Judul: Dimsum Terakhir
Penulis: Clara Ng
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2012 (Cetakan ke-4)
Tebal: 368 hal
ISBN: 978-979-22-7952-8
Harga: 60k
Link
referensi: http://www.goodreads.com/book/show/13444842-dimsum-terakhir
“ A novel about being single and becoming part of a
family...when everything is going totally wrong”
Kutipan itu
ada di cover depan cetakan ke-4 buku Dimsum Terakhir yang terbitkan oleh
Gramedia. Selain karena rekomendasi beberapa teman, kutipan itu menjadi
alasanku membeli buku ini. Aku hidup terpisah dengan keluarga sejak lulus SMP,
keluar dari rumah untuk sekolah ke luar kota. Awalnya rasanya menyenangkan karena
bebas dari aturan yang mengikat setiap saat *piss mama* namun setelah dua belas
tahun berlalu dan hidup terus diperantauan, aku sangat mengenal rasanya
kesepian dan capeknya meng-handle segala sesuatunya sendiri (ini review apa
curhat ya). Sehingga ketika ada kesempatan libur dan bisa pulang ke rumah walau
hanya 2 tahun atau 5 tahun sekali, momen bersama keluarga itu sangat-sangat
kunikmati. Buku ini pun dari awal sampai akhirnya bercerita tentang keluarga.
Yang namanya keluarga pasti ada kehangatan, ada juga pertengkaran, saling
menyayangi atau menggerutu, selisih pendapat sudah biasa. Masalah dalam
keluarga pun tidak terhindarkan, muncul dari anak ataupun orang tua, semuanya
mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Namun selama itu terjadi dalam keluarga
mestinya akan ada tangan yang saling menguatkan, mengingatkan, dan menopang
satu sama lain.
Clara Ng pun
menampilkan gambaran keluarga Nung Atasana dengan persoalan setiap anak dan
masalah ras yang sempat melanda keturunan tionghoa di Indonesia. Kisah ini
menampilkan keempat saudari kembar, Siska, Indah, Rosi dan Novera yang setelah
dewasa tercerai-berai mengejar cita-cita masing-masing. Mereka nyaris melupakan
tradisi keluarga, melebur dengan kesibukan hidup dan meninggalkan sang ayah
sendirian bersama mbok hetih yang sesekali datang mengunjungi. Namun usia tua
dan penyakit yang diderita sang ayah suatu saat memanggil keempat anak kembali
ke rumah tempat mereka dibesarkan. Mereka berempat harus memaksa diri
meninggalkan rutinitas, siska meninggalkan perusahaannya di Singapur, Indah
meninggalkan pekerjaannya (walau sesekali dia masih bisa bekerja karena
posisinya di Jakarta), Rosi harus turun dari puncak meninggalkan perkebunan
mawarnya, sedangkan Novera harus meninggalkan aktivitas mengajar di Jogja.
Tidak mudah untuk mencapai kesepakatan mendampingi sang ayah, namun mereka
berempat berhasil melakukannya.
Sudah terbiasa
dengan cara hidup masing-masing dan harus kembali hidup bersama di bawah satu
atap membuat rumah Nung Atasana bagaikan medan perang kata-kata setiap harinya.
Siska dan Indah berteriak membenarkan cara mereka masing-masing, Rosi pun tidak
mau kalah sementara Novera, si lemah dan yang paling kecil hanya bisa melerai
tanpa daya. Keadaan ini diperburuk dengan keinginan terakhir sang ayah bahwa
mereka berempat harus menikah. MENIKAH. Tidak segampang membalikan telapak
tangan. Apalagi untuk Rosi yang lebih suka menyebut dirinya dengan Roni,
menikah dengan laki-laki adalah mimpi buruk baginya. Rosi memiliki pacar yang
ditinggalkannya diperkebunan dan pacarnya adalah seorang perempuan. Siska
adalah tipikal wanita mandiri yang biasa tidur dengan pria-pria yang dikenalnya
tanpa komitmen. Indah jatuh cinta pada seorang pastur, sementara Novera merasa
dirinya bukan wanita utuh karena rahimnya telah diangkat akibat kista ganas
yang menyerangnya. Lalu bagaimana mereka bisa berdamai dengan masa lalu,
mampukah menghadapi masa depan, sekali lagi mereka adalah keluarga, lingkaran
bulan utuh yang harusnya tidak terpisahkan, selalu bersama. Perayaan imlek
memiliki kenangan tersendiri untuk mereka. Dimsum yang selalu mereka makan bersama
saat subuh sebelum berangkat ke sekolah menjadi lonceng pengingat keutuhan mereka
sebagai keluarga, sesuatu yang seharusnya diingat dan dijaga oleh seluruh
keluarga, begitu Clara Ng menjelaskan dalam buku ini.
Clara Ng
bahkan menyadarkanku bahwa ada masa-masa ketika Indonesia menjadi tempat yang
sangat sulit untuk setiap keturunan Tionghoa. Dulu, aku pernah bertanya pada ayahku,
kenapa papa tidak punya nama cina? (sejak generasi kakek, budaya tionghoa tidak
lagi terasa karena kakekku sudah menikah dengan pribumi dan meninggalkan budaya
tionghoa). Jawaban ayahku hanya “orang cina
asli aja sekarang justru nyari nama Indonesia, kok kamu malah nanyain nama cina”.
Dulu aku tidak paham dan tidak pernah mencari tahu penyebabnya. Betapa butanya
aku. Kisah keluarga Nung Atasana membuatku memahami kesulitan itu. Masalah ras
dibahas dengan berani tanpa beban dan pastinya menyodok siapa saja yang berdiri
dibawah bendera diskriminasi saat itu.
Plot cerita
dituturkan dengan gaya alur maju mundur, dituturkan dari sisi narator yang mewakili
keempat saudari secara bergantian. Kadang-kadang muncul tokoh lain selain
mereka berempat, namun porsinya tidak banyak. Semua karakter digambarkan dengan
ciri khas yang terasa nyata. Siska adalah karakter yang paling kusukai,
walaupun dia terkesan tidak peduli, kasar, namun saat-saat dibutuhkan dia bisa
menunjukkan pengertian dan kelembutan layaknya seorang kakak. Ada dua bagian
yang paling berkesan untukku,
Saat Siska
mengakui punya adik bernama Roni, cara yang simple
namun cukup untuk seorang Rosi. (hal 226)
Saat Siska
menjelaskan konsep “The truth is what you
choose to believe” kepada ayahnya. (hal 262)
Awalnya aku
mencari cover Dimsum Terakhir yang warna merah (edisi awal-awal), namun sulit
mendapatkannya, jadilah aku mencari ke gramedia dan menemukan buku dengan cover
terbaru ini dan ternyata lebih bagus (menurutku). Aku memberikan tiga bintang untuk novel ini.
Siapapun yang menyukai cerita fiksi tentang sebuah keluarga, anda harus membaca
novel ini, mungkin sambil menikmati Dimsum :)
Dulu saya baca yang covernya merah. Tapi cover baru cute juga. :)
ReplyDeleteBaca review ini jadi tertarik :D
ReplyDeleteEh, dimsum itu apa sih? Sejenis makanan ya?
Iya dimsum itu makanan tapi sebenarnya gak ada hubungannya dengan imlek sih..hehehehe
ReplyDeleteAku punya yg cover merah. Yg aku suka dari novel ini karena ada budaya cina-nya itu
ReplyDeleteAku punya novelnya yang cover merah , ceritanya baguss
ReplyDeleteiyaa ini salah satu novel Indonesia yang enak dinikmati :)
Delete