Showing posts with label Culture. Show all posts
Showing posts with label Culture. Show all posts

Monday, July 6, 2015

[Review] Of Mice and Men by John Steinbeck

Title: Of Mice and Men
Author: John Steinback
Publisher: Ufuk
Published: December 2009
Pages: 240
ISBN: 9786028224727
A Gift from a fiend

“Teknik yang dihadiahkan Steinback padaku tampaknya akan menjadi milik tetap...Steinback menderetkan kata-kata sederhana bermuatan padat, kalimat-kalimat apik dan utuh”Pramoedya Ananta Toer.

Ada banyak penulis yang menelurkan karya yang dikatakan banyak orang bagus, tetapi terkadang sulit untuk kunikmati. Salah satu penyebabnya adalah pilihan kata yang digunakan seorang penulis. Pilihan kata yang tepat adalah salah satu kunci kenikmatan membaca untukku. Tak jarang, aku meletakkan buku yang baru beberapa halaman kubaca karena kalimat-kalimat yang kaku, terlalu berbunga-bunga, bahkan sulit dicerna. Tetapi berbeda dengan John Steinback. Sebelum membaca Of Mice and Men, aku pernah membaca karyanya yang lain yakni Tortilla Flat dan harus kuakui Steinback lihai dalam memilih kata dan menyusun kalimat. Bukan kata-kata fancy dan kalimat yang terlalu pretentious, tetapi pilihan kata sederhana yang membuat buku ini indah, tepat seperti yang dikatakan Pramodya Ananta Toer diatas.

Thursday, June 26, 2014

[Review] The Kite Runner by Khaled Hosseini

Title: The Kite Runner
Author: Khaled Hosseini
Publisher: Qanita
Published: 2008
ISBN: 978-979-326975-7

"For you a thousand times over"

Penderitaan Afganistan melewati peperangan selama bertahun-tahun dihiasi oleh berbagai kisah yang hampir selalu memilukan hati. Khaled Hosseini mencoba menggambarkan wajah Afganistan lewat salah satu karyanya yang juga tidak kalah pahit. The Kite Runner adalah kisah tentang persaudaraan dan penghianatan, ketulusan hati dalam memberi tanpa pamrih, serta penyesalan yang bisa melumpuhkan kekuatan seseorang. Amir dan Hassan adalah dua orang anak yang menyusui dari wanita yang sama namun mereka lahir dalam kaum yang berbeda dalam masyarakat Afganistan.  Amir berasal dari kaum Pasthun, sedangkan Hassan yang digambarkan seperti orang mongolia berasal dari kaum Hazara. Yang satu dianggap tuan sedangkan yang lain tidak lebih dari seorang hamba, kaum Hazara bahkan sering disiksa di berbagai pelosok di Afganistan, namun kekejaman itu tidak akan pernah terjadi di rumah Baba, ayah Amir. Hassan dan Ayahnya, Ali, tinggal dan bekerja di rumah Amir, Baba menjaga mereka dengan sangat baik. Amir adalah kata pertama yang diucapkan oleh Hassan ketika ia mulai bisa berbicara, mereka tumbuh bersama, bermain bersama, sehingga perbedaan mendasar itu tidak berarti apa-apa di rumah Baba dan Amir.

Friday, March 29, 2013

[Review] Interpreter of Maladies by Jhumpa Lahiri


Title: Interpreter of Maladies
Author: Jhumpa Lahiri
Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Published: December 2006
Pages: 248p
ISBN: 979-22-2518-8

Interpreter of Maladies memperkenalkan saya, untuk pertama kalinya pada sastra India. Entah tepat atau tidak menyebut karya Jhumpa Lahiri ini sebagai sastra India, mengingat sang penulis sendiri dilahirkan dan dibesarkan dengan budaya Amerika. Buku ini adalah kumpulan cerpen yang memuat 9 cerita pendek bercorak India dan Amerika. Kesembilan kisah ini, meskipun disajikan dalam bentuk fiksi, jika diamati lebih cermat, justru memuat gambaran kehidupan nyata pada masa yang berbeda-beda. Terjepit diantara dua budaya yang berbeda, Jhumpa Lahiri, menyuguhkan sudut pandang Imigran India yang pindah ke Amerika, hubungan diantara keluarga, akibat dari sebuah peradaban dan budaya, dan tanggungjawab seorang penerjemah.

Wednesday, April 25, 2012

[Review] A Thousand Splendid Sun, "perempuan-perempuan perkasa dalam karya Khaled Hosseini"


A Thousand Splendid Suns mengisahkan dua wanita dari generasi yang berbeda, Mariam dan Laila. Bagian awal novel ini fokus menceritakan kehidupan Mariam. Ia hidup bersama ibunya, Nana, disebuah gubuk yang terletak jauh dari kota. Sang ayah, Jalil, tidak pernah menikahi ibunya karena status sosialnya. Mariam dan Nana hidup di gubuk kecil serba kekurangan, sedangkan Jalil hidup bersama tiga istrinya di Herat dalam rumah besarnya. Nana telah menceritakan semua kejahatan Jalil kepada Mariam, namun Mariam tetap memuja ayahnya yang biasa mengunjunginya setiap minggu. 

“Camkan ini sekarang, dan ingatlah terus anakku : Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke utara, telunjuk laki-laki juga selalu teracung untuk menuduh perempuan. Selalu. Ingatlah ini, Mariam.” [hal 20]

Mariam selalu ingin mengunjungi rumah ayahnya di Herat dan ketika keinginannya memuncak, Ia rela mengabaikan larangan ibunya dan menempuh perjalanan ke Herat. Apa yang dijumpainya di Herat membuat Mariam memahami perkataan ibunya selama ini, namun nasi sudah menjadi bubur, ketika ia kembali ke gubuknya, Mariam hanya mendapati tubuh ibunya sudah tidak bernyawa.

Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam.
Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu.
Hanya akulah yang kaumiliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi.
Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!

Mariam yang seorang diri dan ketakutan, oleh sang ayah justru dinikahkan dengan seorang duda tua dan dibawa ke Kabul, tempat dimana kehidupan yang sebenarnya menanti Mariam.

Sampai disini saya terus menanti sebuah peristiwa baik yang akan disisipkan sang penulis dalam kehidupan Mariam, namun lagi-lagi saya semakin takut melihat masa depan Mariam. Mariam memasuki rumah barunya di Kabul bersama suaminya, Rasheed. Membaca bagian ini, saya sangat ketakutan, saya takut membayangkan apa yang akan dilakukan Rasheed pada Mariam. Ketika memasuki malam hari, saya bergidik membayangkan Rasheed yang mulai mendekati Mariam. Poor Mariam. Ia tidak bisa menolak Rasheed dan Mariam pun hamil, namun justru saat itulah ia mulai merasa memiliki harapan. Di puncak ketakutan itu, penulis justru membawa saya berkenalan dengan gadis kedua. 

Berkenalan dengan Laila membuat saya sedikit mengendorkan otot-otot saya yang dari awal tegang membaca kisah Mariam. Laila memiliki sahabat laki-laki pincang bernama Tariq. Persahabatan Laila dan Tariq membuat saya sejak awal berharap mereka akan menjadi sepasang kekasih. Namun, penulis tidak memberikan cerita semanis itu. Lewat mata Laila dan Tariq, saya dibawa melihat peperangan yang melanda Afganistan. 

Suatu hari keluarga Tariq memutuskan untuk meninggalkan Kabul yang dirasa sudah tidak aman lagi. Menghadapi perpisahan itu membuat Laila dan Tariq menyadari perasaan mereka masing-masing. Lalu apa yang harus mereka lakukan? Sementara orang tua Laila pun berencana untuk mencari tempat yang baru. Apakah semua rencana itu berhasil? Bagaimana kehidupan Laila dan Tariq selanjutnya? Lalu apa sebenarnya tujuan Khaled Hosseini menceritakan Mariam dan Laila secara bergantian? Novel ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama fokus menceritakan Mariam, bagian kedua fokus menceritakan Laila, dan bagian ketiga menceritakan keduanya secara bergantian. Suatu saat kehidupan mereka pada akhirnya harus bersinggungan satu sama lain. Lalu apa hubungan mereka? 

Khaled Hosseini bercerita dengan latar belakang peperangan dan kekacauan yang sedang melanda Afganistan. Dimulai saat peperangan antara Afganistan dan soviet, lalu diteruskan dengan kepemimpinan Taliban yang justru membuat keadaan Kabul semakin kacau. Dari semua karakter, saya paling menyukai karakter Mariam. Dia sabar dan kuat menghadapi segala sesuatu yang menimpanya. Dan ketika sebuah ungkapan cinta diterimanya, ia bahkan berani mengambil tindakan yang luar biasa.

Novel ini mengandung informasi-informasi menarik yang baru saya ketahui setelah membacanya. Woman in Kabul. Wanita di Kabul tidak diijinkan untuk bekerja dan berkarir seperti laki-laki. Sebelum kepemimpinan Taliban, wanita telah menduduki tempat-tempat yang sejajar dengan pria. Banyak wanita menjadi dosen, guru bahkan pegawai negeri. Ayah Laila adalah salah satu tokoh yang terus mendesak anaknya agar mendapat pendidikan yang layak. Bahkan setelah jalanan semakin kacau, Ayah Laila memutuskan menjadi guru bagi anaknya, hanya agar Laila tidak kekurangan pendidikan. Wanita tidak boleh keluar rumah sendirian. Ia harus ditemani oleh suaminya dan harus menggunakn burqa. Selain itu Khaled Hosseini menggambarkan kehamilan sebagai sebuah harapan akan masa depan yang lebih baik. Mariam hamil dan berharap ia bisa hidup dengan lebih baik. Kehamilan Laila yang membuatnya berjuang untuk terus hidup. Wanita di Kabul hanya dianggap sebagai mesin penghasil anak, khususnya anak laki-laki, selain mesin penghasil anak, wanita bukanlah apa-apa.

Patung Buddha Bamiyan. Monumen patung Buddha yang terletak di lembah Bamiyan merupakan suatu tempat yang oleh Khaled Hosseini digambarkan sebagai tempat yang indah. Daerah yang terletak di jalur sutra yang menghubungkan wilayah india dan tiongkok dengan dunia barat ini berkembang menjadi pusat agama dan filsafat. Patung yang telah lama dipelihara dan dilestarikan ini, pada masa pemerintahan Taliban dihancurkan karena dianggap sebagai berhala.


People’s Pursuit of Love and Freedom. Setiap tokoh dalam novel ini berjuang untuk meraih kebebasan dan menemukan cinta. Mariam yang setelah sekian lama menderita, kesepian, sendirian dan tertekan, justru menjadi lebih berani ketika mengenal Laila. Mariam menjadi kuat karena ia mendapatkan cinta dari Laila yang dianggapnya seperti anak sendiri. Jalil berusaha melakukan setiap hal yang dapat menebus kesalahannya hanya untuk mendapatkan cinta Mariam kembali. 

 Khaled Hosseini lahir di Kabul, Afghanistan di tahun 1965. Ayahnya adalah seorang diplomat dengan Kementrian Luar Negeri Afghanistan. Ibunya mengajar bahasa Farsi dan Sejarah di sebuah sekolah menengah yang besar di Kabul. 
Hosseini adalah seorang Internist dan dia mulai menulis “The Kite Runner” di bulan Maret 2001, saat dia juga sedang praktek sebagai dokter. “The Kite Runner” telah diterbitkan dan menjadi bestseller di 38 negara. Novel keduanya “A Thousand Splendid Suns” diterbitkan di Amerika di Mei 2007 dan telah menjadi bestseller.

Special thing. Buku ini telah berada dalam wishlist saya kurang lebih satu tahun. Entah mengapa selama setahun, saya tidak terpikir untuk membelinya langsung ke toko buku. Jujur saya tidak yakin akan menyukai kisah yang dituturkan oleh Khaled Hosseini ini. Untuk perkenalan yang tertunda itu, kini, membuat saya justru bersyukur karena mendapatkan buku ini sebagai kado dari secret santa versi blog buku Indonesia. Pada bulan desember 2011, kami yang tergabung dalam blog buku Indonesia mengadakan suatu event tukar kado antar sesama member, saya mendapat kesempatan untuk memberikan kado kepada salah seorang teman yang berada di medan, namun saya tidak tahu siapa yang akan memberikan saya kado, that’s why sang pemberi kado populer dengan nama #SS(Secret Santa). Kegembiraan mulai terasa dalam group ketika masing-masing mulai menerima buntelan kado secret santa dan akhirnya pada awal januari buku ini mendatangi saya. Lalu apakah asumsi saya yang tidak akan menyukai kisah ini tetap ada setelah berkenalan dengan buku ini? NO. This book was a mirror of life, people’s pursuit of love and freedom.

Terimakasih untuk Mia Prasetya yang telah memulai perkenalan saya dengan A Thousand Splendid Sun.

---------------------------------------
Judul : A Thousand Splendid Suns
Penulis : Khaled Hosseini
Penerbit : Qanita
Terbit : Mei 2011 (Cetakan II)
Tebal : 512 hal
ISBN : 978-602-8579-52-0
---------------------------------------

Monday, April 23, 2012

[Review] A Single Shard, "bermimpi & berjuang ala Tree-ear"



Setiap manusia, siapapun dia, bagaimanapun keadaannya, seharusnya ia punya mimpi. Mengapa? Karena mimpi membuat setiap orang bangun di pagi hari dengan semangat baru. Demikian juga dengan Tree-ear seorang anak yatim piatu dari desa Ch’ulp’o. Sejak kecil Tree-ear tinggal di bawah jembatan bersama seorang lelaki cacat yang dia panggil Crane-man. Untuk makan, mereka biasanya mencari sisa-sisa makanan yang telah dibuang oleh warga sekitar. Meski demikian Tree-ear pun memiliki mimpi. Ia ingin menciptakan sebuah vas keramik.

Suatu hari Tree-ear mendekati rumah seorang pembuat keramik bernama Min. Ia memperhatikan barang-barang keramik hasil buatan Min. Tree-ear senang memperhatikan Min bekerja, namun Min tidak menyadari kehadirannya. Suatu hari Tree-ear mengendap-ngendap untuk melihat koleksi Min, Tree-ear tertarik dengan sebuah vas sehingga ia mengangkatnya. Kedatangan Min mengejutkan Tree-ear sehingga vas itu jatuh dan pecah. Pada awalnya Min memukulnya, namun ia langsung berhenti begitu mendengar penjelasan Tree-ear. Karena tidak bisa mengganti biaya keramik tersebut, Tree-ear mulai bekerja pada Min. Ia masih berharap bahwa suatu saat nanti, Min akan mengajarkannya cara membuat keramik. Namun berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Tree-ear harus mengumpulkan kayu bakar, mengambil tanah liat, serta melakukan beberapa tugas di sekitar rumah Min. Pada awalnya, tangan Tree-ear nyaris tidak kuat, namun lama kelamaan, pekerjaan itu membuat tangannya menajadi lebih kuat. Awalnya ia tidak bisa mengangkat potongan tanah liat dengan benar, namun lama kelamaan ia semakin mahir, ia bahkan mulai belajar untuk membentuk tanah liat menjadi bentuk-bentuk sederhana tanpa harus menggunakan roda pemutar. Setiap hari Tree-ear berharap segera dapat duduk di depan roda pemutar tanah liat dan belajar cara membuat vas dari sang maestro, namun mimpinya seperti terhempas jatuh kembali ke bumi setelah mendengar penolakan Min terhadap mimpinya itu.
“Kau harus tahu anak yatim piatu, jika kau bisa belajar membuat keramik, pasti bukan aku yang mengajarimu”…..”Usaha seorang pengrajin diturunkan dari ayah kepada anak lelakinya…putraku, Hyung-gu sudah tiada sekarang. Dialah yang akan kuajar. Kau…kau bukan putraku” [hal 119]
Perkataan Min sempat membuat semangatnya kendor, namun Tree-ear tahu bagaimana harus mengani perasaannya sendiri dan melihat hal lain yang bisa dilakukannya, terutama karena istri min, Ajima (bibi), memperlakukannya dengan sangat baik. Tree-ear tetap bekerja pada Min, namun ia menyimpan harapan dan mimpinya di dalam hatinya.

Suatu hari Tree-ear diminta untuk mengantarkan dua buah keramik untuk seorang utusan kerajaan di Songdo. Untuk menuju Songdo Tree-ear harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama berhari-hari. Ajima telah membekalinya dengan makanan yang cukup, serta beberapa keping koin yang sewaktu-waktu bisa digunakannya. Perjalanan ini merupakan saat-saat penentu bagi Tree-ear. Awalnya dia tidak menemukan penghalang dalam perjalanannya, namun suatu kali ia menemukan kondisi yang sangat menyedihkan, ia tidak bisa mengelak dari nasib buruknya, dan harus melihat kedua vas keramik itu jatuh berkeping-keping. Tree-ear merasa gagal menjalankan tugas yang diberikan kepadanya.

Lalu apa jadinya nasib Tree-ear? Bagaimana ia mencari jalan keluar atas musibah yang menimpanya? Bagaimana ia harus menjelaskan peristiwa itu kepada Min? Apakah mimpi Tree-ear juga hancur berkeping-keping seperti kedua vas keramik itu?

Jika semua anak seperti yang digambarkan oleh penulis dalam novel ini memiliki mimpi, pekerjaan dan pengetahuan seperti Tree-ear, saya jadi merenung betapa luar biasanya Korea. Pengetahuan Tree-ear tidak bisa dibilang pas-pasan untuk anak seusia dia yang tidak pernah mengecap pendidikan formal. Novel ini juga memperlihatkan bahwa dalam setiap tahapan yang harus dilewati oleh manusia, ada hal-hal diluar harapan kita yang terkadang membuat mimpi kita buyar, namun seperti Tree-ear, seharusnya kita terus berfokus pada mimpi itu dan menjadi kuat dalam setiap tahapan yang kita lewati.

Karakter yang paling saya sukai tentu saja karakter Tree-ear yang pantang menyerah dan selalu memperhatikan dengan seksama. Ia selalu belajar dengan mengamati tanpa perlu bertanya lebih banyak. Namun perkembangannya tidak terlepas dari tuntunan Crane-man yang tidak hanya selalu membantu mengisi kekosongan perutnya namun juga mengisi pikirannya dengan berbagai macam ide menarik.

Novel yang mendapatkan Newbery Medal Award pada tahun 2002 ini menggunakan alur maju dan dituturkan oleh seorang narrator. Dan Ini adalah gambar cover yang paling kusukai.

 
--------------------------------------
Judul : A Single Shard
Penulis : Linda Sue Park
Penerbit : Atria
Terbit : Maret 2012
Tebal : 191 hal
ISBN : 978-979-024-491-7
--------------------------------------

Tuesday, November 15, 2011

Review : Uncle Tom's Cabin


Bersabarlah! Bersabarlah! Wahai kalian yang hatinya membengkak dan marah terhadap perbuataan seperti ini. Tidak satu degup penderitaan pun, tidak satu butir air mata pun dari mereka yang tertindas, dilupakan oleh Pria yang sengsara, Penguasa Kemuliaan. Dalam dadanya yang sabar dan murah hati, Dia menanggung penderitaan dunia. Tanggunglah, seperti dirinya, dengan sabar, dan berusaha dengan cinta; karena pasti demikian pula dengan TUhan, “saat penebusan akan datang” (Hal. 185)




Jadi, andalah wanita mungil yang menulis buku yang memicu perang besar ini?” adalah kata-kata yang diucapkan oleh presiden Amerika Serikat legendaries Abraham Lincoln kepada Harriet Beecher Stowe mengacu pada novel ini.  (dikutip dari sinopsis belakang cover serambi).

Lewat Uncle Tom’s Cabin, Stowe menyatakan kekecewaan dan dukanya yang paling dalam terhadap kondisi kehidupan Amerika sekitar tahun 1850an. Uncle Tom’s Cabin dirangkai dengan sangat teratur dan tajam oleh Stowe sehingga memicu kesadaran dan goncangan luar biasa pada masyarakat Amerika di masa itu. Tokoh sentral di dalam novel ini adalah Tom, seorang budak kulit hitam di rumah keluarga Shelby, seorang yang taat dan tetap setiap kepada imannya bahkan di tengah kondisi yang paling hina dan menderita. Ia menjadi lambang kerendahan hati dan kebaikan serta kesetiaan yang luar biasa.

Di dunia ini ada jiwa-jiwa yang mulia, yang dalam penderitaannya bangkit untuk membahagiakan orang lain; yang harapan duniawinya, terbaring di pusara diiringi uraian air mata, menjadi bibit yang menumbuhkan bunga-bunga kesembuhan dan pelipur lara bagi mereka yang kesepian dan menderita (Hal. 127)

Tuan Shelby adalah seorang tuan yang baik bagi para budaknya, namun hutang mendesaknya untuk memilih menjual beberapa budaknya atau harus kehilangan semuanya. Singkatnya Tom yang malang itu harus terpaksa dijual untuk menyelamatkan keluarga Shelby dan budak lain yang berlindung pada keluarga itu, termasuk keluarga Tom sendiri. Selain Tom dan keluarganya, ada juga Eliza, wanita muda yang cantik, cerdas dan berani yang hidup bersama mereka. Ketika mendengar bahwa anaknya, Harry, akan dijual bersama Tom, keberanian untuk menyelamatkan anaknya bangkit dan memicunya mengambil tindakan yang luar biasa berani dengan melarikan diri. Tom menunjukkan kerelaan hati dan kesabaran luar biasa ketika ia terpaksa dijual, sementara Eliza menunjukkan keberanian yang tidak kalah luar biasa untuk melindungi anak satu-satunya akan hampir direnggut darinya.

Begini, Tuan George, Tuhan kasih banyak kebaikan-kebaikan dua kali lipat lebih besar; tapi Dia hanya kasihkan kita ibu satu kali saja. Tuan tak akan ketemu wanita seperti itu lagi, Tuan George, bahkan kalau Tuan hidup seratus tahun (Hal. 145; Nasihat Tom kepada George, anak dari keluarga Shelby)

Dari sini cerita mulai bercabang, terkadang Stowe membawa kita mengikuti perjalanan Tom diantara para budak yang akan dijual, kemudian mengajak kita melihat perjuangan Eliza dalam pelariannya, sementara Tuan Haley, sang penjual budak yang sangat marah karena kehilangan Harry, anak Eliza,  mengarahkan beberapa orang pemburu budak untuk memburu mereka tanpa ampun.

Paman Tom & Evangeline. Perjalanan paman Tom mempertemukannya dengan seorang nona kecil bernama Evangeline. Setiap orang yang mengenal Eva kecil ini akan jatuh cinta kepadanya, demikian juga dengan paman Tom. Ada sesuatu dalam diri anak itu yang memancar keluar dan mempengaruhi orang-orang disekitarnya. Eva pun melihat sesuatu dalam diri paman Tom yang membuatnya menyukai lelaki tua itu, sehingga ia meminta ayahnya agar membeli Tom. Nasib baik berpihak kepada Tom, karena ia bertemu dengan majikan yang memperlakukan budak dengan sangat baik. Namun, apakah nasib baik ini akan terus bersamanya?

George Harris, Eliza & Harry. George Harris adalah seorang budak yang dimiliki oleh Tuah Harris. Karena kecakapannya dalam melakukan segala hal, ia diminta untuk bekerja di sebuah pabrik. Tidak membutuhkan waktu lama untuk menunjukkan bakatnya, sehingga semua orang menyukainya. Kondisi George yang semakin baik ini tidak menyenangkan untuk Tuan Harris, sehingga ia memaksa George untuk kembali melakukan pekerjaan kasar siang dan malam, sehingga George bahkan tidak punya waktu untuk belajar dan beristirahat. Ia benar-benar diperlakukan seperti barang bergerak yang tidak berperasaan. George yang sudah menikah dengan Eliza dan memiliki anak Harry pun dipaksa untuk melupakan keluarganya. Hal ini membuat George merasa tidak adil dan semakin menginginkan kemerdekaan. Namun hal itu tidak mudah untuk diwujudkan, perjalanan yang harus ditempuhnya sangat panjang, ia harus berjuang untuk dapat bersatu kembali dengan keluarganya. Apakah ia berhasil? 

Bagi ayah-ayah kalian, kemerdekaan merupakan hak suatu bangsa untuk menjadi bangsa. Baginya, kemerdekaan merupakan hak seorang manusia untuk menjadi manusia dan bukan benda yang tidak menyenangkan (Hal 531)

Sejarah kelam perbudakan di America telah bermula sejak tahun 1619, saat budak Afrika pertama tiba di Virginia. Ketika Fugitive Slave Law disahkan pada tahun 1850, berbagai kontroversi mulai bermunculan di masyarakat amerika, khususnya antara negara bagian selatan dan utara. Jika anda mencari sejarah perbudakan di Amerika, maka kemunculan novel ini tercatat pada tahun 1852 dan memberikan pengaruh yang sangat luar biasa pada masyarakat yang telah lama sentimen terhadap perbudakan, juga menimbulkan banyak kritik dari wilayah Amerika Selatan. Novel ini bahkan disebut sebagai peletak dasar munculnya perang saudara. 

Siapapun yang berhati lembut, tentu tidak akan pernah tahan hidup di masa-masa kelam perbudakan itu. Saya tidak bisa memahami cara berpikir orang-orang amerika masa itu, apalagi mereka yang hidup tanpa kepedulian. Mereka bahkan menganggap para budak tidak memiliki perasaan. Mereka memisahkan saudara bersaudara, seorang anak dari ibunya, istri dari suaminya. 

Yang paling berat dari perbudakan, menurut saya, adalah penindasan terhadap perasaan dan kasih sayang…dengan terpisahnya keluarga (Hal. 173-174)

Saya lantas berpikir, apa bedanya amerika masa itu dengan jerman dibawah kekuasaan Hitler. Konfliknya mungkin berbeda, namun sama-sama membawa penderitaan untuk kaum minoritas. Namun, diantara setiap mahluk berhati busuk itu, Stowe ingin menunjukkan bahwa ada orang-orang yang tetap hidup penuh cinta kasih, yang melihat hati para budak sama seperti hati seluruh manusia. Masih ada cinta ditengah kegelapan itu. Anda akan menemukannya ketika anda membaca bagian tentang Evangeline dan keluarganya. Cinta itu mungkin tidak bisa bertahan lama tinggal di dunia yang gelap, namun cinta yang tulus akan mampu mempengaruhi, bahkan membawa jiwa yang tersesat untuk menemukan jalan kembali kepada terang yang kekal. 

Setiap karakter dalam novel ini memiliki karakter yang unik. Setiap tokoh terkesan saling terpisah, namun sebuah benang merah akan nampak diakhir kisah. Lewat novel ini, saya belajar bahwa hati yang benar-benar tulus untuk mencintai, akan menyentuh banyak jiwa yang berselimutkan kegelapan. Mereka ini, orang-orang yang merasa tidak dicintai hanya membutuhkan sebuah ketulusan dan pengetahuan bahwa mereka diterima dan dicintai. Membaca kisah Uncle Tom’s Cabib, seperti menyaksikan sebuah proses panjang sebuah kehidupan yang didalamnya seseorang benar-benar akan bertumbuh, bergantung pada pilihan yang diambilnya. Orang yang keras hati pun bahkan bisa menjadi gila ketika menghadapi kasih dan cinta yang tulus.

Hei, engkau, yang pernah mendengar dari pewarta yang sama, bahwa Tuhan adalah cinta, dan bahwa Tuhan seperti api yang menghanguskan, tidakkah engkau tahu, bahwa bagi jiwa yang terbelenggu dalam dosa, maka cinta yang sempurna berubah menjadi siksaan yang paling menyeramkan, segel dan kutukan yang timbul dari keputusasaan yang paling menakutkan? (Hal 515-516)

Buku ini minim typo, penerjemah serambi berhasil menyajikan terjemahan percakapan yang sangat berbeda antara bahasa yang digunakan oleh budak dan majikan. Bravo untuk Istiani Prajoko yang berhasil menerjemahkan bagian-bagian percakapan dengan dialek kulit hitam yang saya rasa pasti sangat sulit namun tersaji sangat bagus. Cover yang digunakan pun sangat sederhana dan hangat. Terimakasih untuk penerbit serambi atas saluran novel yang sangat menyentuh ini. Saya meneteskan air mata sejak awal sampai menutup halaman terakhir. Wajar saja jika Langston Hughes menyebut buku ini sebagai "buku yang paling dikutuk dan dipuja pada masanya".

Wahai engkau yang merampas kemerdekaan seorang manusia, dengan kata-kata apa engkau dapat menjawab pertanyaan Tuhan? (Hal. 536)


-----------------------------------------------
Judul                   : Uncle Tom’s Cabin
Penulis                : Harriet Beecher Stowe
Penerbit              : Serambi
Terbit                 : Juli 2011
Tebal                  : 609
ISBN                    : 978-979-024-359-0
-----------------------------------------------

Friday, November 11, 2011

Review : Dataran Tortilla


seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi saudara dalam setiap kesukaran
(Amsal 17:17)

Kata orang persahabatan itu indah. Betapa indahnya hidupmu ketika engkau memiliki seorang sahabat seperti yang dikutip dalam amsal 17 ayat 17 diatas. Lalu bagaimana seorang sahabat yang menaruh kasih setiap waktu itu? Bagaimana sahabat yang menjadi saudara dalam setiap kesukaran? Saya percaya anda akan menemukan salah satu contohnya ketika membaca karya John Steinbeck yang satu ini. 

Dataran Tortilla adalah sebuah dataran tinggi diatas Kota Monterey yang terletak di wilayah California. Di dataran Tortilla ini, hiduplah kaum paisanos – rakyat jelata yang berdarah campuran Spanyol, Indian, Meksiko dan Kaukasia. Diantara rakyat jelata itu, hiduplah tokoh yang diciptakan oleh John Steinbeck ini, ia bernama Danny. Sekembalinya dari aktivitas ketentaraannya pasca perang, Danny mendapat warisan rumah dari kakeknya yang baru saja meninggal. Sebelum berangkat sebagai tentara, Danny hidup dijalanan, terkadang mendekam di penjara beberapa malam karena melakukan kejahatan ringan di lingkungannya. Namun sesekali, mendekam di penjara menjadi jalan keluar baginya untuk menghadapi rasa lapar atau supaya ia bisa tidur tidak beratapkan langit. Ketika Danny mengetahui bahwa ia memiliki rumah, ia menjadi bangga akan dirinya dan bertekad untuk hidup dengan baik dan menjaga martabat barunya. Pada masa itu, memiliki sebuah rumah menjadikan martabat seseorang lebih tinggi. penghargaan terhadap martabat seseorang diukur dari apa yang dimilikinya. Sepertinya dunia sekarang pun tidak lebih baik dari lingkungan Danny pada masa itu dalam hal penilaian ini. 

Membaca Dataran Tortilla ini, seperti menyaksikan kehidupan Danny dan teman-temannya yang perlahan-lahan berubah menjadi sahabat-sahabat terbaiknya. Mereka saling menyayangi walaupun cara yang ditunjukan membuat saya merasa tidak masuk akal, bahkan terkadang licik. Salah satu contohnya ketika Danny ingin menghadiakan sekotak gula-gula kepada Nyonya Morales, Pilon dan kawan-kawannya tergerak untuk membantu Danny mengumpulkan uang untuk membeli gula-gula itu, namun ketika uang sudah ditangan, Pilon dan Pablo mulai berpikir : “Gula-gula tak baik untuk kesehatan, hal itu bisa menyebabkan sakit gigi. Jika kawan kita Danny membeli gula-gula untuk Nyonya Morales, pasti ia pun akan mencicipinya dan Danny akan mengalami sakit gigi juga”.Karena pemikiran itu sehingga uang untuk membeli gula-gula justru beralih ke kedai Torelli tempat mereka membeli anggur. Mereka ingin membeli anggur, namun terus berupaya menyusun pemikiran seolah-olah mereka melakukannya karena menyayangi Danny. Namun, John Steinbeck sangat unik merangkai cara berpikir Pilon. Seperti pemikiran seorang anak kecil yang egois namun juga polos. Cara mereka berpikir membuat saya tertawa bahkan ditengah keramaian karena geli dengan kepolosan yang tidak masuk akal itu. Namun begitulah cara mereka menyayangi Danny. 

Banyak hal lucu dan menarik dalam karya Steinbeck ini. Buku ini terbagi dalam beberapa bab yang berisi cerita pendek tentang Danny dan sahabat-sahabatnya. Bahasa yang digunakan dalam terjemahan Pustaka Jaya ini sangat baku dan terkesan kaku. Namun apakah itu cara penggambaran yang tepat untuk novel yang pertama kali terbit pada tahun 1935 ini? Saya tidak tahu pasti. 

Ada sebuah kutipan yang berbunyi “sahabat sejati adalah orang yang mengetahui hal yang paling buruk tentang dirimu namun tetap mencintai engkau sebagaimana adanya”. Kutipan itu cocok sekali untuk Danny dan sahabat-sahabatnya. Saya belajar cara bersahabat dari Danny, Pilo, Pablo, Jesu Maria, Joe Portugis dan Bajak Laut. Meskipun cara mereka menurut saya aneh, namun mereka memiliki hati yang tulus dalam mengasihi. Lihatlah kepada ketulusan mereka dan bukan cara yang mereka gunakan, maka anda pasti akan menemukan contoh sahabat-sahabat sejati.

Penggambaran John Steinbeck terhadap paisanos ini mendapat respon yang tidak diduganya. Kemurahan hati orang-orang paisanos yang digambarkannya tidak dapat diterima, mereka tetap dicap sebagai gelandangan belaka, sehingga dalam sebuah kata pengantar edisi 1937 Perpustakaan modern, Steinbeck menulis,
it did not occur to me that paisanos were curious or quaint, dispossessed or underdoggish. They are people whom I know and like, people who merge successfully with their habitat...good people of laughter and kindness, of honest lusts and direct eyes. If I have done them harm by telling a few of their stories I am sorry. It will never happen again.
Buku ini saya rekomendasikan untuk anda yang menyukai cerita sederhana dan menghibur. Karena anda pasti akan tertawa membaca kisah kocak Danny dan sahabat-sahabatnya di Dataran Tortilla.

--------------------------------------------
Judul      : Dataran Tortilla
Penulis    : John Steinbeck
Penerbit : Pustaka Jaya
Terbit    : Februari 2009 (Cetakan II)
Tebal     : 265
ISBN       : 978-979-419-352-5
---------------------------------------------