Title: Laut
Bercerita
Author: Leila
S. Chudori
Publisher:
Kepustakaan Populer Gramedia
Published:
October 23rd 2017
Pages: 389p
ISBN:
9786024246945
“…itulah sebabnya kita
dilahirkan sebagai orang Indonesia.
…bahwa kita harus selalu
mencoba berbuat sesuatu, menyalakan sesuatu, sekecil apapun dalam kegelapan di
negeri ini.”
Laut
memulai cerita dari akhir kisah, menggambarkan perasaannya dan semua pikiran
yang muncul diakhir kisah itu. Bapak dan Ibunya, adik kesayangannya,
sahabat-sahabatnya dan kekasihnya yang mungil – apakah mereka semua sedang
bertanya tentang keberadaan dirinya, sementara ia mengapung dan perlahan
tenggelam. Laut bercerita tentang kisah negeri ini, suatu masa yang kelam,
Indonesia lama yang didominasi oleh penguasa keji yang membatasi kebebasan
berpendapat dan menindas yang lemah. Dipermukaan, rezim itu tampaknya tenang,
namun berapa banyak orang yang harus membayar ketenangan itu.
Adalah
Laut, Biru Laut, nama lengkapnya. Ia seorang mahasiswa di Yogya yang sejak
kecil melahap buku-buku sastra, menikmati diksi dan mempertanyakan pemikiran tokoh
dan penulis. Ia seorang yang hemat dalam kata tapi tajam menuangkannya lewat
tulisan. Walaupun berasal dari Solo, keluarga Laut tinggal di Ciputat, Jakarta.
Tapi Laut memilih Yogya, karena katanya disana banyak anak muda Indonesia yang berkumpul
di UGM dan mengutarakan ide-ide besar. Laut memang menyukai kata-kata besar, seperti
revolusi dan anak bangsa. Memang begitulah adanya Yogya kala itu. Laut bertemu
dengan Alex-pria asal Flores yang gemar fotografi dan memotret objeknya dengan
mata penuh rasa, Daniel-pria klimis asal Manado yang rewel tapi disukai banyak
wanita yang belum mengenalnya, Kinan-perempuan yang pendapatnya didengarkan
oleh mereka semua, Gala-disebut sebagai sang penyair karena kepiawainnya dalam
menyusun kata-kata indah, Bram-kutu buku yang sejak awal sudah dianggap sebagai
pemimpin besar oleh mereka yang berkawan, dan Anjani-pelukis mungil yang
menarik hati Laut. Mereka inilah yang dituturkan kisahnya oleh Laut, dimulai
dari sebuah rumah hantu Seyegan.
Dimulai
tahun 1991, menggunakan alur maju mundur yang bergantian sebagai bab, Laut
menceritakan latar belakang dan kenyataan masa kini secara bergantian. Seyegan,
sebuah rumah yang terpencil, menjadi rumah baginya dan sahabat-sahabatnya.
Dengan tembok yang dilukis Anjani dengan kisah Ramayana yang terbalik, mereka
membahas pemikiran tokoh-tokoh seperti Laclau, Ben Anderson ataupun Pramoedya
Ananta Tour. Tentu saja mereka tidak bebas membahas semua buku karya pemikir
besar ini, karena pemerintah saat itu melarang semua bentuk diskusi ataupun
bacaan dari tokoh-tokoh pemikiran kiri. Namun seperti catatan sejarah tentang
perjuangan mahasiswa saat itu, Laut dan teman-temannya yang tergabung dalam
komunitas Winatra dan Wirasena pun membangun aksi dan bergabung dengan petani
untuk melawan rezim Presiden Soeharto, melawan pemerintah yang hanya bisa diam
tunduk pada penguasa tunggal.
“yang paling sulit adalah
menghadapi ketidakpastian. Kami tidak merasa pasti tentang lokasi kami; Kami
tak merasa pasti apakah kami akan bertemu dengan orang tua, kawan, dan keluarga
kami, juga matahari; kami tak pasti apakah kami akan dilepas atau dibunuh; dan
kami tidak tahu secara pasti apa yang sebetulnya mereka inginkan selain meneror
dan membuat jiwa kami hancur…” –p259
Tak
perlu kujelaskan disini seluruh detail kejadian yang menimpa mereka. Tapi
sungguh tahun 1991-1998, aku tak pernah menyangka Ibu Kota sekelam itu,
Indonesia seburuk itu dibawah pimpinan diktator. Laut bercerita tentang
penculikan dan penyiksaan yang tak pernah mengenal kata Hak Asasi Manusia.
Mereka…tentara khusus itu bertindak seolah negeri ini milik nenek moyang
mereka. Berapa banyak keluarga harmonis yang tiba-tiba dilanda awan mendung
berkepanjangan akibat anak mereka menghilang tanpa jejak, berapa banyak istri
yang seperti mayat hidup berjalan kesana kemari mencari belahan jiwa mereka
yang tak pernah kembali, berapa banyak adik yang kehilangan satu-satunya kakak
mereka. Laut perlu bercerita untuk mengenalkan suatu masa kelam kepada generasi
yang sungguh beruntung menikmati Indonesia masa kini dan untuk meninggalkan jejak
mereka yang dipaksa punah.
Kali
pertama berkenalan dengan karya Leila S. Chudori, aku tak menyukainya. Saat
itu, saat membaca Pulang, aku meletakkannya setelah beberapa halaman pertama.
Mungkin aku tak cocok dengan cara bercerita penulis, kupikir begitu, tapi
mungkin aku menikmati Pulang disaat yang tidak tepat. Laut bercerita lain lagi.
Saat mulai membaca beberapa halaman pertama, aku tau pasti aku harus
menyelesaikan buku ini, dan tidak akan lama. Benar begitu kejadiannya. Aku
percaya, bacaan yang kita baca sebenarnya akan berekpresi sesuai kondisi
pembaca saat itu. Laut Bercerita hadir disaat aku sedang penat dengan rencana
masa depan, sehingga jendela ke masa lalu itu tampak begitu memukau dan menjadi
angin segar untukku. Aku seperti ditahan untuk bersabar sebentar, berhenti
sebentar dan memberi waktu untuk dirikku berpikir, karena aku perlu menghargai
mereka yang berjuang dimasa yang lalu untuk bisa menghargai semua yang bisa
kunikmati dimasa kini. Itulah arti buku ini untukku. Aku ingin mengucap
terimakasih untuk penulis, yang memberikan cuplikan sebuah masa yang tak boleh
kita lupa.
Ilustrasi cover lautnya saya suka, sangat artistic.
ReplyDeletesuka banget sama buku ini
ReplyDeleteperbedaan tepung terigu dan tepung tapioka