Saturday, April 20, 2013

[Review] Dimsum Terakhir by Clara Ng


Judul: Dimsum Terakhir
Penulis: Clara Ng
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Mei 2012 (Cetakan ke-4)
Tebal: 368 hal
ISBN: 978-979-22-7952-8
Harga: 60k
 


“ A novel about being single and becoming part of a family...when everything is going totally wrong”
  
Kutipan itu ada di cover depan cetakan ke-4 buku Dimsum Terakhir yang terbitkan oleh Gramedia. Selain karena rekomendasi beberapa teman, kutipan itu menjadi alasanku membeli buku ini. Aku hidup terpisah dengan keluarga sejak lulus SMP, keluar dari rumah untuk sekolah ke luar kota. Awalnya rasanya menyenangkan karena bebas dari aturan yang mengikat setiap saat *piss mama* namun setelah dua belas tahun berlalu dan hidup terus diperantauan, aku sangat mengenal rasanya kesepian dan capeknya meng-handle segala sesuatunya sendiri (ini review apa curhat ya). Sehingga ketika ada kesempatan libur dan bisa pulang ke rumah walau hanya 2 tahun atau 5 tahun sekali, momen bersama keluarga itu sangat-sangat kunikmati. Buku ini pun dari awal sampai akhirnya bercerita tentang keluarga. Yang namanya keluarga pasti ada kehangatan, ada juga pertengkaran, saling menyayangi atau menggerutu, selisih pendapat sudah biasa. Masalah dalam keluarga pun tidak terhindarkan, muncul dari anak ataupun orang tua, semuanya mempengaruhi seluruh anggota keluarga. Namun selama itu terjadi dalam keluarga mestinya akan ada tangan yang saling menguatkan, mengingatkan, dan menopang satu sama lain.

Clara Ng pun menampilkan gambaran keluarga Nung Atasana dengan persoalan setiap anak dan masalah ras yang sempat melanda keturunan tionghoa di Indonesia. Kisah ini menampilkan keempat saudari kembar, Siska, Indah, Rosi dan Novera yang setelah dewasa tercerai-berai mengejar cita-cita masing-masing. Mereka nyaris melupakan tradisi keluarga, melebur dengan kesibukan hidup dan meninggalkan sang ayah sendirian bersama mbok hetih yang sesekali datang mengunjungi. Namun usia tua dan penyakit yang diderita sang ayah suatu saat memanggil keempat anak kembali ke rumah tempat mereka dibesarkan. Mereka berempat harus memaksa diri meninggalkan rutinitas, siska meninggalkan perusahaannya di Singapur, Indah meninggalkan pekerjaannya (walau sesekali dia masih bisa bekerja karena posisinya di Jakarta), Rosi harus turun dari puncak meninggalkan perkebunan mawarnya, sedangkan Novera harus meninggalkan aktivitas mengajar di Jogja. Tidak mudah untuk mencapai kesepakatan mendampingi sang ayah, namun mereka berempat berhasil melakukannya. 

Sudah terbiasa dengan cara hidup masing-masing dan harus kembali hidup bersama di bawah satu atap membuat rumah Nung Atasana bagaikan medan perang kata-kata setiap harinya. Siska dan Indah berteriak membenarkan cara mereka masing-masing, Rosi pun tidak mau kalah sementara Novera, si lemah dan yang paling kecil hanya bisa melerai tanpa daya. Keadaan ini diperburuk dengan keinginan terakhir sang ayah bahwa mereka berempat harus menikah. MENIKAH. Tidak segampang membalikan telapak tangan. Apalagi untuk Rosi yang lebih suka menyebut dirinya dengan Roni, menikah dengan laki-laki adalah mimpi buruk baginya. Rosi memiliki pacar yang ditinggalkannya diperkebunan dan pacarnya adalah seorang perempuan. Siska adalah tipikal wanita mandiri yang biasa tidur dengan pria-pria yang dikenalnya tanpa komitmen. Indah jatuh cinta pada seorang pastur, sementara Novera merasa dirinya bukan wanita utuh karena rahimnya telah diangkat akibat kista ganas yang menyerangnya. Lalu bagaimana mereka bisa berdamai dengan masa lalu, mampukah menghadapi masa depan, sekali lagi mereka adalah keluarga, lingkaran bulan utuh yang harusnya tidak terpisahkan, selalu bersama. Perayaan imlek memiliki kenangan tersendiri untuk mereka. Dimsum yang selalu mereka makan bersama saat subuh sebelum berangkat ke sekolah menjadi lonceng pengingat keutuhan mereka sebagai keluarga, sesuatu yang seharusnya diingat dan dijaga oleh seluruh keluarga, begitu Clara Ng menjelaskan dalam buku ini.

Clara Ng bahkan menyadarkanku bahwa ada masa-masa ketika Indonesia menjadi tempat yang sangat sulit untuk setiap keturunan Tionghoa. Dulu, aku pernah bertanya pada ayahku, kenapa papa tidak punya nama cina? (sejak generasi kakek, budaya tionghoa tidak lagi terasa karena kakekku sudah menikah dengan pribumi dan meninggalkan budaya tionghoa). Jawaban ayahku hanya “orang cina asli aja sekarang justru nyari nama Indonesia, kok kamu malah nanyain nama cina”. Dulu aku tidak paham dan tidak pernah mencari tahu penyebabnya. Betapa butanya aku. Kisah keluarga Nung Atasana membuatku memahami kesulitan itu. Masalah ras dibahas dengan berani tanpa beban dan pastinya menyodok siapa saja yang berdiri dibawah bendera diskriminasi saat itu.

Plot cerita dituturkan dengan gaya alur maju mundur, dituturkan dari sisi narator yang mewakili keempat saudari secara bergantian. Kadang-kadang muncul tokoh lain selain mereka berempat, namun porsinya tidak banyak. Semua karakter digambarkan dengan ciri khas yang terasa nyata. Siska adalah karakter yang paling kusukai, walaupun dia terkesan tidak peduli, kasar, namun saat-saat dibutuhkan dia bisa menunjukkan pengertian dan kelembutan layaknya seorang kakak. Ada dua bagian yang paling berkesan untukku,

Saat Siska mengakui punya adik bernama Roni, cara yang simple namun cukup untuk seorang Rosi. (hal 226)
Saat Siska menjelaskan konsep “The truth is what you choose to believe” kepada ayahnya. (hal 262)

Awalnya aku mencari cover Dimsum Terakhir yang warna merah (edisi awal-awal), namun sulit mendapatkannya, jadilah aku mencari ke gramedia dan menemukan buku dengan cover terbaru ini dan ternyata lebih bagus (menurutku).  Aku memberikan tiga bintang untuk novel ini. Siapapun yang menyukai cerita fiksi tentang sebuah keluarga, anda harus membaca novel ini, mungkin sambil menikmati Dimsum :)

6 comments:

  1. Dulu saya baca yang covernya merah. Tapi cover baru cute juga. :)

    ReplyDelete
  2. Baca review ini jadi tertarik :D
    Eh, dimsum itu apa sih? Sejenis makanan ya?

    ReplyDelete
  3. Iya dimsum itu makanan tapi sebenarnya gak ada hubungannya dengan imlek sih..hehehehe

    ReplyDelete
  4. Aku punya yg cover merah. Yg aku suka dari novel ini karena ada budaya cina-nya itu

    ReplyDelete
  5. Aku punya novelnya yang cover merah , ceritanya baguss

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaa ini salah satu novel Indonesia yang enak dinikmati :)

      Delete