Wednesday, October 19, 2011

Review : The Boy in the Striped Pyjamas




"He thought that all the boys and girls who lived there would be in different groups, playing tennis or football, skipping and drawing out squares for hopscotch on the ground... As it turned out, all the things he thought might be there - weren't."

Buku biru bersampul garis-garis ini menyuguhkan cerita sederhana dibawah situasi mencekam sekitar tahun 1940-1945 ketika kelompok yahudi dibantai dengan kejam oleh seseorang yang dikenal dengan sebutan “The Fury” (Istilah The Leader dalam bahasa Jerman). Peristiwa yang merampas jutaan nyawa ini tidak mudah dilupakan. Warga yahudi yang tersebar luas di dataran eropa teraniaya tanpa ampun, bahkan anak-anak dan wanita pun tidak ada artinya untuk pemimpin negeri Hitler itu. Begitu banyak kisah, kesaksian, ungkapan hati yang tercurah lewat berbagai karya yang menggambarkan betapa mengerikannya masa itu. Sebut saja Anne Frank, seorang gadis yahudi yang bersembunyi bersama keluarganya dan terus mengungkapkan isi hatinya lewat sebuah diary yang kemudian dipublikasikan dan bahkan menjadi bacaan wajib untuk sekolah-sekolah di Amerika. 

Lewat karya seorang penulis asal Irlandia, John Boyne, hadirlah sebuah kisah lain tentang dampak holocaust yang tidak hanya berimbas buruk bagi kaum yahudi, namun juga untuk masyarakat jerman saat itu. Ini adalah kisah tentang seorang anak sembilan tahun bernama Bruno yang hidup bersama keluarganya di Berlin pada masa perang dunia II. Ayah Bruno adalah salah satu orang kepercayaan pemimpin Negara itu. Suatu hari sang ayah  tiba-tiba dipindahkan ke sebuah tempat terpencil, dekat camp “Out-With” (Auschwitz). Dengan berat hati, Bruno mengikuti keinginan orang tuanya untuk pindah. Ditengah kesepiannya ditempat baru, jauh dari sahabat-sahabatnya, Bruno sering memperhatikan anak-anak berpiama garis-garis yang terlihat di kejauhan. Lahan tempat anak-anak itu berada tidak cukup jauh dari rumah barunya, namun dipisahkan oleh semacam kawat duri yang menjulang tinggi. Tempat itu terlihat sangat kering, dan setiap manusia dibalik kawat duri itu, orang dewasa maupun anak-anak terlihat nestapa, tanpa senyuman, sangat ketakutan dan bahkan ada yang meneteskan air mata.

Demi mengendalikan rasa bosan di rumah barunya, suatu hari, Bruno memutuskan untuk menjelajahi daerah baru itu. Bruno terus berjalan menyusuri tempat-tempat yang semakin tidak dikenalnya namun terus menarik rasa ingin tahunya. Sampailah  ia di balik jeruji dan menemukan seorang anak seusianya sedang duduk sendirian. Anak itu menggunakan piama garis-garis. Bermula dari sapaan biasa, menjadi perbincangan, dan akhirnya persahabatan. Setiap hari mereka berjanji saling bertemu walau hanya sebatas mengobrol. Dan tak terasa pun waktu berlalu dengan sangat cepat. 

Lantas apa konflik di dalam novel ini? Jika anda membaca sinopsi dibelakangan buku terbitan Gramedia ini, anda tidak akan menemukan satu petunjuk pun tentang kisah ini. Mengapa demikian? Saya setuju dengan tulisan di belakangan cover buku ini, jika saya bercerita lebih jauh lagi, maka saya akan merusak keseluruhan isi cerita ini.

Buku ini memang sederhana, tidak banyak hal yang bisa ditemukan dalam alur ceritanya. Namun buku ini dapat bermanfaat untuk para guru sebagai bahan diskusi sejarah. Dengan membaca buku ini, banyak pertanyaan yang mungkin muncul terkait dengan perang dunia II dan holocaust. Seandainya guru-guru di Indonesia (tepatnya guru-guru saya dulu) ikut menerapkan cara seperti itu dalam mengajarkan sejarah, pasti dulu saya akan sangat menyukai sejarah. Beberapa kritik bermunculan tentang ketidaktepatan historis dan kesederhanaan buku ini, namun sejujurnya buku ini mampu mengajarkan manusia tentang hal-hal seperti kekejaman, apatis, prasangka, diskriminasi, kekuasaan, kekejaman bahkan kesetiaan.

Dalam wawancaranya dengan David Fickling, editor dan penerbit buku ini, John Boyne menjelaskan bahwa buku ini menggambarkan “naïf dan kepuasan”, dua hal yang menurutnya adalah dua alasan utama holocaust terjadi. Buku ini pun telah diadopsi ke layar lebar dan disutradarai oleh Mark Herman pada tahun 2008.

I couldn't put it down. Through the eyes of a child it was innocent and oh, so chilling. I was hooked to the last page.
Dalla Galton
Woman's Weekly

A book that lingers in the mind for quite some time…A subtle, calculatedly simple and ultimately moving story
Irish Times

------------------------------------------------------
Judul     : The Boy in the Striped Pyjamas
Penulis   : John Boyne
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit    : Jakarta, Juli 2007
Tebal     : 240 hal
ISBN-10  : 979-22-2982-5
ISBN-13  : 978-979-22-2982-0
-------------------------------------------------------

4 comments:

  1. aku sukaaaa banget buku ini Es, sangat unforgettable. Bahkan smpe sekarang masih ngga percaya sama endingnya.. >,<

    ReplyDelete
  2. Msh ada tdkbukunya yg berbahasa indonesia? Boleh saya beli?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi Anni, buku ini salah satu koleksiku yang gak bakal dijual. Tp sebagai referensi nih bisa beli di tokopedia https://www.tokopedia.com/hobibuku/the-boy-in-the-striped-pyjamas-anak-lelaki-berpiama-garis-garis

      Delete
    2. Udah sold mba di tokopedia dan yg lainnya jg udh pd sold out...sy sdh coba cari kmn2 tp kebanyakan bahasa inggris

      Delete