momen bersama keluarga itu sangat-sangat kunikmati. Buku ini pun dari awal sampai akhirnya bercerita tentang keluarga. Yang namanya keluarga pasti ada kehangatan, ada juga pertengkaran, saling menyayangi atau menggerutu, selisih pendapat sudah biasa. Masalah dalam keluarga pun tidak terhindarkan, muncul dari anak ataupun orang tua, semuanya mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Namun selama itu terjadi dalam keluarga mestinya akan ada tangan yang saling menguatkan, mengingatkan, dan menopang satu sama lain.

Clara Ng pun menampilkan gambaran keluarga Nung Atasana dengan persoalan setiap anak dan masalah ras yang sempat melanda keturunan tionghoa di Indonesia. Kisah ini menampilkan keempat saudari kembar, Siska, Indah, Rosi dan Novera yang setelah dewasa tercerai-berai mengejar cita-cita masing-masing. Mereka nyaris melupakan tradisi keluarga, melebur dengan kesibukan hidup dan meninggalkan sang ayah sendirian bersama mbok hetih yang sesekali datang mengunjungi. Namun usia tua dan penyakit yang diderita sang ayah suatu saat memanggil keempat anak kembali ke rumah tempat mereka dibesarkan. Mereka berempat harus memaksa diri meninggalkan rutinitas, siska meninggalkan perusahaannya di Singapur, Indah meninggalkan pekerjaannya (walau sesekali dia masih bisa bekerja karena posisinya di Jakarta), Rosi harus turun dari puncak meninggalkan perkebunan mawarnya, sedangkan Novera harus meninggalkan aktivitas mengajar di Jogja. Tidak mudah untuk mencapai kesepakatan mendampingi sang ayah, namun mereka berempat berhasil melakukannya. 

Thursday, June 14, 2012

[Review] Sepatu Dahlan


Diantara begitu banyak kasus dan komentar-komentar tidak sedap tentang gaya hidup pejabat bangsa ini, saya mendengar seorang sosok yang memiliki gaya hidup yang berbeda. Mungkin itu bisa dikata sebuah cangkang luar yang tidak lain hanya untuk menutupi sesuatu. Orang yang tidak pernah bekerja bersamanya mungkin akan berpikir seperti itu. Saya sendiri belum pernah bertemu dengan sosok yang satu ini, namun saya ingin membagi pendapat seorang penyiar tentangnya:
Selama mengenal Pak Dahlan Iskan, saya menyaksikan kerendahan hati dan kesederhanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, bagi saya setiap gerak-geriknya selama menjadi menteri bukanlah hal baru, meski gaya kerja dan ucapan Pak Dahlan diluar kebiasaan pejabat pada umumnya. Awalnya saya pikir gayanya yang unik hanya sekedar style memimpin saja. Namun, setelah membaca buku ini, segalanya terkonfirmasi. Kesederhanaan, rendah hati dan kerja keras yang dibarengi keteguhan hati, bukanlah sekedar gebrakan. Tapi itu semua adalah bentuk ucapan syukur Pak Dahlan terhadap apa yang pernah dilaluinya dan sudah dicapai.” – Putra Nababan, Wakil Pemimpin Redaksi dan Penyiar Seputar Indonesia RCTI.
Novel ini terinspirasi dari kisah kehidupan Dahlan Iskan. Penulis melakukan riset dan menyuguhkan sebuah fiksi yang menggambarkan bagaimana Dahlan berjuang untuk masa depannya. Banyak hal yang mempengaruhinya untuk menjatuhkannya, namun sebanyak itu juga hal-hal positif yang membuatnya mampu memelihara semangatnya. Kekuatan keluarga, persahabatan dan kemauan yang keras membuat Dahlan bersemangat untuk meraih mimpinya, seperti kata Ayahnya “Kemiskinan yang dijalani dengan tepat akan mematangkan jiwa”.

Dahlan lahir di Kebon Dalem, Magetan, Jawa Timur. Ia lahir di sebuah desa dan keluarga yang sangat sederhana. Ia hidup bersama Ayah, Ibu dan Adiknya, Zain. Sementara kedua kakak perempuannya, Mbak Softwati dan Mbak Atun telah merantau ke Madiun untuk melanjutkan pendidikan. Dahlan menyelesaikan sekolah rakyat dan melanjutkan pendidikannya di Tsanawiyah Takeran, tempat dimana seluruh anggota keluarganya menempuh pendidikan. Awalnya ia berencana untuk melanjutkan ke SMP Negeri Magetan, namun karena permintaan Ayahnya, ia menerima untuk bersekolah di Tsanawiyah Takeran. Novel ini menceritakan kehidupan Dahlan sejak lulus sekolah rakyat sampai ia lulus SMA, sekitar akhir tahun 1950an sampai tahun 1965.

Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya” [hal 322]

Begitu kata Dahlan Iskan yang sejak kecil telah dididik keras oleh hidup.

mata berkunang-kunang, keringat bercucuran, lutut gemetaran, telinga berdenging..siksaan akibat rasa lapar ini memang tak asing…sungguh aku butuh tidur…sejenak pun bolehlah..supaya lapar ini terlupakan” [kutipan dari belakang cover]

Terkadang perutnya kosong seharian, namun hal itu masih bisa ditahannya dengan mengikatkan sarung erat-erat keperutnya, begitulah caranya menahan lapar. Namun yang mengiris hati adalah saat menyaksikan adiknya yang masih sangat kecil menggigil kelaparan.

Dahlan harus berjalan puluhan kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki. Sepulang sekolah, dengan perut yang masih kelaparan ia masih harus bekerja sebagai nguli nyeset, nguli nandur dan ngangon domba. Begitu banyak beban hidup yang harus ditanggung oleh anak seusia Dahlan. Namun meski mereka hidup susah, Bapaknya selalu mengajar Dahlan dan saudara-saudaranya untuk bekerja keras.

pilih ngendi, sugih tanpa iman opo mlarat ananging iman? – pilih mana, kaya tanpa iman atau melarat namun beriman?” Dahlan tidak memilih, namun ia membuat jawabannya sendiri “sugih ananging imankaya dan beriman”. Untuk Dahlan “sugih” hanya berarti satu hal, yaitu memiliki sepatu dan sepeda.

Begitu banyak hal menarik dalam novel ini. Ada bagian-bagian lucu ketika Dahlan menghadapi gadis yang ditaksirnya dan tak tahu harus berbuat apa. Ada bagian-bagian menyenangkan ketika Dahlan, Arif, Kadir, Imran, Komariyah, dan Maryati menikmati kebersamaan mereka dengan cara “anak kampung yang menyenangkan”. Ada bagian-bagian dimana Dahlan harus menyaksikan kaki teman-temannya berselimutkan sepatu keren sementara dia nyeker kemana-mana. Ada bagian-bagian menebarkan ketika Dahlan dan tim voli Takeran akan bertanding melawan SMP Magetan. Dibagian final voli, semua pemain diwajibkan bersepatu, lalu apakah Dahlan yang adalah ketua tim serta tosser andalan harus keluar dari lapangan karena dia nyeker? Satu demi satu kisah kehidupan Dahlan dituturkan oleh penulis dengan sentuhan-sentuhan emosi yang membuat pembaca bisa meletup-letup.

Membaca buku ini, seperti duduk mendengarkan Dahlan Iskan bertutur langsung kepada pembaca karena penulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Zaman sekarang Indonesia memiliki banyak sekali penulis, namun saya tidak banyak menemukan seorang penutur cerita yang baik. Membaca novel ini membuat saya tahu bahwa Khrisna Pabichara adalah salah satu penutur cerita yang baik. Cara penuturannya sederhana dan tidak membosankan. Novel ini tidak ditulis dengan alur biasa,  klimaks dan anti klimak, namun novel ini dalam setiap babnya membahas potongan-potongan dari hidup keseharian Dahlan, keluarganya, sekolahnya, teman-temannya, mimpi-mimpinya, ketakutan dan kesedihannya, harapan-harapannya, dan usaha kerja kerasnya. Anda akan menemukan semangat baru dari setiap kepingan cerita itu. Novel ini akan membuat pembaca mensyukuri pemberian Tuhan serta memacu mengobarkan semangat meraih masa depan yang gemilang. Ketika menutup buku ini saya punya satu harapan yaitu bisa berbincang-bincang langsung dengan Pak Dahlan Iskan. Seandainya saya mendapat kesempatan itu, saya punya beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan langsung kepadanya.

Dahlan Iskan menghadiri peluncuran novel ini yang diadakan pada 27 mei 2012 di Bundaran Hotel Indonesia (saat car free day) bersama sekitar 1000 anak yang datang dari berbagai sekolah yang ada di Jakarta untuk mendapatkan motivasi dari tokoh utama novel Khrisna Pabichara ini. Pada acara tersebut Dahlan Iskan membagikan 1000 sepatu kepada anak-anak yang hadir pada saat itu untuk menunjang aktivitas mereka. Sementara ia telah merencanakan untuk membagikan 2600 sepatu lagi selanjutnya. Museum Rekor Indonesia mencatat gerakan ini sebagai sebuah rekor baru di Indonesia.

---------------------------------------
Judul : Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Terbit : Mei 2012
Tebal : 392hal
ISBN : 978-602-9498-24-0
---------------------------------------

Monday, January 2, 2012

Review : Clara's Medal



Ledakan fusi adalah ledakan yang dihasilkan dari reaksi bergabungnya inti-inti ringan menjadi inti yang lebih berat. Pada proses ini, inti-inti penyusun inti baru akan melepaskan energy yang sangat besar dan menyebabkan inti barunya mengalami kehilangan massa. Seperti yang terjadi pada matahari, yang menghasilkan energy panas yang dahsyat dan menjadi sumber kehidupan mahluk hidup di muka bumi. [hal 74]

Butuh suhu yang sangat tinggi, kurang lebih 1.108 oC, untuk menciptakan sebuah reaksi fusi. Demikian juga butuh kerja yang sangat keras untuk menggapai sebuah hasil yang telah lama diimpikan. Kisah yang ditulis oleh Feby Indirani (yang melalui buku ini resmi menjadi salah satu penulis Indonesia yang saya sukai) ini akan membuat anda kembali bersemangat menjalani setiap hari dan menggapai setiap mimpi.

Reaksi fusi menjadi analogi terbentuknya sebuah lembaga non-profit yang bernama FUSI (Fisika Untuk Siswa Indonesia) yang didalamnya terdapat siswa siswi terbaik Indonesia dalam bidang fisika. Mereka telah melewati seleksi daerah, seleksi nasional, dan bahkan seleksi masuk FUSI. Tujuannya satu, yakni mengharumkan nama bangsa Indonesia di tingkat Olimpiade Fisika Internasional. Clara Wibisono adalah satu-satunya peserta perempuan. Ia mewakili DKI Jakarta. Nama Clara sebenarnya tidak asing lagi ditelinga para peserta lain, karena ayahnya, Bram Wibisoni, adalah salah satu pendiri FUSI. Pujian dan cibiran pun tak terelakkan darinya. Ada yang bahkan menganggap ayahnya memudahkan jalannya masuk ke FUSI, namun hal itu tidak mengendorkan semangat Clara.

Memasuki asrama yang akan ditempatinya selama 4,5 bulan bersama 15 peserta lain yang notebene semuanya pria membuatnya sangat kebingungan. Ia belum pernah berada dalam kondisi seperti ini. Namun, ketika bertemu dan berkenalan dengan setiap peserta, kecanggungannya mulai luntur, ia mulai merasa asyik walaupun ia tahu akan selalu menjadi bulan-bulanan karena ia perempuan satu-satunya. Keenam belas peserta itu antara lain : Clara (Jakarta), Meddy (Ambon), George (Papua), Khrisna (Malang), Arief (Pamekasan, Madura), Dimas (Boyolali), Angga (Jakarta), Made (Bali), Bagas (Bali), Sandy (Bukit Tinggi), Erik (Medan), Irvan (Pangkalan Bun), Bambang (Tulungagung), Reno (Manado), Robby (Bandung), Alam (saya lupa).

Membaca kisah ini, akan membawa kita menemukan berbagai pelajaran-pelajaran fisika zaman sekolah yang disampaikan dengan metode yang luar biasa sederhana dan asyik. Sampai-sampai saya menyesali mengapa dimasa saya sekolah dulu, saya malah disuruh menghapalkan rumus-rumus fisika tanpa eksperimen yang membuat saya serta merta tidak menyukai mata pelajaran itu. Seperti salah satu contoh pembelajaran yang ditawarkan oleh ayah Clara didepan para siswa SMP; Pertunjukkan meniup balon hingga mengembang maksimal dan meminta seorang siswi untuk menusukkan tusuk sate menembus balon tersebut. Apa yang anda harapkan dengan pertunjukkan tersebut? Awalnya saya sebagai pembaca berpikir balon itu pasti pecah, namun ternyata ada cara untuk membuatnya tidak pecah bahkan ketika tusuk sate itu menembus sisi lain dari balon tersebut. Contoh seperti itu jika terus diterapkan di ruang kelas, niscaya fisika tidak akan menjadi momok yang menakutkan untuk para pelajar.

Feby Indirani melukiskan kehidupan para siswa-siswi terpilih dalam asrama FUSI, ia memperlihatkan daya juang setiap orang, mengurai persahabatan, mengungkap setiap karakter, dan menyuguhkan kisah-kisah dibalik setiap peserta yang pastinya menyentuh hati, alasan-alasan mengapa mereka berjuang untuk tetap berada di FUSI. Semuanya itu membuat buku ini bukan hanya menjadi sebuah buku yang menggurui secara teori namun memasukkan semua teori itu kedalam sebuah contoh nyata kehidupan yang butuh perjuangan. Seperti kisah salah satu peserta, Meddy, asal ambon yang berhasil selamat dari kobaran api yang melahap rumahnya saat kerusuhan Ambon tahun 1999. Ia selamat karena kakaknya membantunya dengan mengorbankan dirinya sendiri. Ini mungkin adalah cerita fiksi, tetapi saya tahu bahwa keadaan itu bukanlah fiksi bagi masyarakat ambon dan menurut saya Feby berhasil merangkai kisahnya dengan sangat baik.

Lewat kisah fiksi ini juga, pembaca akan diajak untuk memperoleh berbagai pengetahuan baru yang juga menambah wawasan. Contohnya tentang sebuah api alam yang tidak pernah padam di daerah Madura. Atau bahwa pada 17 Februari 1674, Ambon pernah dilanda sebuah gempa yang menewaskan 2322 orang. Lewat kisah ini pun saya mengenal seorang tokoh naturalis buta asal jerman yang bernama Georg Eberhard Rump atau Rumphius yang datang, menikah dan menetap di Ambon lalu memulai penelitiannya, dan terus melanjutkannya bahkan setelah gempa 1674 merenggut semua keluarganya dan peristiwa kebakaran hebat di ambon, 11 Januari 1687, menghabiskan semua dokumen-dokumen penelitiannya.
Adalah Rumphius yang bekerja luar biasa di Ambon meneliti semua tumbuhan dan fauna serta kerang-kerang di laut dan menemukan sistem penamaan binomial serta sistematika biologi lebih dari 50 tahun sebelum Carolus Linnaeus mengeluarkan sistematika binomialnya (Systema Naturae) pada tahun 1740. Sayang, mahakarya Rumphius tak tersiar ke dunia ilmu pengetahuan saat itu karena sebuah intrik. Kalau bisa tersiar, maka Ambon akan dikenang sebagai lokasi tipe systema naturae. Sama halnya dengan intrik antara Charles Lyell dan Charles Darwin agar artikel Halmahera Wallace tak menjadi dasar teori evolusi. Kalau saja Halmahera dan Ambon sempat mengemuka, Indonesia akan selalu dikenang dalam teori evolusi dan systema naturae lebih daripada Galapagos. Sebuah bukti buat kita semua bahwa di dalam ilmu pengetahuan pun ada intrik juga. (diambil dari http://tinyurl.com/6pc4em5).
Kisah Clara’s Medal membuat saya tertawa dan kagum pada saat yang bersamaan. Ke-iseng-an para peserta di dalam asrama yang menggelitik atau upaya mereka mengatasi beban berat yang mereka pikul ditambah lagi dengan adanya masalah pendanaan membuat novel ini istimewa. Walaupun ada beberapa typo dan jujur saya tidak suka dengan pilihan covernya, namun secara keseluruhan saya puas dengan Clara’s Medal. Bintang 4 untuk bacaan pertama saya ditahun 2012 yang sekaligus membuat saya sangat bersemangat untuk kembali mengevaluasi kemampuan saya, meningkatkannya, dan berjuang meraih mimpi.

--------------------------
Judul : Clara’s Medal
Penulis : Feby Indirani
Penerbit : Qanita
Terbit : September 2011
Tebal : 484 hal
ISBN : 9786029225044
--------------------------