Title:
Bumi Manusia (The Earth of Mankind)
Author:
Pramoedya Ananta Toer
Publisher:
Lentera Dipantara
Published:
2005 (first published 1975)
Pages:
535p
ISBN:
9789799731234
Borrowed from HelvrySinaga
Namanya minke (baca: Mingke), tokoh
yang digunakan oleh Pram untuk menggambarkan Indonesia di akhir 1800 hingga
awal 1900 yang oleh sejarah kita tercatat sebagai masa awal Kebangkitan
National. Diceritakan dengan latar Surabaya dan Wonokromo serta beberapa kota
lain di Provinsi yang kita kenal sekarang dengan nama Jawa Timur. Zaman yang
digambarkan Pram dalam buku ini, mungkin sekilas pernah kita pelajari lewat
pelajaran sejarah di sekolah, namun karena metode yang saya temukan hanyalah, mencatat
buku sampai habis, maka hanya sedikit ingatan yang tersisa dari halaman-halaman
buku yang entah dimana sekarang. Kisah Minke bermula di tahun 1898, saat itu
dia adalah siswa H.B.S, sebuah sekolah Belanda. Ia mengaku pribumi, namun semua
orang tahu, untuk masuk ke H.B.S, kalau bukan totok (orang Eropa asli) atau Indo (campuran), pastilah si
pribumi dijamin oleh sebuah kedudukan yang cukup tinggi.
Minke tak pernah mengakui jaminan itu, Ia memperkenalkan dirinya sebagai Minke,
tanpa nama keluarga, seorang pribumi.
Jauh sebelum Eropa beradab, bangsa Yahudi dan
Cina telah menggunakan nama marga. Adanya hubungan dengan bangsa-bangsa lain
yang menyebabkan Eropa tahu pentingnya nama keluarga…Kalau pribumi tak punya
nama keluarga, memang karena mereka tidak atau belum membutuhkan, dan itu tidak
berarti hina. Kalau Nederland tak punya Prambanan dan Borobudur, jelas pada
jamannya Jawa lebih maju daripada Nederland (saya lupa catat hal-nya, bukunya
sudah dikembalikan :D)
Sebagai seorang pribumi, Minke membaca
dan menulis dalam bahasa Belanda sebanding bahkan lebih baik dari mereka yang
berdarah totok. Lalu suatu ketika, atas ajakan teman sekelasnya, Minke
berkunjung ke sebuah rumah mewah, jenis rumah yang tak pernah dimasukinya dan
yang ia yakini adalah milik orang Belanda. Kunjungannya itu mengenalkannya
pada Annelies, seorang gadis yang
digambarkan Pram menandingi kecantikan bidadari yang turun dari kayangan. Minke
pun jatuh cinta. Seakan nasib berpihak padanya, Ibu gadis itu, yang dikenal
dengan nama Nyai Ontosoroh seperti mendukung keberadaannya di rumah itu,
mendorong Annelies untuk menemani Minke mengelilingi rumah mereka yang berujung
pada semakin terperosoknya Minke dalam kekaguman akan kecantikan Annelies.
Sebutan Nyai, pada masa kolonial Belanda
berarti gundik, simpanan orang Eropa, tidak dinikahi secara resmi, tetapi
tinggal serumah dan bahkan melahirkan anak-anak berdarah campuran. Posisi Nyai
ini dianggap lebih beruntung dari perempuan pribumi lainnya secara ekonomi,
tetapi secara moral sangat direndahkan. Begitulah image Nyai Ontosoroh dimata orang. Ia tinggal bersama Robert
Mellena dan Annelies, anak-anak hasil hubungannya dengan Herman Mellena. Nyai
memimpin rumahnya sendiri, karena Herman Mellena jarang pulang, Ia
mempertahankan bisnisnya dengan kepandaian ala Eropa. Nyai Ontosoroh memang
berdarah Pribumi, tetapi tutur kata, budaya, pengetahuan dan kecakapannya
sebanding dengan wanita Eropa yang terpelajar. Dalam sekali kunjungan, Nyai
Ontosoroh menilai Minke sebagai anak muda yang baik dan bisa diandalkan, Ia pun
memaksa Minke tinggal bersama mereka. Demikianlah Minke pun masuk ke dalam
lingkungan Nyai Ontosoroh dan Annelies.
Selain karena menyukai Annelies,
kepribadian Nyai Ontosoroh serta misteri keluarga Mellena adalah daya tarik
lain untuk Minke menyetujui tinggal di rumah itu. Nyai Ontosoroh adalah potret
wanita yang langka dimasa itu, memang ada banyak wanita lain yang mulai
bekerja, meski dipandang aneh oleh zaman, tetapi Nyai bukan orang yang diatur
untuk mengerjakan sesuatu tetapi dialah yang mengatur banyak orang untuk bekerja.
“Aku sendiri masih termanggu melihat perempuan
meninggalkan dapur rumah tangga sendiri, berbaju-kerja, mencari penghidupan
pada perusahaan orang, bercampur dengan pria” (hal 44, Minke)
“Sayang orang semacam itu takkan mungkin dapat
hidup ditengah bangsanya sendiri. Dia seperti batu meteor yang melesit
sendirian, melintasi keluasan tanpa batas, entah dimana kelak bakal mendarat,
diplanit lain atau kembali ke bumi, atau hilang dalam ketakterbatasan alam” (hal
348, Magda Peters tentang Nyai)
Seorang Pribumi seperti Minke tak
punya kuasa untuk menentang perbudakan yang katanya sudah dihapuskan, tetapi
masih tampak jelas disekitarnya. Dengan nama penanya, Max Tollenaar, Ia
menyuarakan ketidakpuasannya, menulis pemikiran-pemikirannya dalam surat kabar
berbahasa Belanda. Pram memberikan gambaran untuk pembaca tentang kuatnya
pengaruh sebuah tulisan pada masa itu. Tulisan dapat memancing kerusuhan,
membuat orang yang dikeluarkan dari sekolah kembali memperoleh tempatnya,
membuat masyarakat melihat perspektif yang berbeda dalam sebuah drama kehidupan
zaman kolonial, bahkan mendorong banyak orang rela mati untuk membela pihak
yang mereka anggap benar. Minke yang dididik dengan cara berpikir modern memahami
kesetaraan dalam hal sosial, dimana respek diperoleh karena seseorang layak
mendapatkannya atas pemikiran yang cemerlang atau kepribadian yang
mengaggumkan, bukan karena kedudukan yang dimilikinya. Minke mendobrak budaya
menghormati orang karena label yang menempel pada orang itu, meski label itu
berbunyi Ayahanda. Keharusan kaum pribumi untuk menerima semua perkataan orang
yang lebih tua pun tidak diterima olehnya. Respek benar-benar earn (not given) dan hanya lewat budi pekerti yang baik, kepintaran dan
kebijaksanaan hal itu bisa diperoleh.
“Sungguh teman-teman sekolah akan menertawakan aku
sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki,
diatas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan
bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau
ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam” (hal. 181,
Minke)
Tetapi dengan hidup di rumah Nyai pun,
Minke membuka ruang kecaman untuk dirinya sendiri, baik dari pihak pribumi
maupun kompeni. Beberapa konflik yang diangkat Pram dibuku ini, yang menimpa
Minke, Nyai dan Annelies adalah potret dari tidak jelasnya hukum yang berlaku
pada masa itu yang berujung pada perlakuan yang tidak adil untuk mereka yang
bukan totok. Bahkan Minke yang tadinya sangat mengaggumi intelektualitas orang
Belanda mencibir karena perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan
pemikiran modern yang mereka ajarkan di sekolah Belanda.
Buku ini menjadi jendela saya melihat
ke masa lalu, saya tumbuh ditahun 90an dan baru membaca buku ini tahun 2016,
reaksi saya tentunya syok dan geram melihat situasi masa lalu seperti itu.
Lewat Bumi Manusia saya mengenal konteks masa kolonial, potret pemuda yang menyanjung
pengetahuan diatas darah, menimba ilmu dari cara Eropa tetapi menemukan
kepincangan dalam attitude mereka,
sementara dirinya sendiri geram dengan masyarakat dan adat pribumi serta mind-set yang mengekang terjadinya terobosan
pada masa itu. Di buku ini juga, saya bertemu dengan Max Havelar alias Eduard Douwes Dekker. Saya jadi tahu dimana posisi
buku Max Havelar dalam fiksi sejarah Indonesia, karena Bumi Manusia memberikan
landasan untuk saya memetakan sejarah dan buku-buku historical fiction lainnya yang ingin saya baca, seperti Multatuli
dan cerita tentang Nyai Dasima.
Bagaimana kalau buku
ini dijadikan bacaan wajib saja untuk anak sekolahan? Saya jamin lebih nendang
ketimbang metode belajar sejarah dengan menghapal atau sekedar mencatat buku
pelajaran.
Sedikit catatan tentang Pram:
Pram menulis buku ini
ketika Ia mendekam dalam tahanan di pulau Buru sekitar tahun 1975, tetapi baru
diterbitkan pada tahun 1980 dan menerima sambutan luar biasa dari pembaca dalam
dan luar negeri, sampai-sampai dalam periode satu tahun (1980-1981) telah dicetak
ulang sebanyak 10 kali. Namun oleh Jaksa Agung, buku ini pun dilarang beredar
dan ditarik dari peredaran karena dianggap menyuarakan paham Marxisme-Leninisme
dan Komunisme. Tahun 2005, Tetralogi Buru dicetak kembali oleh Lentera
Dipantara dan sampai saat ini telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa dan
tersebar diseluruh dunia sebagai sebuah Sumbangan Indonesia untuk Dunia.
Beberapa kata-kata Pram
yang saya sukai di buku ini:
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya
sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri”
(hal 59)
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil
sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” (hal 77)
“Dan taka da yang lebih sulit dipahami daripada
sang manusia. Itu sebabnya tak habis-habisnya cerita dibuat dibumi ini” (hal
164)
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin
mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra,
kalian tinggal hanya hewan yang pandai” (hal 313)
“Mantap tidaknya kedewasaan dan nilai tergantung
pada besar-kecilnya dan banyak-sedikitnya ujian, cobaan” (hal 392)
Bukunya sarat muatan dan memang sepertinya drama yang diusung lebih dalam. bukan drama-drama yang dibuat atas kesenangan imajinasi. Saya harus sempat membaca buku ini dan buku lainnya.
ReplyDeleteYes buku ini wajib baca, supaya kita bisa lebih kenal dengan asal usul kita sendiri :)
DeleteBahasanya agak berat ga ya kak? Aku baru baca halaman pertama kyknya susah d pahami Krn bahasanya :') kepo padahal
Deleterekomennn bgtt pkknyaa... salute to PAT!!! :D
ReplyDeleteBuku memuat inspirasi untuk belajar..
ReplyDeletemasih ada dijual buku ini ditoko2 buku?
ReplyDeletesetahu saya udh rada susah dicari
DeleteBanyak um di tokopedia...
DeleteEndingnya bikin sedih
ReplyDeleteSaya ketinggalan banget nih mas, baru baca buku ini ditahun 2017, baru sampe hal 17 saat si minke main kerumah annelis
ReplyDeleteIni keren banget, tetralogi bumi manusia merupakan sebagian dari karya terbaik Pram
ReplyDeleteAda yang punya e-booknya kah?
ReplyDeleteSaya punya 😂
DeleteMau !??
DeleteSekarang udah dicetak ulang kok, banyak di gramedia.
DeleteKak.. Saya minta ebook nya
DeleteBumi Manusia salah satu novel paling bagus Indonesia... Bacalah juga wawancara dengan Dante Alighieri (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2017/12/wwancara-dengan-dante.html
ReplyDeleteYg punya ebook nya boleh di share donk, please...
ReplyDeletedulu bacanya buku fisik, masih ada jual di gramedia kok
DeleteIni salah satu buku yg akan di film kan, dan sepertinya pemainnya adalah Iqbaal dan tatjana saphira
ReplyDeleteSaya jadi penasaran sama buku ini.klau bleh tau untuk mendapatkan buku ini dimana ya ?
ReplyDeleteDi Toko Buku Gramedia ada
DeletePramoedya adalah sastrawan terbaik yang di miliki bangsa, setiap novel yg ia tulis memiliki penjabaran yang begitu detail dan mendalam, semua karya nya membuat kita amat mencintai tokoh yg ada di dalamnya, kalo saja film bumi manusia ini tidak bisa di eksekusi dg baik, maka patut dikatakan para sineas ini telah melakukan penghinaan terhadap sastra yg indah
ReplyDeletesemoga dieksekusi dengan baik ya
DeleteJadi penasaran, dan ingin baca langsung.
ReplyDeleteMauuuuuuu
ReplyDeleteAku udh baca yg bumi manusia, luar biasa bikin penasaran, lgsg order 3buku selanjutnya, niat bgt pengen punya buku komplit tetralogi ini
ReplyDeleteBumi Manusia itu karya ke-2 Pram yang aku baca. Aku baca novel ini juga masih baru-baru ini karena ramai diperbincangkan setelah kabar akan difilmkan. Ternyata bukunya bagus sekali. Suka sama isinya.
ReplyDeleteMakasih ya atas reviewnya.
Aku suka sama review kamu, aku nggak bisa sedetail itu sih kalau review.
Sebenarnya, makna bumi manusia itu apa si mba? Kenapa judulnya bumi manusia? Saya bingung walaupun sudah baca satu buku.
ReplyDeleteKalau sekarang masih ada gak yah bukunya????
ReplyDeleteSerunya membaca sambil ngopi, beberapa tempat di jogja yang cocok untuk kamu..banyak teman-teman saya yang betah untuk berlama-lama nongkrong di tempat tersebut. gak percaya? cek websitenya
ReplyDeletehttp://bulubook.com/rekomend/membaca-sambil-ngopi-cafe-di-yogyakarta-ini-cocok-untuk-kamu/
dari reviewnya jadi makin penasaran sama bukunya
ReplyDeletedistributor sosis murah