"He
thought that all the boys and girls who lived there would be in different
groups, playing tennis or football, skipping and drawing out squares for
hopscotch on the ground... As it turned out, all the things he thought might be
there - weren't."
Buku biru bersampul garis-garis
ini menyuguhkan cerita sederhana dibawah situasi mencekam sekitar tahun
1940-1945 ketika kelompok yahudi dibantai dengan kejam oleh seseorang yang
dikenal dengan sebutan “The Fury” (Istilah The
Leader dalam bahasa Jerman). Peristiwa yang merampas jutaan nyawa ini tidak
mudah dilupakan. Warga yahudi yang tersebar luas di dataran eropa teraniaya
tanpa ampun, bahkan anak-anak dan wanita pun tidak ada artinya untuk pemimpin
negeri Hitler itu. Begitu banyak kisah, kesaksian, ungkapan hati yang tercurah
lewat berbagai karya yang menggambarkan betapa mengerikannya masa itu. Sebut
saja Anne Frank, seorang gadis yahudi yang bersembunyi bersama keluarganya dan
terus mengungkapkan isi hatinya lewat sebuah diary yang kemudian dipublikasikan
dan bahkan menjadi bacaan wajib untuk sekolah-sekolah di Amerika.
Lewat karya seorang penulis asal
Irlandia, John Boyne, hadirlah sebuah kisah lain tentang dampak holocaust yang
tidak hanya berimbas buruk bagi kaum yahudi, namun juga untuk masyarakat jerman
saat itu. Ini adalah kisah tentang seorang anak sembilan tahun bernama Bruno
yang hidup bersama keluarganya di Berlin pada masa perang dunia II. Ayah Bruno
adalah salah satu orang kepercayaan pemimpin Negara itu. Suatu hari sang ayah tiba-tiba dipindahkan ke sebuah tempat terpencil,
dekat camp “Out-With” (Auschwitz). Dengan berat hati, Bruno mengikuti keinginan
orang tuanya untuk pindah. Ditengah kesepiannya ditempat baru, jauh dari
sahabat-sahabatnya, Bruno sering memperhatikan anak-anak berpiama garis-garis
yang terlihat di kejauhan. Lahan tempat anak-anak itu berada tidak cukup jauh
dari rumah barunya, namun dipisahkan oleh semacam kawat duri yang menjulang
tinggi. Tempat itu terlihat sangat kering, dan setiap manusia dibalik kawat
duri itu, orang dewasa maupun anak-anak terlihat nestapa, tanpa senyuman,
sangat ketakutan dan bahkan ada yang meneteskan air mata.
Demi mengendalikan
rasa bosan di rumah barunya, suatu hari, Bruno memutuskan untuk menjelajahi daerah
baru itu. Bruno terus berjalan menyusuri tempat-tempat yang semakin tidak
dikenalnya namun terus menarik rasa ingin tahunya. Sampailah ia di balik jeruji dan menemukan seorang anak
seusianya sedang duduk sendirian. Anak itu menggunakan piama garis-garis.
Bermula dari sapaan biasa, menjadi perbincangan, dan akhirnya persahabatan.
Setiap hari mereka berjanji saling bertemu walau hanya sebatas mengobrol. Dan
tak terasa pun waktu berlalu dengan sangat cepat.
Lantas apa konflik di dalam novel
ini? Jika anda membaca sinopsi dibelakangan buku terbitan Gramedia ini, anda
tidak akan menemukan satu petunjuk pun tentang kisah ini. Mengapa demikian?
Saya setuju dengan tulisan di belakangan cover buku ini, jika saya bercerita
lebih jauh lagi, maka saya akan merusak keseluruhan isi cerita ini.
Buku ini memang sederhana, tidak
banyak hal yang bisa ditemukan dalam alur ceritanya. Namun buku ini dapat
bermanfaat untuk para guru sebagai bahan diskusi sejarah. Dengan membaca buku
ini, banyak pertanyaan yang mungkin muncul terkait dengan perang dunia II dan
holocaust. Seandainya guru-guru di Indonesia (tepatnya guru-guru saya dulu)
ikut menerapkan cara seperti itu dalam mengajarkan sejarah, pasti dulu saya
akan sangat menyukai sejarah. Beberapa kritik bermunculan tentang
ketidaktepatan historis dan kesederhanaan buku ini, namun sejujurnya buku ini
mampu mengajarkan manusia tentang hal-hal seperti kekejaman, apatis, prasangka,
diskriminasi, kekuasaan, kekejaman bahkan kesetiaan.
Dalam wawancaranya dengan David Fickling, editor dan penerbit buku ini, John Boyne menjelaskan bahwa buku ini
menggambarkan “naïf dan kepuasan”, dua hal yang menurutnya adalah dua alasan
utama holocaust terjadi. Buku ini pun telah diadopsi ke layar lebar dan
disutradarai oleh Mark Herman pada tahun 2008.
I couldn't put it
down. Through the eyes of a child it was innocent and oh, so chilling. I was
hooked to the last page.
Dalla Galton Woman's Weekly
Dalla Galton Woman's Weekly
A book that lingers
in the mind for quite some time…A subtle, calculatedly simple and ultimately
moving story
Irish Times
Irish Times
------------------------------------------------------
Judul :
The Boy in the Striped Pyjamas
Penulis :
John Boyne
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Terbit :
Jakarta, Juli 2007
Tebal :
240 hal
ISBN-10 :
979-22-2982-5
ISBN-13 :
978-979-22-2982-0
-------------------------------------------------------
aku sukaaaa banget buku ini Es, sangat unforgettable. Bahkan smpe sekarang masih ngga percaya sama endingnya.. >,<
ReplyDeleteMsh ada tdkbukunya yg berbahasa indonesia? Boleh saya beli?
ReplyDeleteHi Anni, buku ini salah satu koleksiku yang gak bakal dijual. Tp sebagai referensi nih bisa beli di tokopedia https://www.tokopedia.com/hobibuku/the-boy-in-the-striped-pyjamas-anak-lelaki-berpiama-garis-garis
DeleteUdah sold mba di tokopedia dan yg lainnya jg udh pd sold out...sy sdh coba cari kmn2 tp kebanyakan bahasa inggris
Delete