Thursday, October 27, 2011

buku memberikan ide ngeblog


Jika mendengar kata “ngeblog” apa yang akan terlintas dalam benak anda? 

Sampai dengan tahun 2010, ketika seseorang menyebutkan kata “ngeblog”, hal yang terlintas dalam pikiran saya, curhatan panjang ala diary yang menggunakan media internet, album foto milik para photographer yang ingin dipublikasikan, catatan perjalanan seseorang yang suka traveling atau tutorial teknis mengenai dunia komputerisasi. Dengan hanya memiliki pemahaman itu serta pengalaman yang sangat minim, maka niat untuk ikut “ngeblog” pun datang dan pergi terbawa angin. 

Suka membaca? Definitly!!!

Entah darimana datangnya kegemaran membaca itu. Ketika saya membaca,  a tree grows in Brooklyn karya Betty Smith, saya tahu tokoh Francie mendapatkan kebiasaan membacanya dari ibunya yang telah membiasakannya sejak ia belum tahu apa-apa. Bagaimana dengan saya, dari mana kegemaran membaca itu muncul? Sampai sekarang pun saya tidak punya jawabannya.

Setelah membaca, saya sering sharing isi buku ke beberapa teman. Ada yang terlihat bosan, bahkan ngantuk mendengarkan cerita saya, namun ada juga beberapa yang tertarik (walau jumlahnya sangat sedikit). Lalu diakhir tahun 2010, ketika saya sedang browsing mencari sebuah buku, oleh paman google saya diarahkan ke sebuah situs yang bernama goodreads. 

Betapa bersyukurnya saya ketika menemukan sebuah jejaring sosial, kumpulan orang-orang yang suka dengan buku. Mereka bahkan membuat review atau resensi buku-buku yang telah mereka baca. Ada yang mengomentari, ada yang memberikan pujian dengan mengklik “like”. Berkenalan dengan goodreads membuat saya semakin kaya informasi buku dan juga mengetahui bahwa indonesia cukup tertinggal dari segi penerbitan buku-buku berkualitas. Sebut saja karya Harper Lee – To kill a Mocking Bird yang baru diterbitkan sekitar tahun 2009 atau 2010, sementara terbitan pertamanya sudah ada sejak 1960. Namun lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali bukan?

Belum lama bergabung dengan Goodreads Indonesia (GRI), saya sudah berkenalan dengan banyak teman-teman baru. Dari GRI berlanjut ke Facebook dan Twitter. Awalnya saya hanya ikut mendengarkan kicauan beberapa teman-teman pecinta buku di twitter, lalu saya mulai join dalam percakapan mereka, dan berkembang menjadi berburu buntelan buku dari para penerbit. Betapa senangnya ketika buntelan pertama saya (Hansel & Gretel) diantarkan oleh sang kurir. Mendapat buntelan pertama memacu saya memantau timeline twitter setiap hari, hanya untuk memastikan saya tidak melewatkan kuis-kuis yang diselenggarakan oleh para penerbit. Lalu saya mulai memperhatikan beberapa teman seperti om Hernandi Tanzil yang kerap kali menuliskan penilaiannya terhadap buku bacaanya. Sama seperti yang sering saya lakukan dengan menceritakan kepada teman saya, namun kali ini lewat cara dan media yang berbeda. Blog Buku.

Blog Buku?

Inilah dia blog buku saya, postingan pertama adalah resensi To Kill a Mocking Bird karya Harper Lee. Selesai menulis dan membaca tulisan itu, saya berpikir “kenapa resensi saya tidak sebagus yang lain ya?, mungkin perlu banyak latihan!!!”. Dan mulailah saya dengan sangat bersemangat terus membaca dan menulis. Blog ini berkembang dari satu tulisan, menjadi dua, dan terus berkembang. Pemikiran “kenapa resensi saya tidak sebagus yang lain?, tidak lagi terlintas karena setiap orang punya ciri khas masing-masing, ketika saya mengikuti mereka, maka saya bukan lagi saya, keragaman itu tidak akan ada lagi, dan ketika keragaman itu mati, yang tersisa hanyalah kebosanan

Saling sharing tulisan tentang sebuah buku dan kegemaran serta kecintaan yang sama pada membaca dan menulis, membuat saya bergabung blog buku Indonesia. Resensi serempak perdana kami dimulai tanggal 31 mei 2011 dengan bacaan Wuthering Heights, karya penulis dan penyair asal inggris, Emily Jane Brontë. Memiliki blog buku seperti memiliki sebuah rumah dimana saya bisa menyalurkan kecintaan saya terhadap membaca dan menulis. Setiap tamu yang datang membuat saya gembira karena mereka datang dengan kemauan mereka sendiri, tanpa perlu saya paksa untuk mendengarkan cerita saya. Mereka datang karena mereka menghargai kegemaran saya, karena mereka juga punya kegemaran yang sama. Tujuan saya membuat blog buku adalah menyalurkan minat membaca dan menulis, dan sebagai bonusnya saya mendapatkan komunitas baru, dimana berada didalamnya saya merasa bangga, serta banyak teman-teman baru yang walaupun belum pernah bertemu, namun sudah seperti keluarga kecil ditengah lautan dunia maya. Suatu saat, saya berharap bisa bertemu dengan mereka semua dalam keluarga blog buku Indonesia.

Wednesday, October 19, 2011

Review : Hunger Games





Buku ini adalah pertemuan pertama saya dengan Suzanne Collins. Kurang lebih satu  setengah hari saya melahap buku ini, dan ketika sampai di halaman terakhir, saya langsung menuju gramedia untuk mencari kelanjutannya. Suzanne Collins membawa angin segar dalam deretan fantasi yang lagi bermunculan. Lantas apa daya tarik itu?

Dua puluh empat peserta. Hanya satu pemenang yang selamat

Katniss Everdeen tiba-tiba menjadi kepala keluarga ketika ayahnya meninggal dalam pekerjaannya sebagai penambang batu bara. Katniss hidup bersama ibu dan adik perempuanya, Prim, di Distrik 12.  Distrik 12 adalah bagian dari Negara Panem dibawah kekuasaan Capitol. Setiap distrik memiliki pekerjaan utama yang biasanya dilakukan oleh penduduknya. Katniss tidak begitu paham akan hal ini. Ia hanya berkonsentrasi pada kelanjutan hidup keluarganya. Distrik 12 dikelilingi oleh pagar yang seharusnya dialiri listrik, yang membatasi distrik itu dengan hutan belantara. Namun, menyebrangi pagar itu sudah menjadi kebiasaan Katniss ketika dia ingin pergi berburu, walaupun ia tahu, ketika dirinya tertangkap oleh penjaga perdamaian (seperti satpam yang ditempatkan oleh Capitol disetiap distrik) maka keluarganya akan mati kelaparan.

Setiap tahun, Capitol menyelanggarakan sebuah acara yang disebut Hunger Games. Peserta Hunger Games berasal dari perwakilan masing-masing distrik. Setiap distrik diwakilkan oleh sepasang remaja, mereka maju kedalam permainan yang telah diatur oleh Capitol. Pilihannya adalah membunuh atau dibunuh. Ketika nama Prim dibacakan sebagai perwakilan distrik 12, Katniss berlari keatas panggung dan mengajukan dirinya menggantikan adik kesayangannya. Katniss Everdeen dan Peeta Mellark adalah dua orang yang terpilih mewakili distrik 12 dalam Hunger Games ke-74. Entah bagaimana arena yang disiapkan oleh Capitol, namun Katniss tidak bisa mundur lagi, Ia harus maju, dan jika ingin pulang menemui keluarganya, ia harus membunuh 23 orang lainnya. Akankah dia sanggup? Bagaimana ia bisa membunuh Peeta, ketika didepan semua orang lelaki itu menyatakan cinta terpendamnya terhadap Katniss sejak mereka kanak-kanak?

Membaca buku ini, membuat saya tidak sabar untuk membalik setiap halamannya. Saya suka dengan karakter Katniss dan Peeta, walaupun penulis juga menggambarkan beberapa karakter lainnya tidak kalah menariknya. Satu hal yang terpikirkan ketika selesai membaca buku ini adalah kapan saya akan menikmatinya lewat layar lebar. Seperti cerita fantasy pada umumnya, lompatan cerita ini berjalan dengan sangat cepat. Yang sangat menarik dari buku ini adalah kemampuan Collins merangkai strategi bertahan hidup di arena Hunger Games, bagaimana komunikasi berjalan antara peserta dan mentornya yang mengawasinya dari tempat lain. Perlu diketahui, bahwa Hunger Games ini adalah pertarungan 24 peserta yang ditonton oleh setiap penduduk distrik lewat siaran tv, Capitol membuatnya demikian untuk memperingatkan setiap penduduk distrik agar menjauhi pemberontakan. Ada beberapa typo yang menggangu dalam buku ini. Terkadang ada bagian percakapan yang sepertinya diucapkan oleh orang lain, namun disebutkan terucap dari orang lainnya, sehingga membuat saya harus membaca ulang beberapa bagian dan berusaha memahami konteks yang sebenarnya. Namun, itu bukan masalah yang membuat saya berhenti membaca, justru sebaliknya, saya berusaha memahami tujuan penyampaian penulis sehingga tidak melewatkan rahasia-rahasia yang terpendam didalamnya.

Menurut Collins, ide cerita ini muncul ketika ia sedang menonton acara dimana orang-orang berlomba dalam sebuah reality show, sementara di saluran lainnya, ia melihat rekaman dari perang irak. Percampuran keduanya serta lewat sang ayah yang pernah terlibat dalam perang di Vietnam, membantu Collins memahami rasanya kehilangan orang-orang yang dicintai dan memberinya ide cerita ini. Collins bahkan terinspirasi dari mitos Yunani tentang Theseus. Semuanya dirangkai menjadi kisah menegangkan yang membuat saya juga tidak sabar menanti kehadiran hasil adopsinya ke layar lebar yang rencananya akan dirilis pada bulan maret 2012.

Beberapa penghargaan yang diraih oleh Hunger Games antara lain, Best Book of the Year (2008), Notable Children’s book of 2008, Winner of Golden Duck Award in Young Adult Fiction Category (2009).


-------------------------------------------------
Judul     : Hunger Games
Penulis   : Suzanne Collins
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit    : Jakarta, Oktober 2009
Tebal     : 408 hal
ISBN       : 978-979-22-5075-6
-------------------------------------------------

Review : The Boy in the Striped Pyjamas




"He thought that all the boys and girls who lived there would be in different groups, playing tennis or football, skipping and drawing out squares for hopscotch on the ground... As it turned out, all the things he thought might be there - weren't."

Buku biru bersampul garis-garis ini menyuguhkan cerita sederhana dibawah situasi mencekam sekitar tahun 1940-1945 ketika kelompok yahudi dibantai dengan kejam oleh seseorang yang dikenal dengan sebutan “The Fury” (Istilah The Leader dalam bahasa Jerman). Peristiwa yang merampas jutaan nyawa ini tidak mudah dilupakan. Warga yahudi yang tersebar luas di dataran eropa teraniaya tanpa ampun, bahkan anak-anak dan wanita pun tidak ada artinya untuk pemimpin negeri Hitler itu. Begitu banyak kisah, kesaksian, ungkapan hati yang tercurah lewat berbagai karya yang menggambarkan betapa mengerikannya masa itu. Sebut saja Anne Frank, seorang gadis yahudi yang bersembunyi bersama keluarganya dan terus mengungkapkan isi hatinya lewat sebuah diary yang kemudian dipublikasikan dan bahkan menjadi bacaan wajib untuk sekolah-sekolah di Amerika. 

Lewat karya seorang penulis asal Irlandia, John Boyne, hadirlah sebuah kisah lain tentang dampak holocaust yang tidak hanya berimbas buruk bagi kaum yahudi, namun juga untuk masyarakat jerman saat itu. Ini adalah kisah tentang seorang anak sembilan tahun bernama Bruno yang hidup bersama keluarganya di Berlin pada masa perang dunia II. Ayah Bruno adalah salah satu orang kepercayaan pemimpin Negara itu. Suatu hari sang ayah  tiba-tiba dipindahkan ke sebuah tempat terpencil, dekat camp “Out-With” (Auschwitz). Dengan berat hati, Bruno mengikuti keinginan orang tuanya untuk pindah. Ditengah kesepiannya ditempat baru, jauh dari sahabat-sahabatnya, Bruno sering memperhatikan anak-anak berpiama garis-garis yang terlihat di kejauhan. Lahan tempat anak-anak itu berada tidak cukup jauh dari rumah barunya, namun dipisahkan oleh semacam kawat duri yang menjulang tinggi. Tempat itu terlihat sangat kering, dan setiap manusia dibalik kawat duri itu, orang dewasa maupun anak-anak terlihat nestapa, tanpa senyuman, sangat ketakutan dan bahkan ada yang meneteskan air mata.

Demi mengendalikan rasa bosan di rumah barunya, suatu hari, Bruno memutuskan untuk menjelajahi daerah baru itu. Bruno terus berjalan menyusuri tempat-tempat yang semakin tidak dikenalnya namun terus menarik rasa ingin tahunya. Sampailah  ia di balik jeruji dan menemukan seorang anak seusianya sedang duduk sendirian. Anak itu menggunakan piama garis-garis. Bermula dari sapaan biasa, menjadi perbincangan, dan akhirnya persahabatan. Setiap hari mereka berjanji saling bertemu walau hanya sebatas mengobrol. Dan tak terasa pun waktu berlalu dengan sangat cepat. 

Lantas apa konflik di dalam novel ini? Jika anda membaca sinopsi dibelakangan buku terbitan Gramedia ini, anda tidak akan menemukan satu petunjuk pun tentang kisah ini. Mengapa demikian? Saya setuju dengan tulisan di belakangan cover buku ini, jika saya bercerita lebih jauh lagi, maka saya akan merusak keseluruhan isi cerita ini.

Buku ini memang sederhana, tidak banyak hal yang bisa ditemukan dalam alur ceritanya. Namun buku ini dapat bermanfaat untuk para guru sebagai bahan diskusi sejarah. Dengan membaca buku ini, banyak pertanyaan yang mungkin muncul terkait dengan perang dunia II dan holocaust. Seandainya guru-guru di Indonesia (tepatnya guru-guru saya dulu) ikut menerapkan cara seperti itu dalam mengajarkan sejarah, pasti dulu saya akan sangat menyukai sejarah. Beberapa kritik bermunculan tentang ketidaktepatan historis dan kesederhanaan buku ini, namun sejujurnya buku ini mampu mengajarkan manusia tentang hal-hal seperti kekejaman, apatis, prasangka, diskriminasi, kekuasaan, kekejaman bahkan kesetiaan.

Dalam wawancaranya dengan David Fickling, editor dan penerbit buku ini, John Boyne menjelaskan bahwa buku ini menggambarkan “naïf dan kepuasan”, dua hal yang menurutnya adalah dua alasan utama holocaust terjadi. Buku ini pun telah diadopsi ke layar lebar dan disutradarai oleh Mark Herman pada tahun 2008.

I couldn't put it down. Through the eyes of a child it was innocent and oh, so chilling. I was hooked to the last page.
Dalla Galton
Woman's Weekly

A book that lingers in the mind for quite some time…A subtle, calculatedly simple and ultimately moving story
Irish Times

------------------------------------------------------
Judul     : The Boy in the Striped Pyjamas
Penulis   : John Boyne
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit    : Jakarta, Juli 2007
Tebal     : 240 hal
ISBN-10  : 979-22-2982-5
ISBN-13  : 978-979-22-2982-0
-------------------------------------------------------