Title: The Remains of the Day (Puing-Puing Kehidupan)
Author: Kazuo Ishiguro
Publisher: Hikmah
Published: January 2007
Pages: 336p
ISBN: 979-114-023-5
Ada orang-orang
yang mengejar kekayaan dalam hidup, ada yang mencari ketenangan dan mungkin hanya
sedikit orang yang mengusahakan pelayanan sempurna kepada majikan tanpa maksud
menumpuk harta. Melihat buku ini dari tampilan luar sedikit membuatku
menebak-nebak, apa gerangan yang ingin disampaikan Ishiguro dalam tulisannya.
Aku mencari sedikit petunjuk dari sinopsis di belakang cover dan mendapati
bahwa buku ini bercerita tentang seorang kepala pelayan bernama Stevens yang
bekerja di Darlington Hall dengan penuh dedikasi, sukses dan disebut
bermartabat serta luar biasa, namun kehilangan beberapa hal yang dikorbankannya
termasuk seorang wanita bernama Miss Kenton. Apakah buku ini lantas menjadi
kisah “mengejar kembali cinta yang hilang”? Sejujurnya aku sempat berpikir
seperti itu, namun apa yang kudapati ternyata sama sekali berbeda.
Stevens baru
saja berganti majikan, dari Lord Darlington menjadi seorang Amerika bernama Mr.
Farraday. Pada satu kesempatan, majikannya yang baru memberikan waktu pada
Stevens untuk berlibur dan berkeliling Inggris menggunakan Ford milik Mr.
Farraday. Liburan adalah salah satu hal yang tidak pernah menjadi prioritas
dalam hidup Stevens yang telah 35 tahun membaktikan dirinya pada Lord
Darlington, namun karena sepucuk surat yang berasal dari Miss Kenton tiba beberapa
hari kemudian, Stevens pun berubah pikiran dan menyambar kesempatan ini untuk
berlibur sekaligus mengunjungi Miss Kenton serta menawarkannya kembali bekerja di
Darlington Hall karena berdasarkan surat Miss Kenton, rupanya ia telah berpisah
dari suaminya. Perjalanan pun dimulai. Seiring dengan mulainya perjalanan
Stevens, mulailah juga setiap kenangan yang diuraikannya dalam buku ini.
Kenangan yang dibangkitkan oleh Stevens dan disampaikan kepada pembaca adalah
kehidupan sehari-harinya selama bekerja di Darlington Hall puluhan tahun
sebelumnya. Masa dimana Lord Darlington menjadi tuan rumah dan menyambut
orang-orang terpenting dunia, bersama mereka menentukan arah Inggris melalui
berbagai diskusi dan debat seputar perang dunia dua. Dalam kesempatan ini
Stevens selalu hadir menjadi kepala pelayan. Sehubungan dengan menjadi kepala
pelayan, Stevens mengevaluasi pertanyaannya tentang “Seperti apa kepala
pelayan yang hebat”? yang lalu menghubungkannya dengan kata “martabat”. Dalam konteks Steven, martabat ia artikan sebagai “tidak
meninggalkan sosok profesionalnya demi sosok pribadinya dengan provokasi apapun”,
dengan kata lain ia mengutamakan pengendalian diri sempurna dalam keadaan
apapun, pekerjaan selalu menjadi yang terutama. Hal ini membangkitkan satu
bagian tentang ayahnya yang terbaring sekarat di Darlington Hall disaat Stevens
sedang sibuk menjamu tamu konfederasi yang sedang berlangsung. Bahkan disaat
ayahnya dinyatakan meninggal di lantai atas rumah itu, Stevens tidak
meninggalkan tugasnya sebagai kepala pelayan, menekan emosinya, tetap ramah
pada setiap tamu yang sedang ia layani. Meskipun aku merasa pengendalian diri
Stevens sangat hebat, entah mengapa disaat yang sama aku mempertanyakan hati
nuraninya.
Ada orang-orang
yang sangat menggunakan logika dan ada yang sangat mengandalkan perasaan. Saat
logika menang, pasti ada bagian perasaan yang dikorbankan, begitu pun
sebaliknya. Inilah yang tergambar jelas dalam memori Stevens tentang ayahnya dan
juga Miss Kenton. Tidak hanya berhenti disitu, Stevens pun memanggil kembali memori
lain untuk direnungkannya yang sekaligus juga menjadi perenungan bagi pembaca
buku ini. Stevens tidak hanya menggambarkan situasi tempatnya bekerja, tetapi
juga penilaiannya tentang setiap orang yang ditemuinya. Ia sangat menyanjung
kebijaksanaan Lord Darlington dan ia mempercayai apa yang dipercayai oleh
majikannya, namun pada akhirnya ia pun mengevaluasi betapa seseorang yang bijak
pun bisa mengambil langkah yang salah. Sangat menarik membaca gambaran yang
diberikan oleh Stevens mengenai perbedaan orang Inggris dan orang-orang Eropa
lainnya. Kehormatan selalu menjadi label yang menempel pada orang Inggris,
seburuk apapun keadaan, mereka tidak boleh meninggalkan kehormatan yang
diidentikan oleh Steven dengan emosi dan penindasan berlebihan terhadap lawan
dan ciri khas lainnya yang selalu berhubungan langsung dengan kehilangan
pengendalian diri. Tidak mungkin aku bisa menjelaskan semuanya satu demi satu,
karena begitu banyak hal sederhana yang diulas dengan detail dan penuh
kesabaran oleh Ishiguro sehingga di bagian awal, aku merasa buku ini sangat
lambat dan memancing rasa ngantuk. Namun tak lama, aku pun terbiasa dengan cara
penuturan Ishiguro yang akhirnya kusukai dan tanpa sadar aku telah tiba di
halaman terakhir. Saat membaca buku ini, Ishiguro berhasil membuatku memikirkan
kembali pemahamanku tentang sesuatu, karena ternyata hal itu sangat
mempengaruhi apa yang bisa kulihat dan tidak.
Sampai lembar
terakhir buku ini, aku tidak menemukan tema “mengejar kembali cinta yang hilang”
yang sempat terpikirkan dibagian awal. Dan rasanya sinopsis buku ini agak
menyesatkan untukku, Stevens dan Miss Kenton seperti menjadi topik utama dalam
buku ini dan tema yang terpikirkan diawal tampaknya cocok dengan sinopsis yang
digambarkan. Namun dihalaman terakhir, aku pun menyadari, tidak mudah
memberikan sinopsis untuk buku seperti ini. Bagaimana merangkum sebuah buku
yang berisi perenungan tentang masa lalu. Karena itu tidak pas rasanya
menyalahkan Hikmah akan sinopsis yang menyesatkanku itu, ataukah justru asumsi
sekali lagi telah menyesatkanku. Pada akhirnya, aku pun sangat senang telah
memberikan kesempatan pada buku ini, karena sejujurnya aku sempat membaca buku
ini berkali-kali dan selalu berhenti di sepuluh halaman pertama karena tempo
yang sangat lambat.
Mengenai kisah
cinta, tentu saja ada bagian dimana Stevens merenungkan masa lalunya bersama
Miss Kenton dan menyadari beberapa hal yang telah dilewatkannya. Namun hal ini
kurasa tidak menjadi hal utama dalam buku ini. Terjemahan Hikmah mudah
dimengerti, meskipun ada beberapa kata yang tidak kupahami seperti mengapa di
sebuah rumah ada yang disebut jongos dan pelayan, ada wakil kepala jongos dan
ada kepala pelayan, apakah seharusnya itu sama ataukah memang berbeda. Tiga
bintang untuk buku ini.
Tulisan ini
dibuat sebagai review posting bersama Blogger Buku Indonesia di bulan Oktober
dengan tema “buku pemenang atau finalis
Man Booker Prize”. The Remains of the Day adalah novel ketiga dari Ishiguro
dan merupakan pemenang Man Booker Prize pada tahun 1989. Buku ini pun sudah
pernah ditayangkan dalam layar lebar yang diperankan oleh Anthony Hopkins dan
Emma Thompson.
Baca drama kayak gini memang harus lagi seger ya kalo temponya lambat.. Aku pernah coba baca juga dan belum selesei2 tuh.. Hehe..
ReplyDeleteIya harus lagi seger dan bener-bener NIAT mba hahaha kalo gak mental ke tumpukan lagi buku begini :D
DeleteWaahh..aku pernah baca yang never let me go dan menurutku lambaaaat banget si, meski sebenarnya kisahnya menarik. kayaknya emang gitu gaya nulisnya si kazuo ini ya...
ReplyDeleteIni buku pertamanya Ishiguro yang aku baca sih mba, kayaknya aku harus baca never let me go deh karna kok kayaknya buku itu yg lebih ngetop daripda yang ini yaa..penasaran juga mumpung udh terbiasa dengan cara tuturnya Ishiguro nih
DeleteAku juga macet baca Never Let Me Go saking lambatnya ... *ini malah nggak bahas resensinya, duh maaf*
ReplyDeleteEmang butuh kondisi seger baca buku yg tempo beginian
Deletewah lengkap nih rreviewnya essy :)
ReplyDeleteAku baca Never Let Me Go macet separuh jalan, Remains ini lumayan (menyesatkan) karena ekspetasiku ternyata meleset jauh ... Rasanya paling lumayan When We Were Orphans, mungkin karena masuk misteri jadi lebih seru.
ReplyDeleteekspektasi meleset gimana mba mar? gak suka ya sama buku ini? aku lumayan suka loh :)
DeleteCovernya rame yah ._. , aku masih pingin baca Never Let Me Go dulu aja kayaknya
ReplyDeleteItu cover yang digambarku kayaknya warna terlalu mencolok vina, tapi sebenarnya sih lebih soft :)
DeleteAgen Judi Terpercaya
ReplyDeletePanduan Judi Slot Online
LK21