Tuesday, May 31, 2011

[Review] Wuthering Heights


Kau berkata aku membunuhmu – hantui aku kalau begitu! Orang yang dibunuh memang menghantui pembunuh mereka. Aku percaya – aku tahu hantu pernah gentayangan di bumi ini. Bersamalah denganku selalu – ambilah bentuk apa saja – buat aku gila! Tapi jangan tinggalkan aku dalam jurang ini, di mana aku tak bisa menemukanmu! Oh Tuhan! Sakitnya tak terkatakan! Aku tak bisa hidup tanpa hidupku! Aku tak bisa hidup tanpa jiwaku!”

Don't judge a book by it's cover.....coba kita pasangkan pernyataan itu secara harafiah ke cover buku ini. Apa yang anda lihat? Seorang pria yang sedang memeluk wanitanya dengan latarbelakang sebuah pohon yang gersang "tak berdaun", terkesan menghitam dan mati? Apakah anda melihat hal yang sama dengan saya? Apakah isi buku ini benar-benar serupa dengan covernya? ini sedikit hal yang saya bisa saya bagikan. Membaca kisah ini selama empat hari benar-benar mempengaruhi saya. Kisah yang sangat membekas.

Wuthering Heights adalah sebutan untuk rumah kediaman keluarga Earnshaw di dalam novel ini. Menurut Wikipedia, Wuthering merupakan kosakata dari daerah Yorkshire yang berarti cuaca yang bergolak. Sama seperti asal katanya, kisah di Wuthering Heights juga membuat emosi saya bergolak hebat. Ini adalah cerita tentang cinta, kebencian, kesedihan dan kematian. Cerita ini bermula dari keluarga Earnshaw. Keluarga ini memiliki dua orang anak, Hindley dan Catherine. Suatu hari, sepulang dari perjalanannya, Mr. Earnshaw membawa seorang anak laki-laki yatim piatu yang sangat kotor, compang-camping dan berambut hitam. Ia bernama Heathcliff. Heatcliff segera menjadi anak favorit bagi Mr.Earnshaw, ia bersahabat dengan Catherine, sedangkan Hindley sangat membencinya. Perlakuan Mr.Earnshaw terhadap Heathcliff membuat Hindley membenci mereka semua. Ayahnya mengirim Hindley untuk melanjutkan sekolah. Mr. Earnshaw memberikan harga diri kepada Heathcliff yang malang dan mengajarinya. Namun, ketika Mr. Earnshaw meninggal dunia, Hindley kembali kerumah bersama istrinya dan mulai menindas Heathcliff. Heathcliff dan Catherine menjadi pemberontak melawan Hindley.

Suatu hari, ketika Heathcliff dan Catherine sedang jalan-jalan di sekitar Thrushcross Grange, kediaman keluarga Linton, Catherine terluka. Keluarga Linton menolong dan merawatnya, namun mereka mengusir Heathcliff. Catherine tinggal beberapa minggu di Thrushcross Grange, ia berkenalan dengan putra-putri keluarga Linton, Edgar dan Isabela. Sekembalinya dari Thrushcross Grange, ia menjadi seorang gadis yang berbeda : lebih lembut dan anggun. Catherine melanjutkan hubungannya dengan Edgar dan Isabella. Ketika Edgar melamarnya, ia berkata “Ya” dan mengorbankan perasaan Heathcliff padanya. Ia mencintai Heathcliff dengan sepenuh jiwa, namun tidak memilihnya sebagai suami karena keadaanya.
Cintaku kepada Linton seperti dedaunan di hutan : waktu akan mengubahnya, aku sadar sekali itu, sebagaimana musim dingin mengubah pepohonan. Cintaku kepada Heathcliff menyerupai karang-karang abadi di bawah – sumber dari sedikit saja kesenangan yang terlihat, tetapi perlu. Nelly akulah Heathcliff. Dia selalu, selalu ada dalam pikiranku – bukan sebagai kesenangan, seperti aku tidak selalu menyenangkan bagi diriku sendiri, tetapi sebagai keberadaanku sendiri
Keputusannya menikahi Edgar terdengar oleh Heathcliff, ia marah dan menghilang selama tiga tahun. Selang tiga tahun, ia kembali, namun ia telah berubah. Tidak ada bekas kemelaratan yang terlihat didalam dirinya. Ia menjadi pria terdidik dan kaya. Catherine yang sejak menikah telah pindah mengikuti suaminya ke Thrushcross Grange sangat senang dengan kepulangan Heathcliff, ia meminta suaminya agar berteman dengan Heathcliff, meskipun ia tahu Edgar selalu membenci tabiat Heathcliff. Namun tidak membutuhkan waktu lama ketika Catherine sadar bahwa ia tidak bisa berteman dengan Heathcliff dan tetap menikah dengan Edgar. 

Heathcliff kembali dengan rencana balas dendam kepada Hindley dan Edgar yang sangat dibencinya. Namun ia juga kembali dengan cinta yang masih sama besarnya terhadap Catherine. Ia mencintai dan juga membenci. Peperangan terus berlangsung di dalam jiwa Heathcliff. Apakah dia sanggup mengatasinya? Akankah Catherine meninggalkan suaminya untuk belahan jiwanya? Bagaimana dengan setiap keturunan mereka? Anak-anak mereka? Akankah mereka hidup bahagia jauh dari perseteruan kelam orang tuanya? 

Saya tidak suka dengan aura negatif novel ini. Namun saya sangat kagum dengan kemampuan novel ini mengaduk emosi saya. Untuk saya pribadi, Emily Bronte sama suksesnya dengan Victor Hugo mengaduk emosi saya ketika saya membaca Les Miserables, tentu saja emosi yang berbeda. Membaca Wuthering Heights awalnya melelahkan, dimulai dan diakhiri dengan mengumpat, namun ketika saya mencoba menerima umpatan itu sebagai sesuatu yang “biasa” untuk beberapa tokoh didalamnya, maka yang tersisa adalah rasa ingin tahu yang besar akan nasib setiap tokoh di dalam cerita ini. Ini adalah sebuah karya sastra yang mengundang banyak kritik dan pujian. Kompleksitas setiap karakter digambarkan dengan sangat jelas dan memukau. Emily Bronte berhasil menyampaikan bagaimana seseorang diwaktu yang bersamaan mampu memiliki kapasitas mencintai dan membenci yang sebanding. Sejak lembaran pertama novel ini, suasananya sangat suram. Semburat kelam tergambar dengan jelas lewat karakter dan kata-kata yang dikeluarkan oleh setiap tokoh. Ketika sampai ke sebuah bagian yang menurut saya merupakan klimaks novel ini, saya merasa seakan ingin masuk ke dalam cerita dan membantu ketidakberdayaan beberapa tokoh didalamnya. Saya memberikan lima bintang untuk novel ini. Menurut saya, it was amazing in different ways. Manusia punya berbagai macam emosi, dan novel ini berhasil mengeluarkan bagian emosi saya yang jarang muncul ketika membaca kisah cinta lainnya. Ternyata sebuah novel mampu mengatakan banyak hal tentang perilaku manusia dan dunia disekitar kita. Novel ini bisa menjadi lebih kompleks daripada hanya menjadi sebuah bacaan. Bahkan novel ini telah menjadi sebuah bahan diskusi dalam membahas isu-isu yang lebih besar. Wuthering Heights membuat saya semakin menyukai literature. Wajar saja jika novel ini menjadi salah satu bacaan wajib untuk pelajar di Amerika. Namun sayangnya, cara penuturan novel ini membuat saya bingung. Perpindahan tokoh “aku” antara Ellen Dean dan Mr.Lockwood, kedua orang yang secara bergantian menuturkan kisah ini, terkadang membuat saya harus membaca ulang beberapa bagian untuk mengetahui siapa yang sedang bercerita.

Didalam novel ini, setiap orang memiliki kesulitan cinta. Catherine mencintai Heathcliff dan demikian sebaliknya, namun mereka harus terpisah. Edgar mencintai Catherine dan menikahinya, namun tidak pernah benar-benar mendapatkan cintanya. Hindley mencintai Francess istrinya, tapi ia meninggal diusia muda. Isabel mencintai Heathcliff, namun mendapat perlakuan yang tidak pantas atas cintanya. Semua orang di dalam novel ini, mencintai seseorang dan terluka oleh cinta itu. Kedua tema yang sama pun banyak sekali muncul didalam puisi-puisi yang diciptakan oleh Emily Bronte.



Emily Bronte related to Wuthering Heights:


Emily Jane Brontë lahir di Thornton, dekat Bradford di Yorkshire, 30 Juli 1818 dan meninggal 19 Desember 1848 pada usia 30 tahun. Ia adalah seorang novelis dan penyair Inggris. Ia dikenal atas novel satu-satunya Wuthering Heights. Dia menerbitkan buku ini dibawah nama penanya Ellis Bell.

Sebelum menulis novel ini, Emily bersama dengan kedua saudaranya, Charlotte dan Anne Brontë pernah mempublikasikan puisi-puisi mereka sekitar tahun 1846, namun karya tersebut hanya terjual dua copy. Kegagalan inilah yang memacu Brontë bersaudara untuk mulai menulis novel mereka masing-masing.

Emily Brontë adalah sosok yang penyendiri. Tidak banyak orang dari zamanya yang mengenal dia dengan baik, selain saudara-saudaranya dan dua orang temannya Ellen Nussey dan Amy Taylor. Ellen Nussey adalah orang yang merawat kakaknya, Charlotte Bronte, dan dialah yang diyakini telah menjadi inspirasi untuk tokoh Ellen Dean di dalam novel ini.

Mengenai latar belakang, ada beberapa dugaan mengenai asal inspirasi Wuthering Heights. Sehubungan dengan kehidupan Emily Bronte yang penyendiri, ia pernah belajar disebuah sekolah, Law Hill, dalam waktu singkat. Pada masa itu, ada seorang hamba yang bernama Earnshaw. Beberapa dugaan kemudian mengaitkannya dengan tokoh-tokoh keluarga Earnshaw di dalam novel ini. Kemudian dugaan lainnya menyebutkan bahwa cerita itu berasal dari kisah kakeknya, Hugh  Brunty, yang pernah dituturkan oleh ayah Emily ketika mereka masih kecil. Namun tidak ada yang tahu pasti dari mana Emily Bronte mendapatkan inspirasi untuk menulis novel ini, hanya ada beberapa cerita yang didengarnya yang kemungkinan diduga bisa menjadi sumber inspirasinya. Cerita-cerita itu bisa dilihat dibawah ini. 


Latar tempat Wuthering Heights sendiri menarik perhatian dan memunculkan banyak rasa ingin tahu. Emily pernah bekerja sebagai pengasuh pada tahun 1838 di sebuah bangunan bergaya gothic, High Sunderland Hall, dekat Halifax, Yorkshire Barat. Bangunan ini diduga menjadi inspirasi Wuthering Heights. Di bangunan tersebut terdapat hiasan berbentuk laki-laki telanjang mirip dengan gambaran yang dituturkan oleh Mr.Lockwood berikut :

sebelum melewati ambang pintu, aku berhenti untuk mengaggumi sejumlah ukiran menyeramkan yang menghiasi bagian depan dan terutama di sekitar pintu utama; di atasnya, di antara kerumunan bentuk monster yang runtuh dan bocah-bocah lelaki tak berbusana…” [hal 7]

source :



 ----------------------------------------------
Judul       : Wuthering Heights
Penulis    : Emily Bronte
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit      : April 2011
Tebal       : 488 hal
------------------------------------------------

15 comments:

  1. Info tentang inspirasi penulisan WH & referensinya mantap! Jadi tambah lama deh jalan2 di rumah suram WH hehehe...

    ReplyDelete
  2. Waaah..Emily Bronte ternyata lebih cakep kalau dibanding ma Jane Austen. XDD

    Aku sedih banget pas akhirnya Edgar Linton meninggal. Orang sebaik dia seharusnya nggak perlu buru-buru meninggalkan dunia. Nggak seperti Heathcliff yang kayaknya berumur jauh lebih panjang. Padahal kan kalau mau bisa langsung nyusul Catherine saat itu juga. Eh tapi kalau meninggal cepet, dia nggak bakal bisa menjalankan balas dendam pada Hareton. XDDD

    Dibanding kisah cinta, Catherine dan Heatcliff aku lebih milih cinta Mr Linton ke Cathy, anaknya, atau Hareton ke Cathy dan sebaliknya.

    ReplyDelete
  3. abis baca buku ini aku emang penasaran sama background Emily nya.. dan ternyata sudah dicantumkan di postingan ini :)
    bener mba, kayaknya ini novel ttg kasih tak sampai semuanya ya.. kecuali pas endingnya aja :)

    ReplyDelete
  4. Kalo menurutku malah covernya cocok. Kisah cinta (diwakili cowok & cewek berpelukan) dan nuansa kelam diwakili background kelabu pekat dan pohon yg menghitam

    ReplyDelete
  5. aku juga sangat suka quote cintaku kepada Linton dan Heathcliff, sangat egois :)

    ReplyDelete
  6. Iya info Emily related WH-nya bikin aku tambah mencintai novel ini.. :))

    kalo menurutku yg bikin jelek covernya itu gambar orangnya... :)

    ReplyDelete
  7. wahhh panjang dan lengkap banget! =)
    btw kalo ngomongin cover, versi vintage bahasa inggrisnya keren deh, nggak ada gambar orang sama sekali tapi "dapet" banget nuansanya...kayanya penerbit indonesia harus lebih bisa "nangkep" nuansa isi novel ke cover yg non-orang ya =)

    ReplyDelete
  8. Saya setuju dengan Alice Hoffman yang menulis pengantar pada Wuthering Heights terbitan Signet Classic. Disana ia mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa Emily Bronte menulis sedemikian kelam karena kehidupan Bronte sendiri yang begitu akrab dengan kematian.
    Alice Hoffman menulis:
    "Ibu Emily meninggal saat ia berusia tiga tahun, dua kakak perempuannya mati karena malnutrisi ketika masih bersekolah asrama, sedangkan satu - satunya saudara laki - lakinya malah menyia - nyiakan hidupnya dengan menjadi peminum alkohol dan pengguna obat - obatan terlarang"
    Bis jadi itu penyebabnya

    ReplyDelete
  9. alangkah kerennya ya kalo di novel2 klasik gramedia dikasih info latar belakang penulisan novel/penulisnya..hehehe..

    @om tan: goresan gambar orangnya gak keren ya..hihi..

    ReplyDelete
  10. Iya covernya itu bertentangan dengan kalimat : DOn't judge a book by it's cover. Ngeliat covernya gramedia aja udah menggambarkan suramnya novel ini dan eng ing eng cover dan isi sesuai banget walaupun emang aq gak suka sama cover versi gramedia ini.

    ReplyDelete
  11. dilink2 sumber yg kucantumkan bahkan ada yg menjadikan WH sebagai tinjauan psikologis dan diskusi yg berkepanjangan loh...novel ini memang kompleks

    ReplyDelete
  12. Bagus ulasannya.. Layak jd pemenang :)

    ReplyDelete
  13. Pantesan juara,review Esi bagus banget. Keep reading, writing and blogging, semangat! :)

    ReplyDelete