Friday, April 27, 2012

[Review] Di Mana Ada Cinta, Di Sana Tuhan Ada



“Dan yang kepadanya ditampar di salah satu pipi, hendaklah menawarkan pipi lainnya; dan ia yang mengambil jubahmu jangan dilarang untuk juga mengambil jaketmu. Berikan kepada semua orang apa yang mereka pintakan kepadamu” [hal 12]

Dari ungkapan diatas, tidakkah anda dapat melihat sebuah arti yang sangat jelas mengenai arahan untuk hidup saling mengasihi? Manusia diciptakan dan dibekali dengan kemampuan untuk mencintai dan mengasihi orang lain namun bersamaan dengan itu dunia tempat manusia hidup dipenuhi dengan berbagai macam hal yang membuat manusia tidak mampu mengekspresikan cinta tersebut. Karya Leo Tolstoy ini mungkin mampu mengingatkan anda untuk kembali menemukan cara-cara sederhana untuk hidup dengan cara yang memang sejak awal dimintakan kepada kita. Ada lima cerita dalam buku ini, dan judul “Di mana ada cinta di sana Tuhan ada” diambil dari judul cerita pertama.

“Aku pernah menjadi seorang yang lapar dan kau memberiku daging; aku pernah kehausan dan kau memberiku minum; aku pernah menjadi seorang asing dan kau mengajakku masuk…Oleh karena kau telah melakukannya kepada salah satu saudaraku, berarti kau telah melakukannya kepadaku”
[hal 31]

Cerita pertama mengisahkan seorang pengrajin sepatu bernama Martin Avdeich yang kehilangan semua anggota keluarganya. Martin menyalahkan Tuhan atas keadaan yang menimpanya itu, namun kunjungan seorang lelaki Tua yang berasal dari sebuah Biara mengingatkan Martin bahwa ia seharusnya hidup untuk Tuhan. Martin mendengarkan ajaran itu, sehingga ia mulai berubah, ia mulai membaca kitab suci setiap hari dan belajar memahaminya. Suatu hari ia mendengar suara yang berkata kepadanya “Aku akan datang”. Wahh Martin berpikir Tuhan akan datang kerumahku. Lalu apakah itu benar? Apakah ia akan melihat Tuhan?

“When you can't forGIVE, you can’t forGET. Therefore you can’t get the grace of God”

Ivan Dimitrich Aksionov berangkat dari kota Vladimir menuju kota Nizhmi untuk mengikuti pasar malam. Dalam perjalanannya, ia menginap di sebuah penginapan bersama orang-orang asing lainnya yang juga sedang melakukan perjalanan. Pada saat itu seorang asing terbunuh dan pisau yang digunakan untuk membunuh ditemukan dalam barang-barang Ivan. Hidup Ivan seketika berubah, alih-alih bisa kembali kepada keluarganya, ia justru dijebloskan kedalam penjara. Cerita yang kedua ini berjudul “Tuhan tahu, tapi menunggu”. Bagaimana hidup Ivan selanjutnya? Satu hal yang pasti ia akan belajar suatu hal yang luar biasa dalam pengalaman buruknya itu.

“Iman sebesar biji sesawi saja mampu memindahkan gunung”

Tiga orang pertapa yang sudah tua hidup di sebuah pulau terpencil. Mereka bertiga jarang berbicara. Mereka berkomitmen untuk melayani Tuhan namun dengan cara mereka sendiri. Suatu hari seorang uskup yang sedang berlayar mendengar cerita tentang mereka bertiga dan memutuskan untuk menghampiri dan mengajari mereka cara berdoa yang benar. Perkenalan sang uskup dengan ketiga pertapa ini justru menjadi pelajaran bagi sang uskup sendiri karena sebuah peristiwa menakjubkan terjadi diantara mereka yang membuat sang uskup menjadi saksi perbuatan iman. Cerita ketiga ini berjudul “Tiga Pertapa” dan membuat saya ingin sekali berada di kapal yang sama dengan sang uskup untuk menyaksikan ketiga pertapa itu.

“Apa yang paling penting dalam hidupmu?”

Cerpen keempat berjudul “Majikan & Pelayan”, mengisahkan dua orang dengan latar belakang dan karakter yang berbeda. Nikita adalah seorang pelayanan yang bekerja pada majikannya, Vasili Andreyevich. Vasili adalah orang yang sangat perhitungan dan cenderung suka menipu. Kehidupan mereka baik-baik saja sampai suatu hari mereka berdua melakukan perjalanan. Yang terpenting bukanlah tujuan, namun perjalanannya. Tetapi perjalanan seringkali mengubah tujuan awal. Demikian juga yang terjadi kepada sang majikan dan pelayanannya yang pada akhirnya menemukan jawaban terhadap pertanyaan diatas.

“Apa gunanya menyebrang mencari Tuhan, bila selama itu aku kehilangan kebenaran yang ada di dalam diriku” [hal 171]

Dua orang sahabat, Efim Tarasitch Shevelef dan Elisha Bodrof, berencana untuk melakukan ziarah ke Yerusalem. Elisha yang sangat bersemangat untuk perjalanan itu, sementara Efim sangat perhitungan. Efim tidak berani meninggalkan bisnisnya, ia takut anak-anaknya tidak bisa menjalankan bisnis tanpa dirinya. Berbagai kekhawatiran melanda kehidupan Efim, namun suatu hari Elisha berhasil meyakinkan sahabatnya untuk meninggalkan semua kekahwatiran itu sejenak dan memulai perjalanan mereka. Di tengah perjalanan mereka, Elisha mampir untuk meminta minum dari sebuah rumah yang ia lewati. Ia menyuruh Efim untuk terus berjalan dan berjanji akan segera menyusulnya. Saat masuk ke rumah itu, Elisha menemukan keadaan yang sangat menyedihkan. Semua anggota keluarga dalam rumah itu hampir tidak bisa berdiri karena kelaparan. Hati Elisha tergerak untuk membantu mereka namun itu berarti ia harus mengorbankan banyak hal termasuk waktu, uang, bahkan tujuan perjalanannya untuk beribadah. Lalu apakah Elisha mampu sampai ke Yerusalem? Apa yang terjadi dengan Efim yang menempuh perjalanan sendiri? Cerita terakhir ini berjudul “Dua Lelaki Tua”.

Dari kelima cerita dalam buku ini, saya memilih cerita pertama dan terakhir menjadi favorit saya. Leo Tolstoy menyampaikan pesan-pesan moral yang dibungkus dengan sangat menarik namun sederhana. Leo Tolstoy dikenal sebagai sastrawan dunia asal Rusia yang banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran moralitas dan sosial. Dua adi karya Leo Tolstoy yang sangat terkenal adalah War and Peace dan Anna Karenina. Saya suka dengan cover dari serambi ini, begitu pula dengan terjemahannya yang mengalir dan enak dibaca.

-------------------------------------------------------
Judul : Di Mana Ada Cinta Di Sana Tuhan Ada
Penulis : Leo Tolstoy
Penerbit : Serambi
Terbit : Februari 2011
Tebal : 197
ISBN : 978-979-024-240-1
-------------------------------------------------------

Wednesday, April 25, 2012

[Review] A Thousand Splendid Sun, "perempuan-perempuan perkasa dalam karya Khaled Hosseini"


A Thousand Splendid Suns mengisahkan dua wanita dari generasi yang berbeda, Mariam dan Laila. Bagian awal novel ini fokus menceritakan kehidupan Mariam. Ia hidup bersama ibunya, Nana, disebuah gubuk yang terletak jauh dari kota. Sang ayah, Jalil, tidak pernah menikahi ibunya karena status sosialnya. Mariam dan Nana hidup di gubuk kecil serba kekurangan, sedangkan Jalil hidup bersama tiga istrinya di Herat dalam rumah besarnya. Nana telah menceritakan semua kejahatan Jalil kepada Mariam, namun Mariam tetap memuja ayahnya yang biasa mengunjunginya setiap minggu. 

“Camkan ini sekarang, dan ingatlah terus anakku : Seperti jarum kompas yang selalu menunjuk ke utara, telunjuk laki-laki juga selalu teracung untuk menuduh perempuan. Selalu. Ingatlah ini, Mariam.” [hal 20]

Mariam selalu ingin mengunjungi rumah ayahnya di Herat dan ketika keinginannya memuncak, Ia rela mengabaikan larangan ibunya dan menempuh perjalanan ke Herat. Apa yang dijumpainya di Herat membuat Mariam memahami perkataan ibunya selama ini, namun nasi sudah menjadi bubur, ketika ia kembali ke gubuknya, Mariam hanya mendapati tubuh ibunya sudah tidak bernyawa.

Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam.
Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu.
Hanya akulah yang kaumiliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi.
Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!

Mariam yang seorang diri dan ketakutan, oleh sang ayah justru dinikahkan dengan seorang duda tua dan dibawa ke Kabul, tempat dimana kehidupan yang sebenarnya menanti Mariam.

Sampai disini saya terus menanti sebuah peristiwa baik yang akan disisipkan sang penulis dalam kehidupan Mariam, namun lagi-lagi saya semakin takut melihat masa depan Mariam. Mariam memasuki rumah barunya di Kabul bersama suaminya, Rasheed. Membaca bagian ini, saya sangat ketakutan, saya takut membayangkan apa yang akan dilakukan Rasheed pada Mariam. Ketika memasuki malam hari, saya bergidik membayangkan Rasheed yang mulai mendekati Mariam. Poor Mariam. Ia tidak bisa menolak Rasheed dan Mariam pun hamil, namun justru saat itulah ia mulai merasa memiliki harapan. Di puncak ketakutan itu, penulis justru membawa saya berkenalan dengan gadis kedua. 

Berkenalan dengan Laila membuat saya sedikit mengendorkan otot-otot saya yang dari awal tegang membaca kisah Mariam. Laila memiliki sahabat laki-laki pincang bernama Tariq. Persahabatan Laila dan Tariq membuat saya sejak awal berharap mereka akan menjadi sepasang kekasih. Namun, penulis tidak memberikan cerita semanis itu. Lewat mata Laila dan Tariq, saya dibawa melihat peperangan yang melanda Afganistan. 

Suatu hari keluarga Tariq memutuskan untuk meninggalkan Kabul yang dirasa sudah tidak aman lagi. Menghadapi perpisahan itu membuat Laila dan Tariq menyadari perasaan mereka masing-masing. Lalu apa yang harus mereka lakukan? Sementara orang tua Laila pun berencana untuk mencari tempat yang baru. Apakah semua rencana itu berhasil? Bagaimana kehidupan Laila dan Tariq selanjutnya? Lalu apa sebenarnya tujuan Khaled Hosseini menceritakan Mariam dan Laila secara bergantian? Novel ini dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama fokus menceritakan Mariam, bagian kedua fokus menceritakan Laila, dan bagian ketiga menceritakan keduanya secara bergantian. Suatu saat kehidupan mereka pada akhirnya harus bersinggungan satu sama lain. Lalu apa hubungan mereka? 

Khaled Hosseini bercerita dengan latar belakang peperangan dan kekacauan yang sedang melanda Afganistan. Dimulai saat peperangan antara Afganistan dan soviet, lalu diteruskan dengan kepemimpinan Taliban yang justru membuat keadaan Kabul semakin kacau. Dari semua karakter, saya paling menyukai karakter Mariam. Dia sabar dan kuat menghadapi segala sesuatu yang menimpanya. Dan ketika sebuah ungkapan cinta diterimanya, ia bahkan berani mengambil tindakan yang luar biasa.

Novel ini mengandung informasi-informasi menarik yang baru saya ketahui setelah membacanya. Woman in Kabul. Wanita di Kabul tidak diijinkan untuk bekerja dan berkarir seperti laki-laki. Sebelum kepemimpinan Taliban, wanita telah menduduki tempat-tempat yang sejajar dengan pria. Banyak wanita menjadi dosen, guru bahkan pegawai negeri. Ayah Laila adalah salah satu tokoh yang terus mendesak anaknya agar mendapat pendidikan yang layak. Bahkan setelah jalanan semakin kacau, Ayah Laila memutuskan menjadi guru bagi anaknya, hanya agar Laila tidak kekurangan pendidikan. Wanita tidak boleh keluar rumah sendirian. Ia harus ditemani oleh suaminya dan harus menggunakn burqa. Selain itu Khaled Hosseini menggambarkan kehamilan sebagai sebuah harapan akan masa depan yang lebih baik. Mariam hamil dan berharap ia bisa hidup dengan lebih baik. Kehamilan Laila yang membuatnya berjuang untuk terus hidup. Wanita di Kabul hanya dianggap sebagai mesin penghasil anak, khususnya anak laki-laki, selain mesin penghasil anak, wanita bukanlah apa-apa.

Patung Buddha Bamiyan. Monumen patung Buddha yang terletak di lembah Bamiyan merupakan suatu tempat yang oleh Khaled Hosseini digambarkan sebagai tempat yang indah. Daerah yang terletak di jalur sutra yang menghubungkan wilayah india dan tiongkok dengan dunia barat ini berkembang menjadi pusat agama dan filsafat. Patung yang telah lama dipelihara dan dilestarikan ini, pada masa pemerintahan Taliban dihancurkan karena dianggap sebagai berhala.


People’s Pursuit of Love and Freedom. Setiap tokoh dalam novel ini berjuang untuk meraih kebebasan dan menemukan cinta. Mariam yang setelah sekian lama menderita, kesepian, sendirian dan tertekan, justru menjadi lebih berani ketika mengenal Laila. Mariam menjadi kuat karena ia mendapatkan cinta dari Laila yang dianggapnya seperti anak sendiri. Jalil berusaha melakukan setiap hal yang dapat menebus kesalahannya hanya untuk mendapatkan cinta Mariam kembali. 

 Khaled Hosseini lahir di Kabul, Afghanistan di tahun 1965. Ayahnya adalah seorang diplomat dengan Kementrian Luar Negeri Afghanistan. Ibunya mengajar bahasa Farsi dan Sejarah di sebuah sekolah menengah yang besar di Kabul. 
Hosseini adalah seorang Internist dan dia mulai menulis “The Kite Runner” di bulan Maret 2001, saat dia juga sedang praktek sebagai dokter. “The Kite Runner” telah diterbitkan dan menjadi bestseller di 38 negara. Novel keduanya “A Thousand Splendid Suns” diterbitkan di Amerika di Mei 2007 dan telah menjadi bestseller.

Special thing. Buku ini telah berada dalam wishlist saya kurang lebih satu tahun. Entah mengapa selama setahun, saya tidak terpikir untuk membelinya langsung ke toko buku. Jujur saya tidak yakin akan menyukai kisah yang dituturkan oleh Khaled Hosseini ini. Untuk perkenalan yang tertunda itu, kini, membuat saya justru bersyukur karena mendapatkan buku ini sebagai kado dari secret santa versi blog buku Indonesia. Pada bulan desember 2011, kami yang tergabung dalam blog buku Indonesia mengadakan suatu event tukar kado antar sesama member, saya mendapat kesempatan untuk memberikan kado kepada salah seorang teman yang berada di medan, namun saya tidak tahu siapa yang akan memberikan saya kado, that’s why sang pemberi kado populer dengan nama #SS(Secret Santa). Kegembiraan mulai terasa dalam group ketika masing-masing mulai menerima buntelan kado secret santa dan akhirnya pada awal januari buku ini mendatangi saya. Lalu apakah asumsi saya yang tidak akan menyukai kisah ini tetap ada setelah berkenalan dengan buku ini? NO. This book was a mirror of life, people’s pursuit of love and freedom.

Terimakasih untuk Mia Prasetya yang telah memulai perkenalan saya dengan A Thousand Splendid Sun.

---------------------------------------
Judul : A Thousand Splendid Suns
Penulis : Khaled Hosseini
Penerbit : Qanita
Terbit : Mei 2011 (Cetakan II)
Tebal : 512 hal
ISBN : 978-602-8579-52-0
---------------------------------------

Monday, April 23, 2012

[Review] A Single Shard, "bermimpi & berjuang ala Tree-ear"



Setiap manusia, siapapun dia, bagaimanapun keadaannya, seharusnya ia punya mimpi. Mengapa? Karena mimpi membuat setiap orang bangun di pagi hari dengan semangat baru. Demikian juga dengan Tree-ear seorang anak yatim piatu dari desa Ch’ulp’o. Sejak kecil Tree-ear tinggal di bawah jembatan bersama seorang lelaki cacat yang dia panggil Crane-man. Untuk makan, mereka biasanya mencari sisa-sisa makanan yang telah dibuang oleh warga sekitar. Meski demikian Tree-ear pun memiliki mimpi. Ia ingin menciptakan sebuah vas keramik.

Suatu hari Tree-ear mendekati rumah seorang pembuat keramik bernama Min. Ia memperhatikan barang-barang keramik hasil buatan Min. Tree-ear senang memperhatikan Min bekerja, namun Min tidak menyadari kehadirannya. Suatu hari Tree-ear mengendap-ngendap untuk melihat koleksi Min, Tree-ear tertarik dengan sebuah vas sehingga ia mengangkatnya. Kedatangan Min mengejutkan Tree-ear sehingga vas itu jatuh dan pecah. Pada awalnya Min memukulnya, namun ia langsung berhenti begitu mendengar penjelasan Tree-ear. Karena tidak bisa mengganti biaya keramik tersebut, Tree-ear mulai bekerja pada Min. Ia masih berharap bahwa suatu saat nanti, Min akan mengajarkannya cara membuat keramik. Namun berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Tree-ear harus mengumpulkan kayu bakar, mengambil tanah liat, serta melakukan beberapa tugas di sekitar rumah Min. Pada awalnya, tangan Tree-ear nyaris tidak kuat, namun lama kelamaan, pekerjaan itu membuat tangannya menajadi lebih kuat. Awalnya ia tidak bisa mengangkat potongan tanah liat dengan benar, namun lama kelamaan ia semakin mahir, ia bahkan mulai belajar untuk membentuk tanah liat menjadi bentuk-bentuk sederhana tanpa harus menggunakan roda pemutar. Setiap hari Tree-ear berharap segera dapat duduk di depan roda pemutar tanah liat dan belajar cara membuat vas dari sang maestro, namun mimpinya seperti terhempas jatuh kembali ke bumi setelah mendengar penolakan Min terhadap mimpinya itu.
“Kau harus tahu anak yatim piatu, jika kau bisa belajar membuat keramik, pasti bukan aku yang mengajarimu”…..”Usaha seorang pengrajin diturunkan dari ayah kepada anak lelakinya…putraku, Hyung-gu sudah tiada sekarang. Dialah yang akan kuajar. Kau…kau bukan putraku” [hal 119]
Perkataan Min sempat membuat semangatnya kendor, namun Tree-ear tahu bagaimana harus mengani perasaannya sendiri dan melihat hal lain yang bisa dilakukannya, terutama karena istri min, Ajima (bibi), memperlakukannya dengan sangat baik. Tree-ear tetap bekerja pada Min, namun ia menyimpan harapan dan mimpinya di dalam hatinya.

Suatu hari Tree-ear diminta untuk mengantarkan dua buah keramik untuk seorang utusan kerajaan di Songdo. Untuk menuju Songdo Tree-ear harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama berhari-hari. Ajima telah membekalinya dengan makanan yang cukup, serta beberapa keping koin yang sewaktu-waktu bisa digunakannya. Perjalanan ini merupakan saat-saat penentu bagi Tree-ear. Awalnya dia tidak menemukan penghalang dalam perjalanannya, namun suatu kali ia menemukan kondisi yang sangat menyedihkan, ia tidak bisa mengelak dari nasib buruknya, dan harus melihat kedua vas keramik itu jatuh berkeping-keping. Tree-ear merasa gagal menjalankan tugas yang diberikan kepadanya.

Lalu apa jadinya nasib Tree-ear? Bagaimana ia mencari jalan keluar atas musibah yang menimpanya? Bagaimana ia harus menjelaskan peristiwa itu kepada Min? Apakah mimpi Tree-ear juga hancur berkeping-keping seperti kedua vas keramik itu?

Jika semua anak seperti yang digambarkan oleh penulis dalam novel ini memiliki mimpi, pekerjaan dan pengetahuan seperti Tree-ear, saya jadi merenung betapa luar biasanya Korea. Pengetahuan Tree-ear tidak bisa dibilang pas-pasan untuk anak seusia dia yang tidak pernah mengecap pendidikan formal. Novel ini juga memperlihatkan bahwa dalam setiap tahapan yang harus dilewati oleh manusia, ada hal-hal diluar harapan kita yang terkadang membuat mimpi kita buyar, namun seperti Tree-ear, seharusnya kita terus berfokus pada mimpi itu dan menjadi kuat dalam setiap tahapan yang kita lewati.

Karakter yang paling saya sukai tentu saja karakter Tree-ear yang pantang menyerah dan selalu memperhatikan dengan seksama. Ia selalu belajar dengan mengamati tanpa perlu bertanya lebih banyak. Namun perkembangannya tidak terlepas dari tuntunan Crane-man yang tidak hanya selalu membantu mengisi kekosongan perutnya namun juga mengisi pikirannya dengan berbagai macam ide menarik.

Novel yang mendapatkan Newbery Medal Award pada tahun 2002 ini menggunakan alur maju dan dituturkan oleh seorang narrator. Dan Ini adalah gambar cover yang paling kusukai.

 
--------------------------------------
Judul : A Single Shard
Penulis : Linda Sue Park
Penerbit : Atria
Terbit : Maret 2012
Tebal : 191 hal
ISBN : 978-979-024-491-7
--------------------------------------

Friday, March 30, 2012

[Review] Kisah seorang Putri kecil yang murah hati


Seorang gadis kecil kaya raya mungkin mampu menampilkan dirinya bak seorang putri raja, namun bagaimana jika gadis kecil itu miskin, kedinginan, dan kelaparan? Penderitaan seringkali mengubah hati seorang putri raja sekalipun menjadi sangat berbeda, pembaca dapat menarik kesimpulan pribadi setelah membaca kisah karya Francess Hodgson Burnett ini.

Sara Crewe dibawa oleh sang ayah dari India menuju sebuah sekolah asrama di London yang dipimpin oleh seorang perempuan berhati dingin bernama Miss Minchin. Miss Minchin yang sangat matrealistis itu menyambut Sara dengan pujian bertubi-tubi karena ia merasa bangga menyambut seorang yang sangat kaya raya akan bersekolah ditempatnya. Sara bukanlah seorang gadis kecil biasa, ia sering disebut sebagai “nyonya kecil” oleh ayahnya, Kapten Crewe, karena jalan pikirannya yang terkadang melampaui usianya. Sara yang cerdas langsung bisa menyadari karakter Miss Minchin, namun ia berusaha untuk bersikap dewasa dan tidak mengeluh. Ia membayangkan dirinya sebagai seorang serdadu di medan perang yang tidak boleh mengeluh. Setelah menyiapkan semua kebutuhan Sara, Kapten Crewe kembali ke India. Sara diberikan seorang pelayan, kamar yang indah, hadiah-hadiah yang membuat semua anak-anak lain di sekolah itu mengguminya bak seorang putri. Seperti biasa, dimana ada kekaguman, disitu juga biasanya terdapat kecemburuan dan iri hati. Banyak anak kecil yang menyukai dan memuja Sara, namun ada juga yang iri terhadapnya sehingga sangat membencinya. Sara tidak hanya baik hati untuk setiap teman sekolahnya, ia juga bersikap baik kepada seorang pembantu kecil bernama Becky. Becky yang setiap hari mendapat omelan dan selama hidupnya tidak pernah mendengar sapaan lembut untuk dirinya sangat memuja dan menyayangi Sara.
Sara-yang hanya melakukan sesuatu yang sangat disukainya melebihi apapun, karena Alam telah membuatnya menjadi orang yang murah hati – sama sekali tak punya bayangan tentang betapa besar arti dirinya bagi Becky yang malang, dan betapa dirinya adalah penyelamat” [hal 81] 
Suatu hari, saat sedang merayakan pesta ulang tahunnya dengan sangat meriah, ditengah semua kegembiraan yang sedang dibaginya bersama seluruh teman-teman asramanya, kabar buruk itupun datang menghampirinya. Kapten Crewe meninggal dunia karena demam yang dilandanya dan meninggalkan Sara tanpa warisan sepeser pun. Hidup Sara berubah semudah membalikan telapak tangan. Pesta ulang tahun langsung dihentikan, semua pakaian indah diambil daripadanya. Sara tak bisa lagi menempati kamar indahnya. Ia langsung ditempatkan di sebuah bilik di bawah atap bersebelahan dengan bilik Becky. Becky menjadi sahabat yang menghiburnya. Sejak saat itu, Sarah harus mengerjakan pekerjaan pembantu, mengajar anak-anak kecil dan seringkali tidak mendapat makanan sehingga ia harus tidur dengan perut kelaparan.

Sarah memiliki kebiasaan suka menceritakan dongeng, sehingga tidak heran, ia pun senang sekali berkhayal, namun khayalannya ini seringkali membantunya melewati masa-masa suram. Terkadang disaat kedinginan, sambil memandang sekeliling biliknya di bawah atap itu, Sarah membayangkan semua hal indah tentang tempat itu. Hal itu sangat membantunya mengobati rasa kesepiannya. Miss Michin pun acapkali geram ketika mengomeli Sara dan mendapati anak itu hanya menatapnya dengan tatapan yang sangat tenang dan tetap bersikap sopan. Karakter Sara yang sangat berbeda itu membuat semua orang di asrama itu, temasuk para pembantu, terheran-heran melihatnya. Akankah Sara tetap mempertahankan hati seorang putri yang dimilikinya dalam semua penderitaan yang semakin lama semakin berat itu? Akankah hadir seorang malaikat yang diutus oleh sang Ayah untuk datang mengubah nasibnya?

Cobalah bertanya kepada diri anda sendiri, “apakah saya adalah orang yang baik?” apakah anda tahu jawabannya?
Kemalangan dikirim untuk mencobai orang-orang, dan kemalanganku telah mencobai dirimu dan membuktikan bahwa kau orang yang baik” [hal 131]
Sebelum mengalami penderitaan, Sara tidak berani menyebut dirinya seorang yang baik. Ia berpikir, karena ia dilahirkan dilingkungan yang baik, maka ia pun bersikap baik. Akhirnya cobaan itu datang kepadanya untuk membantu dirinya menjawab pertanyaan itu. Pada saat cobaan tersebut datang, ia harus memilih untuk tetap menjadi orang yang baik atau bersikap sebaliknya. Kisah Sara juga membuat pembaca bisa mempelajari banyak hal. Kisah ini, sejak halaman pertama menaburkan kebaikan dan ketulusan Sara.
Bukan hadiah bagus, kain flanelnya bukan kain baru, tapi aku ingin memberimu sesuatu dan aku membuatnya setiap malam. Aku tahu kau pasti bisa berpura-pura bahwa bantalan jarum itu terbuat dari kain satin dan jarum-jarum berlian. Aku sudah mencobanya saat aku membuatnya……Sarah langsung berdiri dan memeluk Becky. Ia tak bisa menjelaskan kepada dirinya atau kepada orang lain, mengapa tenggorokannya terasa begitu tercekat” [hal 85]
Buku ini juga mengingatkan setiap pembaca bahwa dunia ini dipenuhi dengan orang-orang yang mendambakan sebuah senyuman dan sapaan lembut. Tersenyumlah kepada seorang anak kecil yang anda lewati entah dimana, itu mungkin akan mengenyangkan hatinya. 
Becky nyaris tidak pernah mengenal suara tawa dalam hidupnya yang penuh kemalangan dan kerja keras itu. Sara telah membuatnya tertawa dan ikut tertawa bersama-sama; dan meski mereka tidak menyadarinya, suara tawa itu juga “mengenyangkan”, sama seperti perkedel-perkedel daging tersebut” [hal 82]
A little princess dituturkan dengan detail tempat, kondisi, dan perasaan tokoh yang sangat jelas. Seperti halnya buku klasik lainnya, hal-hal seperti itu terasa tidak aneh. Buku ini dituturkan oleh seorang narator seperti pendongeng yang sedang menceritakan kisahnya. Terjemahan gramedia pun mengalir, tidak kaku dan mudah dipahami. Pilihan covernya terasa pas dengan nuansa London dan konteks klasiknya. Buku ini bisa menjadi bacaan untuk semua usia. Untuk anak-anak, mereka bisa belajar untuk memiliki kebesaran hati dan ketulusan serta kerendahan hati lewat karakter Sara. Untuk orang dewasa, buku ini kembali mengingatkan untuk hidup dalam ambisi positif, memelihara kesabaran ditengah persoalan hidup serta bersyukur dalam setiap keadaan.

Gramedia untuk kedua kalinya memperkenalkan saya kepada karya Francess Hodgson Burnett. Kedua karyanya yang telah saya baca melibatkan seorang anak kecil dengan latar belakangan India dan inggris. Francess Hodgson Burnett memang seorang wanita berdarah inggris, namun mengapa ia memilih India menjadi latar kedua karyanya yang banyak dikenal di dunia (A Little Princess dan A Secret Garden)? Sampai dengan tulisan ini terbit, saya tidak menemukan alasannya. Mungkin untuk pembaca resensi ini yang mengetahui jawabannya bisa berbagi informasi pada kotak komentar yang tersedia.
------------------------------------------
Judul : A Little Princess
Penulis : Frances Hodgson Burnett
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : November 2010
Tebal : 312 hal
ISBN : 978-979-22-6406-7
------------------------------------------

[Review] perempuan cerdas pada abad kegelapan yang nyaris terlupakan



Pada abad ke sembilan, pada masa paling gelap dalam Abad kegelapan hiduplah seorang tokoh yang sangat sedikit diketahui orang. Ia memunculkan kontroversial sehingga menyebabkan semua catatan tentang dirinya dimusnahkan. Namun paling tidak, sampai dengan pertengahan Abad ke-17 namanya masih dikenal dan diakui secara universal. Ia adalah Paus Yohanes Anglicus atau Paus Joan dan ia adalah seorang perempuan. Lalu bagaimana mungkin seorang perempuan bisa menduduki kekuasaan tertinggi dalam kursi keagamaan tersebut? Anda harus kembali dan melihat jauh sebelum masa itu, pada masa ketika Joan memulai semuanya.

Joan lahir dari seorang ibu saxon yang menyembah para dewa, sementara ayahnya adalah Kanon (semacam pendeta atau imam) di sebuah desa bernama ingelheim. Ayahnya merasa telah memenangkan jiwa ibunya dari kekuasaan para dewa, membawanya ke ingelheim dan memiliki tiga orang anak darinya.  Matthew dan John , kedua kakak Joan diberikan pelajaran membaca dan menulis, namun Joan bahkan tidak boleh memegang kitab suci. Pada usia empat tahun Joan bertanya kepada Matthew mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan. Jawaban yang diberikan oleh Matthew benar-benar tidak menentramkan hatinya. Pada usia enam tahun Joan mulai mendesak Matthew untuk mengajarkannya cara menulis dan membaca. Bagian yang paling menarik adalah ketika Joan berdebat dengan Matthew mengenai kemampuan yang dimiliki oleh Santa Kathrina. Perdebatan itu cukup panjang untuk dikutip dalam tulisan ini, jadi saya menyarankan anda untuk membacanya pada halaman 39-40 untuk melihat betapa cerdasnya Joan kecil. Kehidupan Joan berubah ketika Matthew meninggal dunia dan meninggalkan Joan yang sudah mulai mencintai pendidikan sementara sang ayah terus menjauhkan semua pendidikan itu darinya. Ketika sang ayah tahu bahwa Joan bisa membaca, ia justru menuduh Joan sebagai penyebab kematian Matthew. Lihatlah bagaimana perempuan dianggap sebagai sebuah malapetaka yang dapat mendatangkan murka Tuhan hanya karena ia bisa membaca. 
 “Kau! Suara ayahnya terdengar bergemuruh dan bergetar oleh amarah. Ternyata kau orangnya! Dia menunjuk kearah putrinya dengan mata menuduh. Kaulah orangnya! Kau membawa kemarahan Tuhan turun di rumah kita. Anak yang jahat! Durhaka! Kau membunuh kakakmu sendiri!” [hal 54]
Suatu hari seorang cendikiawan bernama Aesculapius datang berkunjung kerumah sang Kanon dan menyadari kecerdasan yang dimiliki Joan. Sang Kanon meminta Aesculapius untuk mengajar John, namun Aesculapius lebih tertarik dengan Joan. Sang kanon terpaksa membiarkan Joan mendapat pengajaran hanya agar John dapat belajar dari sang cendikiawan. Joan memanfaatkan kesempatannya dan belajar banyak hal baru. Ia tidak hanya belajar tentang  kitab suci, tetapi juga ia mulai mengenal pemikir-pemikir dunia seperti cicero dan hipokrates. Ilmu pengetahuan memuaskannya.

Selang waktu setelah Aesculapius pergi meninggalkan Ingelheim, seorang utusan dari Dorstadt mengunjungi rumah Joan dengan membawa pesan dari uskup di Dorstad agar membawa Joan ke Schola (sekolah yang pada masa itu hanya diikuti oleh anak laki-laki). Ayahnya tidak mengijinkannya, namun Joan mengambil langkah berbahaya dengan melarikan diri dan menyusul sang utusan. Sejak hari itu, Joan dan John meninggalkan rumah masa kecil mereka.

Sejak meninggalkan rumah, Joan mengalami berbagai petualangan menarik yang terkadang menciptakan “comfort zone” untuknya namun beberapa saat kemudian memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya harus melarikan diri dan bersembunyi. Ketika John meninggal dalam serangan bangsa Viking, Joan menggunakan identitasnya untuk memasuki tahap petualangan yang baru. Sejak saat itu Joan dikenal sebagai John Anglicus.

Membaca kisah Pope Joan memancing kemarahan. Bagaimana saya tidak terpancing untuk marah, ketika mendengar isi kitab suci diartikan sangat harafiah dan perempuan diperlakukan begitu rendah.
sebab suami adalah kepala istri. Karena itu, wahai para istri tunduklah kepada para suamimu dalam segala hal” [hal 33]
Novel ini diceritakan oleh seorang narator. Alurnya mengalir cepat sehingga mempengaruhi saya sebagai pembaca bisa menyelesaikan buku ini dalam waktu yang lebih cepat. Di bagian akhir buku, penulis menegaskan mengenai tambahan cerita yang ia ciptakan sendiri untuk melengkapi kisah Pope Joan yang tidak memiliki catatan resmi. Banyak karakter yang diciptakan mengelilingi kehidupan Joan. Karakter favorit saya adalah sang tokoh utama. Sebuah bagian menarik adalah ketika Joan menghadapi situasi-situasi dilematis dimana dia harus memberikan jawaban jujur namun tidak boleh menuduh orang lain. Banyak jawaban-jawaban konyol yang mengundang tawa namun tetap menyiratkan kecerdasan yang sangat tinggi. Selain Joan, saya juga menyukai Gerold. Gerold memiliki kecerdasan yang dapat menolong Joan menyadari betapa berbahayanya cara Joan mengungkapkan segala sesuatu. Gerold tidak hanya cerdas namun juga bijaksana. Penulis menambahkan nuansa romance diantara keduanya dengan tidak berlebihan. 

Lewat novel ini saya mengetahui bahwa pada suatu masa, kehidupan di Eropa sangat menyedihkan. Perancis, Jerman ataupun Italia bukanlah sebuah Negara. Mereka semua masih berupa satu kesatuan dibawah kuasa kekaisaran. Beberapa catatan sejarah yang dimuat dalam novel ini adalah akurat, namun untuk Paus Joan itu sendiri, tidak ada catatan resmi yang menyatakan keberadaannya. Penulis menekankan bahwa Paus Joan tercatat dalam liber pontificalis (dokumen kaum propagandis) yang kebenarannya pun tidak dapat dipastikan. Namun lewat penelitiannya selama tujuh tahun, penulis menuliskan dibagian akhir bahwa Joan menjadi Paus sekitar tahun 853 setelah Paus Leo IV meninggal. Joan diperkirakan menjadi Paus selama kurang lebih dua tahun, karena Benediktus III mulai menjabat Paus pada tahun 855.

Hal menarik lainnya mengenai masa itu adalah ketika seseorang menjadi terdakwa karena sebuah tuduhan yang diarahkan kepadanya oleh seorang yang menduduki jabatan tertentu, pengambilan putusan bersalah hanya didasarkan pada berapa banyak orang yang mendukung kedua belah pihak (sang terdakwa dan sang pendakwa). Tidak ada penelusuran dan pembuktian akan tuduhan tersebut. Perkataan seseorang diterima mentah-mentah tanpa bukti apa-apa. Tingkat buta huruf pada masa itu sangat tinggi. Kota Roma menampilkan keadaan yang sangat kontradiktif.

Roma, di mata Joan, adalah sebuah kota kuno dengan kontradiksi-kontradiksi yang kelihatannya tidak mungkin didamaikan: keajaiban dunia sekaligus tempat yang kumuh dan busuk; salah satu tempat peziarahan orang Kristen dengan sebagian besar warisan seninya justru dewa-dewi pagan; sebuah pustaka dan pengetahuan, namun diisi oleh orang-orang yang tidak berhenti berkubang di dalam kebodohan dak takhayul” [hal 432]
Banyak hal yang dapat pembaca pelajari dari kehidupan Joan. Joan memiliki hati yang penuh belas kasihan, sehingga tidak heran ia pun mendapatkan banyak sekali bantuan dari setiap orang yang pernah ditolongnya pada saat ia membutuhkannya. Sedikit ketulusan dalam wujud kepedulian dan bantuan terhadap orang lain membawa kebahagiaan juga bagi pemberinya. Pembaca juga dapat belajar untuk tidak cepat putus asa terhadap keadaan yang menghimpit. Jangan fokus pada masalah, karena dengan demikian anda tidak akan pernah melihat solusinya. Namun pembaca juga bisa belajar untuk lebih bijaksana dalam mengajukan gagasan-gagasan karena tanpa disadari ada sebagian orang yang mungkin dapat menjadi batu sandungan bagi kemajuan kita sendiri.

Ada beberapa typo yang cukup mengganggu, penggunaan bahasa melayu yang terdengar aneh ditelinga ataupun pengulangan kata yang sama secara berturut-turut terkadang mengganggu kenikmatan membaca. Namun secara keseluruhan buku ini enak dibaca, terjemahannya pun jelas dan tidak kaku. Empat bintang untuk karya Donna Woolfolk yang mengenalkan saya pada seorang perempuan yang seharusnya tidak boleh dilupakan oleh dunia.



--------------------------------------
Judul : Pope Joan
Penulis : Donna Woolfolk Cross
Penerbit : Serambi
Terbit : Cetakan II, Maret 2007
Tebal : 736
ISBN : 979-1112-43-6
--------------------------------------

Wednesday, February 22, 2012

Review : The Shack


Ini adalah salah satu novel inspirasional yang unik dan disusun dengan sangat teliti namun sederhana. Dari bagian depan covernya, tulisan yang berbunyi “Tragedi yang menyingkap misteri tentang Tuhan” membuat saya sangat penasaran dengan karya William P. Young ini. Sudah lama saya ingin sekali membaca novel ini dan akhirnya tibalah waktu saya berkenalan dengannya.

Memulai membaca, saya berkenalan dengan keluarga Mack dan Nan. Menyangkut masalah Tuhan, Mack nyaris apatis namun Nan sangat taat. Nan bahkan menyapa Tuhan dengan sapaan “Papa”, sebuah sapaan yang sangat sulit untuk Mack ucapkan. Suatu hari, Mack mengajak ketiga anaknya, Kate, Josh dan Missy untuk berkemah di daerah Danau Wallowa di Oregon bagian timur laut. Tragedi dimulai ketika Kate dan Josh naik perahu dan meninggalkan Missy bersama Mack. Saat perahu yang ditumpangi Kate dan Josh terbalik, Mack serta merta melompat ke danau untuk menolong kedua anaknya, namun ketika ia kembali Missy tidak lagi berada ditempatnya. Tidak ada seorang pun yang melihat Missy. Seorang penjaga hanya secara samar melihat gadis kecil dengan ciri-ciri seperti Missy dalam sebuah truk milik seorang laki-laki. Ketakutan semakin menyelimuti Mack. Semua petugas telah dikerahkan untuk melacak jejak Missy, namun berhari-hari Missy tak pernah ditemukan. Sampai suatu hari, bukti hilangnya Missy ditemukan dalam sebuah gubuk yang jauh terletak dalam hutan. Bukti tersebut hanya berupa baju Missy yang telah berlumuran darah. Missy dinyatakan meninggal tanpa pernah ditemukan. Sejak saat itu hidup Mack berubah. Kesedihan Besar menyelimuti kehidupannya. Ia bahkan menyalahkan Tuhan atas kejadian yang menimpa Missy. Empat tahun berlalu, pada suatu pagi, dalam kotak posnya, Mack menemukan secarik kertas yang berisi pesan sederhana yang memintanya datang ke gubuk tempat bukti kematian Missy ditemukan. Pesan itu ditandatangani oleh Papa. Siapakah Papa ini? Bukankah Papa adalah cara Nan menyapa Tuhan? Lalu apakah Tuhan yang meminta Mack mengunjungi gubuk yang selama ini menjadi mimpi buruknya?

Ketakutan Mack untuk mengunjungi gubuk itu sama besarnya dengan rasa ingin tahunya terhadap sosok Papa yang menjadi penulis pesan, sehingga Mack memutuskan untuk mengunjungi gubuk itu tanpa sepengetahuan Nan. Mack melakukan perjalanan mengendarai mobil yang ia pinjam dari sahabatnya Willie. Ketika sampai di tepi hutan yang menuju gubuk itu, Mack meninggalkan mobilnya dan berjalan memasuki hutan. Disatu sisi ia ingin kembali, namun rasa ingin tahunya terus mendorongnya maju perlahan-lahan. Gubuk yang mulai terlihat membangkitkan Kesedihan Besarnya. Mack mengumpulkan keberanian untuk memasuki gubuk itu. Darah kering milik Missy masih terlihat dan berhasil menguak Kesedihan Besarnya menjadi semacam raungan kekecewaannya. Mack tidak menemukan siapapun dalam gubuk itu sehingga ia langsung beranjak pulang. Namun segala sesuatunya berubah, lingkungan berubah, gubuk berubah, semuanya berubah. Gubuk reyot itu tidak ada lagi dan digantikan dengan sebuah pondok yang masih terawat. Mack seperti membuka sebuah kotak Pandora, ia merasa telah kehilangan akal sehatnya. Namun Mack telah berhadapan dengan tiga orang yang bernama Elousia, Yesus dan Sarayu.

Bisakah anda bayangan reaksi Mack menghadapi tiga pribadi yang biasanya disebut Tritunggal? Jangankan reaksi Mack, reaksi saya sebagai pembaca saja, rasanya sulit diungkapkan : terkejut, kagum, penuh tanda tanya, penasaran, nyaman, semuanya bercampur menjadi satu. Bagaimana tidak, Tritunggal dalam buku ini adalah seorang wanita bertubuh besar dan berperawakan Afrika yang biasa disebut Papa dan bernama Elousia, lalu seorang berkulit timur tengah dan berdarah ibrani yang dikenal dengan nama Yesus, serta seorang gadis kecil berkulit Asia yang sangat menyejukkan dan bernama Sarayu, mungkin orang-orang tertentu bisa menebak siapa Sarayu ini. Mereka bertiga adalah Satu.

Ketika Mack mulai berkenalan dan hidup dengan tiga sosok pribadi ini, disaat yang sama, saya juga berkenalan dengan Mereka. Wow…sangat mempesona penuturan William P. Young tentang mereka bertiga. Saya menunggu-nunggu apa saja yang mereka diskusikan, bagaimana mereka memandang segala sesuatu dan apa yang mereka pikirkan. Banyak nilai-nilai universal yang dimuat dan disajikan dengan luar biasa menarik. Satu hal utama yang saya petik dari perkenalan saya dengan Elousia, Yesus dan Sarayu, yaitu konsep membatasi diri untuk menyatakan cinta dan penghargaan. 

engkau tidak bermain atau mewarnai gambar bersama seorang anak untuk menunjukkan superioritasmu. Alih-alih, engkau memilih untuk membatasi dirimu agar dapat memfasilitasi dan menghargai hubungan itu. Engkau bahkan mengalah untuk menggenapi cinta. Ini bukan tentang menang dan kalah, tetapi tentang cinta dan penghargaan” [hal 160]
Percakapan demi percakapan yang dialami Mack merubah hidupnya. Lalu bagaimana dengan Kesedihan Besarnya? Apa sebenarnya yang sedang dialami Mack? Tentu anda tidak berpikir bahwa ia benar-benar sedang berada di surga bukan? Namun dimanapun Mack berada, ia sedang belajar, dan saya pun belajar bersamanya dalam setiap lembaran yang saya buka hingga saya menemukan lembaran terakhir buku ini. Lalu apa sebenarnya tujuan Mack berada disana? Apa sebenarnya tujuan penulis pesan bernama Papa membawanya ke gubuk tempat mimpi buruknya bermula?

Ada beberapa quote yang saya sukai dalam buku ini, namun kebanyakan sulit untuk dipisahkan dari konteks topik yang sedang dibahas, namun saya mencoba memenggal beberapa quote untuk disajikan dalam tulisan ini.
Dia sangat asyik! Engkau selalu bisa mengandalkannya untuk membuatmu bingung dengan mengajukan satu dua pertanyaan yang tak terduga. Dia suka kejutan. Meskipun mungkin engkau tidak memikirkannya, pemilihan waktunya selalu sempurna” [hal 132]
 “Hidup memerlukan sejumlah waktu dan banyak hubungan” [hal 139]
Hidup tanpa dicintai ibarat mematahkan sayap seekor burung dan merenggut kemampuannya untuk terbang. Bukan itu yang kuinginkan bagimu” [hal 146]
Hubungan selamanya bukan tentang kekuasaan. Dan satu cara untuk menghindari kehendak menguasai adalah dengan memilih untuk membatasi diri sendiri – untuk melayani” [hal 161]
Jangan pernah mengecilkan keajaiban air matamu. Air matamu dapat menjadi air yang menyembuhkan dan sungai sukacita. Kadang-kadang air mata adalah kata-kata terbaik yang dapat diucapkan hati” [hal 360]
Ini adalah kisah perjalanan hati mencari sebuah makna dan menemukan kenyamanan. Mungkin setiap orang memiliki peristiwa uniknya masing-masing, namun semuanya itu membawa manusia pada pengakuan akan sesuatu yang benar-benar diluar kemampuan kita untuk bisa memahaminya. Empat bintang untuk kisah yang menguras ketakutan jiwa dan menguapkannya untuk melegakan hati. Pendapat umum saya tentang buku ini : it’s weird, but in a good way.

--------------------------------
Judul : The Shack
Penulis : William P. Young
Penerbit : Andi
Terbit : November 2009
Tebal : 416 hal
ISBN : 978-979-29-1137-4
---------------------------------

Saturday, January 7, 2012

Reading Challenge 2012 : Name in a book challenge 2012


Satu lagi reading challenge 2012 yang diadain oleh salah satu teman anggota blogger buku Indonesia, Mba Fanda. Di reading challenge ini, setiap pembaca ditantang untuk membaca minimal 6 buku dalam setahun. Lantas apa kriteria buku yang dibaca? Mari kita lihat bersama…ini dia list-nya :

Tantangannya adalah membaca buku-buku fiksi yang mengandung nama orang di judulnya (nama orang lho, bukan hewan). Misalnya saja: Sarah's Key, Iblis & Miss Prym, Harry Potter & the Deathly Hallows.

Ini aturannya: 
  1. Buku harus fiksi, bukan non fiksi (biografi / memoar/ buku rohani).  
  2. Nama yang ada di judul adalah nama seseorang, bukan nama hewan peliharaan, bukan grup/perkumpulan (mis. The Mysterious Benedict Society)
  3. Boleh nama lengkap, boleh nama panggilan, tapi bukan nama sandi (mis. The Day of the Jackal). 
  4. Membaca minimal 6 buku (lebih boleh dong) untuk reading challenge ini, mulai 1 Januari s/d 31 Desember 2012.  
  5. Boleh digabung dengan reading challenge lainnya yang kalian ikuti. 
  6. Judul yang sudah dicantumkan dari awal, boleh diganti dengan yang lain. 
  7. Pasang button Name In A Book Challenge 2012 di blogmu.
Saya sendiri sudah punya beberapa buku yang saya list untuk mengikuti reading challenge ini:
  1. Sepatu Dahlan - Khrisna Pabichara *completed* 
  2. Coraline - Neil Gaiman
  3. Pope Joan - Donna Woolfolk Cross  *completed*
  4. Jane Eyre - Charlotte Bronte *completed*
  5. Clara's Medal - Feby Indirani *completed*
  6. Heidi - Johanna Spyri
Apakah anda berminat menantang diri anda sendiri? Mungkin anda bisa membaca lebih lengkap (Disini).