Title: Moloka’i
Author: Alan Brennert
Publisher: ST. Martin’s Griffin
Published: October 4th 2004
Page: 405
ISBN: 9780312304355
First of all I want to address
the author, nice to meet you Mr. Alan Brennert! This is our first meeting and I can
say that you’ve done an amazing job. I smile and weep several times during my
reading, especially when the main character coped with grief and loss or when she expressed
courage during difficult times.
Kisah ini dimulai tahun
1891 saat karakter utama, Rachel Kalama, berusia tujuh tahun. Rachel tinggal
bersama keluarganya di Honolulu, Hawaii. Ayahnya, Henry Kalama, adalah seorang
pelaut yang sering berpergian dan pulang ke rumah dengan berbagai hadiah untuk
seluruh keluarga, Rachel adalah anak kesayangannya. Ibunya, Dorothy Kalama,
adalah tipikal ibu rumah tangga yang hidupnya taat pada ajaran agamanya. Keluarga
yang tampaknya harmonis ini, tiba-tiba terguncang ketika Rachel divonis mengidap
Leprosy, penyakit yang saat itu sedang
mewabah di Hawaii. Mengidap Leprosy
tidak hanya membuat seorang pasien diasingkan ke koloni khusus di Kalaupapa, pulau
yang terpencil bernama Moloka’i, tetapi juga berakibat reputasi keluarga yang buruk,
dikucilkan oleh masyarakat dan kerap kali sulit mendapatkan pekerjaan. Leprosy adalah isu utama yang diangkat
oleh penulis, isu yang mengeluarkan ketakutan terbesar seorang anak, kecemasan
akan masa depan yang tak pasti, kerinduan pelukan ayah dan ibunya yang tak akan
pernah terjawab, tetapi Leprosy bukanlah satu-satunya isu yang disentuh oleh
penulis. Leprosy adalah wajah
kematian yang menjadi latar historical
dari novel ini, tetapi isu lainnya seperti kesepian, putus asa, kehilangan,
rasa malu akan diri sendiri adalah isu yang sangat relevan dimasa apapun.
“Rachel
would cherish that last touch for years to come, remembering the warmth of her
skin, the way her big fingers almost closed around Rachel’s and the desperate
love in Mama’s face as it was stolen away from her”. - p56
Memulai hidupnya di
Kalaupapa, Moloka’i, Rachel tinggal di Bishop Home bersama beberapa anak
seusianya, Emily, Francine, Josephina, Hazel, Hina, dan beberapa anak lainnya
yang tumbuh bersama Rachel. Selain sesama penderita Leprosy, ada juga biarawati yang tinggal untuk merawat pasien
penghuni Bishop Home, seperti sister
Catherine yang mengenal Rachel kecil hingga ia dewasa, mereka semua seperti
keluarga untuk satu sama lain. Paman Rachel, Pono, yang lebih dahulu divonis Leprosy, juga ada disana, begitu juga
seorang wanita paruh baya bernama Haleola yang kemudian menjadi seperti ibu
bagi Rachel. Mereka adalah keluarga baru Rachel, tetapi semua pertemuan pasti
mencapai akhirnya, begitu juga Rachel akan menghadapi kehilangan satu per satu
orang-orang yang mulai dan telah menjadi keluarga untuknya di Moloka’i. Ketika
mulai dewasa, Rachel pun bertemu pendatang baru di Moloka’i, mereka yang
awalnya bereaksi seperti dirinya saat pertama kali tiba di Moloka’i, dipenuhi
kekecewaan dan putus asa, ada yang berusaha bunuh diri atau berusaha berenang
kembali ke Honolulu. Lingkaran itu terus berputar, ada yang datang dan pergi.
Hal yang paling menyesakkan untuk saya adalah kenyataan ketika semua yang
bertumbuh besar bersama Rachel meninggal, atau ketika Rachel harus merelakkan
satu-satunya anak yang ia miliki untuk diadopsi orang lain. Sesering apapun
kita mengalami kehilangan, kita tak akan pernah terbiasa dengan rasa sesak itu,
tak pernah ada kehilangan yang menjadi lebih mudah meskipun berulang kali
terjadi. Disisi lain, keberanian Rachel untuk menikmati hidup adalah cahaya
bagi kisah ini.
“You
see sister? That’s all we have to do. Learn how to smile in the cannibal pot,
and life would be so much easier”. – p81
“I’ve
come to believe that how we choose to live with pain, or injustice, or death…is
the true measure of the Divine within us”. Some, like Crossen, choose to do
harm to themselves and others. Others, like Kenji, bear up under their pain and
help others to bear it”. – p307
Penulis juga menunjukkan bahwa seburuk apapun keadaan disekitar, kita bisa menentukan respon terhadap keadaan itu. Dua orang bisa terpenjara dalam kondisi yang sama, tetapi bagaimana mereka bereaksi bisa sangat berbeda. Ada yang tidak punya
kemampuan untuk menundukkan penderitaan sehingga
berakibat buruk untuk diri sendiri dan orang lain, tetapi ada juga yang punya
kekuatan – sebagian diserap dari orang-orang yang mencintai mereka – untuk memanfaatkan penderitaan menjadi kesempatan untuk
menolong orang lain. Membaca buku ini, membuat saya merindukan orang-orang terdekat,
merindukan keluarga, dan jadi ingin punya keluarga #lohhhmalahcurhat (tolong
abaikan yang terakhir :P.
“Who
can doubt the presence of God in the sight of men whom He has given wings. I
recall that so precisely because I’ve had time to consider my error…..God didn’t
give man wings; He gave him the brain and the spirit to give himself wings.
Just as He gave us the capacity to laugh when we hurt, or to struggle on when
we feel like giving up”. – p307
Buku setebal empat ratusan
halaman ini ditulis dengan tempo yang steady,
bukan tipe novel klasik bertempo lambat, bukan pula tipe roller coaster story yang membuat
pembaca tak sabar mencapai halaman akhir. Menurut saya Moloka’i tidak bisa
dinikmati dalam sekali kunyah, tetapi butuh waktu untuk merasakan setiap
detail-nya, makanya saya agak berlama-lama membaca, sambil sekali-kali istirahat
supaya tidak terlalu bengek karena terlalu sering menghapus air mata. Penulis menjelaskan
dengan rinci aktivitas Rachel sehari-hari, apa yang ia rasakan, hasratnya yang
terpendam, apapun yang normally
dirasakan oleh manusia pada umumnya, namun especially
manusia yang hidup dengan pemahaman bahwa kematian adalah kawan karib yang
selalu ada didepan mata. Penjelasan rinci tentang Rachel membuat karakternya
sangat kuat, saya seperti merasa Rachel begitu nyata, seperti seorang kawan
lama yang pernah saya kenal. Begitu juga dengan beberapa karakter pendukung dalam
inner circle-nya, seperti beberapa
teman dekatnya - Leilani, Kenji, sister
Catherine, Haleola - serta ayahnya. Beberapa tokoh dalam novel pun merupakan bagian
dari sejarah Moloka’i, seperti Father Damien dan Mother Marrianne Cope yang
tetap menggunakan nama asli, serta beberapa nama fiksi yang representatif beberapa
penduduk Moloka’i yang pernah disebut dalam beberapa catatan. Robert Louis
Stevenson ditahun 1889 pernah menulis tentang anak-anak di Moloka’i,
“The
case of the children is by far the most sad; and yet, thanks to Damien and that
great Hawaiin lady, the kind Mrs. Bishop, and to the kind sisters, their
hardship has been minimized. Even the boys in the still rude boy’s home at Kalawao
appeared cheerful and youthful; they interchange diversion in the boy’s way;
are one week all for football, and the next the devotees of marbles or of kites;
have fiddles, drums, guitars, and penny whistle; some can touch the organ, and
all combine in concerts. As for the girls in the Bishop Home, of the many beautiful
things I have been privileged to see in life, they, and what has been done for
them, are not the least beautiful”.
Alan Brennert lahir di New
Jersey, tetapi kemudian pindah ke California. Ia mendapatkan Bachelor Art in English
dari California State University. Selain menulis novel, Alan Brennert juga
memiliki beberapa karya short story, teleplays, screenplays. Salah satu short
story yang berjudul “Ma Qui”, mendapat penghargaan Nebula Award pada tahun
1992. Butuh waktu satu tahun untuk Brennert mengumpulkan semua data yang ia
butuhkan untuk menulis Moloka’i, karena belum ada buku atau catatan sejarah
yang mencatat secara komprehensif tentang orang-orang yang pernah tinggal di
Moloka’i. Catatan yang ia buat akhirnya menjadi salah satu record yang disimpan oleh Bishop Museum yang berdiri di Moloka’i
saat ini. Moloka'i menampung penderita Leprosy sejak tahun 1866 sampai 1969, tatapi saat ia menulis novel ini, tercatat masih ada kira-kira tiga puluhan orang penderita
Leprosy – belakangan disebut Hansen’s disease – yang tinggal di Kalaupapa, Moloka’i
atas ijin pemerintah karena Moloka’i kini telah berubah menjadi salah satu
tempat wisata di Hawaii, dimana berdiri Kalaupapa National Historical Park.
“I
have no regrets, Rachel, about the life I chose. The one thing I lacked, you
have in part given me. Thanks to you I know a little of the joy a mother must,
the pride a child well grown. I pray you shall know it too. God bless you and
keep you, Rachel”. – p359
hi.. salam kenal.. saya lagi cari buku remains of the day..dan saya liat mba pernah mengulas buku itu.. klo boleh tau belinya waktu itu dimana ya? karena saya sedang mencari bgt buku itu. terimakasih :)
ReplyDeletehalooo..aku beli buku ini udah lama banget, kalo tidak salah pas pameran. Memang rada susah untuk nyari sekarang, apalagi untuk yang terjemahan. Tapi kalau mau baca yang inggris, rasanya masih bisa order di bookdepository.
Deleteterimakasih telah sharing kak tipstorial.com
ReplyDeletebagus banget info nya kak
ReplyDeletemarkaindo