Diantara begitu banyak kasus dan komentar-komentar tidak sedap tentang gaya hidup pejabat bangsa ini, saya mendengar seorang sosok yang memiliki gaya hidup yang berbeda. Mungkin itu bisa dikata sebuah cangkang luar yang tidak lain hanya untuk menutupi sesuatu. Orang yang tidak pernah bekerja bersamanya mungkin akan berpikir seperti itu. Saya sendiri belum pernah bertemu dengan sosok yang satu ini, namun saya ingin membagi pendapat seorang penyiar tentangnya:
“Selama mengenal Pak Dahlan Iskan, saya menyaksikan kerendahan hati dan kesederhanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, bagi saya setiap gerak-geriknya selama menjadi menteri bukanlah hal baru, meski gaya kerja dan ucapan Pak Dahlan diluar kebiasaan pejabat pada umumnya. Awalnya saya pikir gayanya yang unik hanya sekedar style memimpin saja. Namun, setelah membaca buku ini, segalanya terkonfirmasi. Kesederhanaan, rendah hati dan kerja keras yang dibarengi keteguhan hati, bukanlah sekedar gebrakan. Tapi itu semua adalah bentuk ucapan syukur Pak Dahlan terhadap apa yang pernah dilaluinya dan sudah dicapai.” – Putra Nababan, Wakil Pemimpin Redaksi dan Penyiar Seputar Indonesia RCTI.
Novel ini terinspirasi dari kisah kehidupan Dahlan Iskan. Penulis melakukan riset dan menyuguhkan sebuah fiksi yang menggambarkan bagaimana Dahlan berjuang untuk masa depannya. Banyak hal yang mempengaruhinya untuk menjatuhkannya, namun sebanyak itu juga hal-hal positif yang membuatnya mampu memelihara semangatnya. Kekuatan keluarga, persahabatan dan kemauan yang keras membuat Dahlan bersemangat untuk meraih mimpinya, seperti kata Ayahnya “Kemiskinan yang dijalani dengan tepat akan mematangkan jiwa”.
Dahlan lahir di Kebon Dalem, Magetan, Jawa Timur. Ia lahir di sebuah desa dan keluarga yang sangat sederhana. Ia hidup bersama Ayah, Ibu dan Adiknya, Zain. Sementara kedua kakak perempuannya, Mbak Softwati dan Mbak Atun telah merantau ke Madiun untuk melanjutkan pendidikan. Dahlan menyelesaikan sekolah rakyat dan melanjutkan pendidikannya di Tsanawiyah Takeran, tempat dimana seluruh anggota keluarganya menempuh pendidikan. Awalnya ia berencana untuk melanjutkan ke SMP Negeri Magetan, namun karena permintaan Ayahnya, ia menerima untuk bersekolah di Tsanawiyah Takeran. Novel ini menceritakan kehidupan Dahlan sejak lulus sekolah rakyat sampai ia lulus SMA, sekitar akhir tahun 1950an sampai tahun 1965.
Dahlan lahir di Kebon Dalem, Magetan, Jawa Timur. Ia lahir di sebuah desa dan keluarga yang sangat sederhana. Ia hidup bersama Ayah, Ibu dan Adiknya, Zain. Sementara kedua kakak perempuannya, Mbak Softwati dan Mbak Atun telah merantau ke Madiun untuk melanjutkan pendidikan. Dahlan menyelesaikan sekolah rakyat dan melanjutkan pendidikannya di Tsanawiyah Takeran, tempat dimana seluruh anggota keluarganya menempuh pendidikan. Awalnya ia berencana untuk melanjutkan ke SMP Negeri Magetan, namun karena permintaan Ayahnya, ia menerima untuk bersekolah di Tsanawiyah Takeran. Novel ini menceritakan kehidupan Dahlan sejak lulus sekolah rakyat sampai ia lulus SMA, sekitar akhir tahun 1950an sampai tahun 1965.
“Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya” [hal 322]
Begitu kata Dahlan Iskan yang sejak kecil telah dididik keras oleh hidup.
“mata berkunang-kunang, keringat bercucuran, lutut gemetaran, telinga berdenging..siksaan akibat rasa lapar ini memang tak asing…sungguh aku butuh tidur…sejenak pun bolehlah..supaya lapar ini terlupakan” [kutipan dari belakang cover]
Terkadang perutnya kosong seharian, namun hal itu masih bisa ditahannya dengan mengikatkan sarung erat-erat keperutnya, begitulah caranya menahan lapar. Namun yang mengiris hati adalah saat menyaksikan adiknya yang masih sangat kecil menggigil kelaparan.
Dahlan harus berjalan puluhan kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki. Sepulang sekolah, dengan perut yang masih kelaparan ia masih harus bekerja sebagai nguli nyeset, nguli nandur dan ngangon domba. Begitu banyak beban hidup yang harus ditanggung oleh anak seusia Dahlan. Namun meski mereka hidup susah, Bapaknya selalu mengajar Dahlan dan saudara-saudaranya untuk bekerja keras.
“pilih ngendi, sugih tanpa iman opo mlarat ananging iman? – pilih mana, kaya tanpa iman atau melarat namun beriman?” Dahlan tidak memilih, namun ia membuat jawabannya sendiri “sugih ananging iman – kaya dan beriman”. Untuk Dahlan “sugih” hanya berarti satu hal, yaitu memiliki sepatu dan sepeda.
Begitu banyak hal menarik dalam novel ini. Ada bagian-bagian lucu ketika Dahlan menghadapi gadis yang ditaksirnya dan tak tahu harus berbuat apa. Ada bagian-bagian menyenangkan ketika Dahlan, Arif, Kadir, Imran, Komariyah, dan Maryati menikmati kebersamaan mereka dengan cara “anak kampung yang menyenangkan”. Ada bagian-bagian dimana Dahlan harus menyaksikan kaki teman-temannya berselimutkan sepatu keren sementara dia nyeker kemana-mana. Ada bagian-bagian menebarkan ketika Dahlan dan tim voli Takeran akan bertanding melawan SMP Magetan. Dibagian final voli, semua pemain diwajibkan bersepatu, lalu apakah Dahlan yang adalah ketua tim serta tosser andalan harus keluar dari lapangan karena dia nyeker? Satu demi satu kisah kehidupan Dahlan dituturkan oleh penulis dengan sentuhan-sentuhan emosi yang membuat pembaca bisa meletup-letup.
Membaca buku ini, seperti duduk mendengarkan Dahlan Iskan bertutur langsung kepada pembaca karena penulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Zaman sekarang Indonesia memiliki banyak sekali penulis, namun saya tidak banyak menemukan seorang penutur cerita yang baik. Membaca novel ini membuat saya tahu bahwa Khrisna Pabichara adalah salah satu penutur cerita yang baik. Cara penuturannya sederhana dan tidak membosankan. Novel ini tidak ditulis dengan alur biasa, klimaks dan anti klimak, namun novel ini dalam setiap babnya membahas potongan-potongan dari hidup keseharian Dahlan, keluarganya, sekolahnya, teman-temannya, mimpi-mimpinya, ketakutan dan kesedihannya, harapan-harapannya, dan usaha kerja kerasnya. Anda akan menemukan semangat baru dari setiap kepingan cerita itu. Novel ini akan membuat pembaca mensyukuri pemberian Tuhan serta memacu mengobarkan semangat meraih masa depan yang gemilang. Ketika menutup buku ini saya punya satu harapan yaitu bisa berbincang-bincang langsung dengan Pak Dahlan Iskan. Seandainya saya mendapat kesempatan itu, saya punya beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan langsung kepadanya.
Dahlan harus berjalan puluhan kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki. Sepulang sekolah, dengan perut yang masih kelaparan ia masih harus bekerja sebagai nguli nyeset, nguli nandur dan ngangon domba. Begitu banyak beban hidup yang harus ditanggung oleh anak seusia Dahlan. Namun meski mereka hidup susah, Bapaknya selalu mengajar Dahlan dan saudara-saudaranya untuk bekerja keras.
“pilih ngendi, sugih tanpa iman opo mlarat ananging iman? – pilih mana, kaya tanpa iman atau melarat namun beriman?” Dahlan tidak memilih, namun ia membuat jawabannya sendiri “sugih ananging iman – kaya dan beriman”. Untuk Dahlan “sugih” hanya berarti satu hal, yaitu memiliki sepatu dan sepeda.
Begitu banyak hal menarik dalam novel ini. Ada bagian-bagian lucu ketika Dahlan menghadapi gadis yang ditaksirnya dan tak tahu harus berbuat apa. Ada bagian-bagian menyenangkan ketika Dahlan, Arif, Kadir, Imran, Komariyah, dan Maryati menikmati kebersamaan mereka dengan cara “anak kampung yang menyenangkan”. Ada bagian-bagian dimana Dahlan harus menyaksikan kaki teman-temannya berselimutkan sepatu keren sementara dia nyeker kemana-mana. Ada bagian-bagian menebarkan ketika Dahlan dan tim voli Takeran akan bertanding melawan SMP Magetan. Dibagian final voli, semua pemain diwajibkan bersepatu, lalu apakah Dahlan yang adalah ketua tim serta tosser andalan harus keluar dari lapangan karena dia nyeker? Satu demi satu kisah kehidupan Dahlan dituturkan oleh penulis dengan sentuhan-sentuhan emosi yang membuat pembaca bisa meletup-letup.
Membaca buku ini, seperti duduk mendengarkan Dahlan Iskan bertutur langsung kepada pembaca karena penulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Zaman sekarang Indonesia memiliki banyak sekali penulis, namun saya tidak banyak menemukan seorang penutur cerita yang baik. Membaca novel ini membuat saya tahu bahwa Khrisna Pabichara adalah salah satu penutur cerita yang baik. Cara penuturannya sederhana dan tidak membosankan. Novel ini tidak ditulis dengan alur biasa, klimaks dan anti klimak, namun novel ini dalam setiap babnya membahas potongan-potongan dari hidup keseharian Dahlan, keluarganya, sekolahnya, teman-temannya, mimpi-mimpinya, ketakutan dan kesedihannya, harapan-harapannya, dan usaha kerja kerasnya. Anda akan menemukan semangat baru dari setiap kepingan cerita itu. Novel ini akan membuat pembaca mensyukuri pemberian Tuhan serta memacu mengobarkan semangat meraih masa depan yang gemilang. Ketika menutup buku ini saya punya satu harapan yaitu bisa berbincang-bincang langsung dengan Pak Dahlan Iskan. Seandainya saya mendapat kesempatan itu, saya punya beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan langsung kepadanya.
Dahlan Iskan menghadiri peluncuran novel ini yang diadakan pada 27 mei 2012 di Bundaran Hotel Indonesia (saat car free day) bersama sekitar 1000 anak yang datang dari berbagai sekolah yang ada di Jakarta untuk mendapatkan motivasi dari tokoh utama novel Khrisna Pabichara ini. Pada acara tersebut Dahlan Iskan membagikan 1000 sepatu kepada anak-anak yang hadir pada saat itu untuk menunjang aktivitas mereka. Sementara ia telah merencanakan untuk membagikan 2600 sepatu lagi selanjutnya. Museum Rekor Indonesia mencatat gerakan ini sebagai sebuah rekor baru di Indonesia.
---------------------------------------
Judul : Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Judul : Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Terbit : Mei 2012
Tebal : 392hal
ISBN : 978-602-9498-24-0
---------------------------------------