Showing posts with label Indonesia Fiction. Show all posts
Showing posts with label Indonesia Fiction. Show all posts

Monday, April 23, 2018

[Review] Laut Bercerita by Leila S. Chudori


Title: Laut Bercerita
Author: Leila S. Chudori
Publisher: Kepustakaan Populer Gramedia
Published: October 23rd 2017
Pages: 389p
ISBN: 9786024246945

“…itulah sebabnya kita dilahirkan sebagai orang Indonesia.
…bahwa kita harus selalu mencoba berbuat sesuatu, menyalakan sesuatu, sekecil apapun dalam kegelapan di negeri ini.” 

Laut memulai cerita dari akhir kisah, menggambarkan perasaannya dan semua pikiran yang muncul diakhir kisah itu. Bapak dan Ibunya, adik kesayangannya, sahabat-sahabatnya dan kekasihnya yang mungil – apakah mereka semua sedang bertanya tentang keberadaan dirinya, sementara ia mengapung dan perlahan tenggelam. Laut bercerita tentang kisah negeri ini, suatu masa yang kelam, Indonesia lama yang didominasi oleh penguasa keji yang membatasi kebebasan berpendapat dan menindas yang lemah. Dipermukaan, rezim itu tampaknya tenang, namun berapa banyak orang yang harus membayar ketenangan itu.

Adalah Laut, Biru Laut, nama lengkapnya. Ia seorang mahasiswa di Yogya yang sejak kecil melahap buku-buku sastra, menikmati diksi dan mempertanyakan pemikiran tokoh dan penulis. Ia seorang yang hemat dalam kata tapi tajam menuangkannya lewat tulisan. Walaupun berasal dari Solo, keluarga Laut tinggal di Ciputat, Jakarta. Tapi Laut memilih Yogya, karena katanya disana banyak anak muda Indonesia yang berkumpul di UGM dan mengutarakan ide-ide besar. Laut memang menyukai kata-kata besar, seperti revolusi dan anak bangsa. Memang begitulah adanya Yogya kala itu. Laut bertemu dengan Alex-pria asal Flores yang gemar fotografi dan memotret objeknya dengan mata penuh rasa, Daniel-pria klimis asal Manado yang rewel tapi disukai banyak wanita yang belum mengenalnya, Kinan-perempuan yang pendapatnya didengarkan oleh mereka semua, Gala-disebut sebagai sang penyair karena kepiawainnya dalam menyusun kata-kata indah, Bram-kutu buku yang sejak awal sudah dianggap sebagai pemimpin besar oleh mereka yang berkawan, dan Anjani-pelukis mungil yang menarik hati Laut. Mereka inilah yang dituturkan kisahnya oleh Laut, dimulai dari sebuah rumah hantu Seyegan.

Thursday, August 29, 2013

[Review] Winter Dreams by Maggie Tiojakin


Judul: Winder Dreams (Perjalanan Semusim Ilusi)
Penulis: Maggie Tiojakin
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2010
Tebal: 291 hal
ISBN: 978-979-22-7812-5

Nicky F. Rompa tinggal bersama ayahnya setelah perpisahan kedua orang tuanya. Tindak kekerasan sang ayah yang membuat ibu dan adiknya meninggalkan rumah pun tak terhindarkan darinya. Ibunya mengusulkan agar ia tinggal sementara bersama Tante Riesma, kerabat jauh ibunya di Boston. Walaupun pada awalnya Nicky menolak, namun sebuah peristiwa akhirnya membuatnya mengambil keputusan itu. Tak tahu akan menjadi apa, Nicky pun menjejakkan kaki di Negeri orang. Keluarga Tante Riesma menjadi rumah baru untuk Nicky. Melalui Leah, anak perempuan Tante Riesma, Nicky mulai mengenal kehidupan Amerika, mengenal teman-teman baru, seorang gadis yang lantas menjadi pacarnya dan memasuki romantisme kota yang memiliki ritme cukup lambat itu. Namun hidup terkadang tidak berjalan semulus yang kita kira, begitu pun bagi Nicky. Sebuah kejadian tak menyenangkan mengusirnya dari rumah satu-satunya kerabat yang dikenalnya, membawanya ke jalanan, tinggal di rumah pacarnya, kehilangan jaminan untuk visa dan akhirnya menjadi imigran gelap yang terus gonta ganti pekerjaan.

Saturday, April 20, 2013

[Review] Dimsum Terakhir by Clara Ng


Judul: Dimsum Terakhir
Penulis: Clara Ng
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2012 (Cetakan ke-4)
Tebal: 368 hal
ISBN: 978-979-22-7952-8
Harga: 60k
 


“ A novel about being single and becoming part of a family...when everything is going totally wrong”
  
Kutipan itu ada di cover depan cetakan ke-4 buku Dimsum Terakhir yang terbitkan oleh Gramedia. Selain karena rekomendasi beberapa teman, kutipan itu menjadi alasanku membeli buku ini. Aku hidup terpisah dengan keluarga sejak lulus SMP, keluar dari rumah untuk sekolah ke luar kota. Awalnya rasanya menyenangkan karena bebas dari aturan yang mengikat setiap saat *piss mama* namun setelah dua belas tahun berlalu dan hidup terus diperantauan, aku sangat mengenal rasanya kesepian dan capeknya meng-handle segala sesuatunya sendiri (ini review apa curhat ya). Sehingga ketika ada kesempatan libur dan bisa pulang ke rumah walau hanya 2 tahun atau 5 tahun sekali, momen bersama keluarga itu sangat-sangat kunikmati. Buku ini pun dari awal sampai akhirnya bercerita tentang keluarga. Yang namanya keluarga pasti ada kehangatan, ada juga pertengkaran, saling menyayangi atau menggerutu, selisih pendapat sudah biasa. Masalah dalam keluarga pun tidak terhindarkan, muncul dari anak ataupun orang tua, semuanya mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Namun selama itu terjadi dalam keluarga mestinya akan ada tangan yang saling menguatkan, mengingatkan, dan menopang satu sama lain.

Clara Ng pun menampilkan gambaran keluarga Nung Atasana dengan persoalan setiap anak dan masalah ras yang sempat melanda keturunan tionghoa di Indonesia. Kisah ini menampilkan keempat saudari kembar, Siska, Indah, Rosi dan Novera yang setelah dewasa tercerai-berai mengejar cita-cita masing-masing. Mereka nyaris melupakan tradisi keluarga, melebur dengan kesibukan hidup dan meninggalkan sang ayah sendirian bersama mbok hetih yang sesekali datang mengunjungi. Namun usia tua dan penyakit yang diderita sang ayah suatu saat memanggil keempat anak kembali ke rumah tempat mereka dibesarkan. Mereka berempat harus memaksa diri meninggalkan rutinitas, siska meninggalkan perusahaannya di Singapur, Indah meninggalkan pekerjaannya (walau sesekali dia masih bisa bekerja karena posisinya di Jakarta), Rosi harus turun dari puncak meninggalkan perkebunan mawarnya, sedangkan Novera harus meninggalkan aktivitas mengajar di Jogja. Tidak mudah untuk mencapai kesepakatan mendampingi sang ayah, namun mereka berempat berhasil melakukannya. 

Monday, January 2, 2012

Review : Clara's Medal



Ledakan fusi adalah ledakan yang dihasilkan dari reaksi bergabungnya inti-inti ringan menjadi inti yang lebih berat. Pada proses ini, inti-inti penyusun inti baru akan melepaskan energy yang sangat besar dan menyebabkan inti barunya mengalami kehilangan massa. Seperti yang terjadi pada matahari, yang menghasilkan energy panas yang dahsyat dan menjadi sumber kehidupan mahluk hidup di muka bumi. [hal 74]

Butuh suhu yang sangat tinggi, kurang lebih 1.108 oC, untuk menciptakan sebuah reaksi fusi. Demikian juga butuh kerja yang sangat keras untuk menggapai sebuah hasil yang telah lama diimpikan. Kisah yang ditulis oleh Feby Indirani (yang melalui buku ini resmi menjadi salah satu penulis Indonesia yang saya sukai) ini akan membuat anda kembali bersemangat menjalani setiap hari dan menggapai setiap mimpi.

Reaksi fusi menjadi analogi terbentuknya sebuah lembaga non-profit yang bernama FUSI (Fisika Untuk Siswa Indonesia) yang didalamnya terdapat siswa siswi terbaik Indonesia dalam bidang fisika. Mereka telah melewati seleksi daerah, seleksi nasional, dan bahkan seleksi masuk FUSI. Tujuannya satu, yakni mengharumkan nama bangsa Indonesia di tingkat Olimpiade Fisika Internasional. Clara Wibisono adalah satu-satunya peserta perempuan. Ia mewakili DKI Jakarta. Nama Clara sebenarnya tidak asing lagi ditelinga para peserta lain, karena ayahnya, Bram Wibisoni, adalah salah satu pendiri FUSI. Pujian dan cibiran pun tak terelakkan darinya. Ada yang bahkan menganggap ayahnya memudahkan jalannya masuk ke FUSI, namun hal itu tidak mengendorkan semangat Clara.

Memasuki asrama yang akan ditempatinya selama 4,5 bulan bersama 15 peserta lain yang notebene semuanya pria membuatnya sangat kebingungan. Ia belum pernah berada dalam kondisi seperti ini. Namun, ketika bertemu dan berkenalan dengan setiap peserta, kecanggungannya mulai luntur, ia mulai merasa asyik walaupun ia tahu akan selalu menjadi bulan-bulanan karena ia perempuan satu-satunya. Keenam belas peserta itu antara lain : Clara (Jakarta), Meddy (Ambon), George (Papua), Khrisna (Malang), Arief (Pamekasan, Madura), Dimas (Boyolali), Angga (Jakarta), Made (Bali), Bagas (Bali), Sandy (Bukit Tinggi), Erik (Medan), Irvan (Pangkalan Bun), Bambang (Tulungagung), Reno (Manado), Robby (Bandung), Alam (saya lupa).

Membaca kisah ini, akan membawa kita menemukan berbagai pelajaran-pelajaran fisika zaman sekolah yang disampaikan dengan metode yang luar biasa sederhana dan asyik. Sampai-sampai saya menyesali mengapa dimasa saya sekolah dulu, saya malah disuruh menghapalkan rumus-rumus fisika tanpa eksperimen yang membuat saya serta merta tidak menyukai mata pelajaran itu. Seperti salah satu contoh pembelajaran yang ditawarkan oleh ayah Clara didepan para siswa SMP; Pertunjukkan meniup balon hingga mengembang maksimal dan meminta seorang siswi untuk menusukkan tusuk sate menembus balon tersebut. Apa yang anda harapkan dengan pertunjukkan tersebut? Awalnya saya sebagai pembaca berpikir balon itu pasti pecah, namun ternyata ada cara untuk membuatnya tidak pecah bahkan ketika tusuk sate itu menembus sisi lain dari balon tersebut. Contoh seperti itu jika terus diterapkan di ruang kelas, niscaya fisika tidak akan menjadi momok yang menakutkan untuk para pelajar.

Feby Indirani melukiskan kehidupan para siswa-siswi terpilih dalam asrama FUSI, ia memperlihatkan daya juang setiap orang, mengurai persahabatan, mengungkap setiap karakter, dan menyuguhkan kisah-kisah dibalik setiap peserta yang pastinya menyentuh hati, alasan-alasan mengapa mereka berjuang untuk tetap berada di FUSI. Semuanya itu membuat buku ini bukan hanya menjadi sebuah buku yang menggurui secara teori namun memasukkan semua teori itu kedalam sebuah contoh nyata kehidupan yang butuh perjuangan. Seperti kisah salah satu peserta, Meddy, asal ambon yang berhasil selamat dari kobaran api yang melahap rumahnya saat kerusuhan Ambon tahun 1999. Ia selamat karena kakaknya membantunya dengan mengorbankan dirinya sendiri. Ini mungkin adalah cerita fiksi, tetapi saya tahu bahwa keadaan itu bukanlah fiksi bagi masyarakat ambon dan menurut saya Feby berhasil merangkai kisahnya dengan sangat baik.

Lewat kisah fiksi ini juga, pembaca akan diajak untuk memperoleh berbagai pengetahuan baru yang juga menambah wawasan. Contohnya tentang sebuah api alam yang tidak pernah padam di daerah Madura. Atau bahwa pada 17 Februari 1674, Ambon pernah dilanda sebuah gempa yang menewaskan 2322 orang. Lewat kisah ini pun saya mengenal seorang tokoh naturalis buta asal jerman yang bernama Georg Eberhard Rump atau Rumphius yang datang, menikah dan menetap di Ambon lalu memulai penelitiannya, dan terus melanjutkannya bahkan setelah gempa 1674 merenggut semua keluarganya dan peristiwa kebakaran hebat di ambon, 11 Januari 1687, menghabiskan semua dokumen-dokumen penelitiannya.
Adalah Rumphius yang bekerja luar biasa di Ambon meneliti semua tumbuhan dan fauna serta kerang-kerang di laut dan menemukan sistem penamaan binomial serta sistematika biologi lebih dari 50 tahun sebelum Carolus Linnaeus mengeluarkan sistematika binomialnya (Systema Naturae) pada tahun 1740. Sayang, mahakarya Rumphius tak tersiar ke dunia ilmu pengetahuan saat itu karena sebuah intrik. Kalau bisa tersiar, maka Ambon akan dikenang sebagai lokasi tipe systema naturae. Sama halnya dengan intrik antara Charles Lyell dan Charles Darwin agar artikel Halmahera Wallace tak menjadi dasar teori evolusi. Kalau saja Halmahera dan Ambon sempat mengemuka, Indonesia akan selalu dikenang dalam teori evolusi dan systema naturae lebih daripada Galapagos. Sebuah bukti buat kita semua bahwa di dalam ilmu pengetahuan pun ada intrik juga. (diambil dari http://tinyurl.com/6pc4em5).
Kisah Clara’s Medal membuat saya tertawa dan kagum pada saat yang bersamaan. Ke-iseng-an para peserta di dalam asrama yang menggelitik atau upaya mereka mengatasi beban berat yang mereka pikul ditambah lagi dengan adanya masalah pendanaan membuat novel ini istimewa. Walaupun ada beberapa typo dan jujur saya tidak suka dengan pilihan covernya, namun secara keseluruhan saya puas dengan Clara’s Medal. Bintang 4 untuk bacaan pertama saya ditahun 2012 yang sekaligus membuat saya sangat bersemangat untuk kembali mengevaluasi kemampuan saya, meningkatkannya, dan berjuang meraih mimpi.

--------------------------
Judul : Clara’s Medal
Penulis : Feby Indirani
Penerbit : Qanita
Terbit : September 2011
Tebal : 484 hal
ISBN : 9786029225044
--------------------------