A
nation that does not read much does not know much. And a nation that does not
know much is more likely to make poor choices in the home, the marketplace, the
jury box, and the voting booth. And those decisions ultimately affect the
entire nation...the literate and illiterate – Jim Trelease
Siang itu, menebas panas matahari saya
menuju teater kecil Taman Ismail Marzuki yang terletak di gedung paling
belakang lokasi TIM, tempat digelarnya salah satu diskusi menarik A Nation
that doesn’t Read dalam Asean Literary Festival (ALF) 2016, yang untuk ketiga
kalinya diadakan di Jakarta. Suasana di depan teater kecil tampak sudah ramai, beberapa
orang sedang antri registrasi, sekumpulan orang bule saling menyapa sebelum
masuk ke dalam ruangan. Saya bersama seorang teman pun menuliskan nama dan
email di lembar registrasi yang disediakan panitia, lalu beranjak masuk ke
teater yang disambut udara dingin melegakkan. Belum banyak orang di dalam
ruangan, namun tak lama menunggu tampak seorang wanita keren berambut merah yang
terlihat seperti fairy godmother (saya
lupa nama beliau, maafkan Madam), naik ke panggung dan menyambut semua yang
telah hadir sambil memperkenalkan diri. Karena saya lupa nama beliau, maka
dalam tulisan ini, saya akan menyapanya dengan Madam Moderator. Setelah meminta
semua peserta untuk mengisi deretan kursi paling depan (kebiasaan orang
Indonesia, termasuk saya, selalu mengambil tempat aman, yaitu tengah ke
belakang), Madam Moderator pun mengundang narasumber dan memperkenalkan mereka:
Päivi Hiltunen-Toivio, Finnish Ambassador;
John McGlynn, Chairman of Lontar
Foundation; Endy Bayuni, Chief Editor
of Jakarta Post; Youngduk Shin, Professor of University of Education
(UPI) Bandung; dan seorang penerjemah untuk Professor Youngduk.