Author: Emily ST. John Mandel
Publisher: Vintage
Published: June 2nd 2015
Page: 333p
ISBN: 0804172447
Bought from Bali Books
First we only want to be seen, but once we’re seen, that’s not enough anymore. After that, we want to be remembered.
Coba lihat
sekeliling, lihat orang-orang yang berjalan sambil terpaku pada telepon genggam
mereka, lihat warna lampu jalan yang menerangi gelapnya malam, lihat secangkir
kopi yang membangkitkan gairah dipagi hari dan sedikit mengusir rasa kantuk
dikala siang, lihat kota-kota yang memuntahkan cahaya disaat adzan maghrib
mulai berkumandang. Lihat semuanya itu dan bayangkan suatu saat, semua itu
tidak ada lagi, hening melayang-layang diudara, lalu tinggalah manusia dan alam
ini. Mungkin itu bisa menggambarkan sedikit rasa buku ini, buku yang
lambat-lambat saya baca, sedikit suram tapi tetap menjaga tempo pembaca stabil
dan terus maju karena penasaran dengan nasib setiap tokoh diakhir cerita.
Arthur
Leander, dalam pementasan King Lear
di Toronto, tiba-tiba jatuh dan meninggal diatas panggung. Seorang penonton
dari deretan paling depan bernama Jeevan Chaudhary berlari ke panggung menawarkan
pertolongan. Lalu saat itu penulis me-reset
waktu dan peradaban, seakan-akan kematian Arthur menjadi akhir dan awal sebuah
masa, karena malam itu juga Georgia Flu
melanda Toronto dan dunia, melenyapkan peradaban, membuat mereka yang survive tidak lagi mengenal listrik, iphone menjadi pajangan di museum dan
koran-koran menjadi sebuah kemewahan. Penulis menggambarkan dunia dari dua
perspektif, sebelum dan setelah Georgia
Flu, dengan perbedaan waktu 20 tahun, dimana orang-orang yang terhubung
dengan Arthur Leander menjalani hidup mereka dan pada suatu titik saling
terkait satu sama lain tanpa tahu peran mereka masing-masing.
Sebut saja
Kirsten Raymonde, Clark Thompson, Miranda, The Prophet dan The Traveling
Symphony yang diceritakan oleh penulis secara bergantian, dengan timeline yang maju mundur, bagaimana
mereka bertahan hidup setelah Georgia Flu
dan apa kaitan mereka dengan Arthur Leander sebelum wabah flu menyerang. Bercerita dengan gaya maju mundur dan
mengkombinasikan perspektif yang berbeda dari setiap tokoh menjadi daya tarik
novel ini, penulis mengajak pembaca menyaksikan perbedaan masa yang berjarak 20
tahun. Tetapi buku ini bukan hanya tentang Georgia
Flu, tetapi lebih cenderung memotret efek dari teror Georgia Flu untuk semua kehidupan manusia, terutama mereka yang survive dan kehilangan semua hal terbaik
yang pernah mereka miliki didunia yang lama, bagaimana pikiran seseorang perlu
dijaga supaya tetap waras, susahnya memelihara harapan bahwa kelangsungan hidup
bisa diperjuangkan selama mereka berusaha dan bagaimana memori adalah hal yang
sangat mudah berubah menjadi ilusi.
Judul Station
Eleven sendiri diambil dari judul komik yang muncul sepanjang novel ini yang
diciptakan oleh salah satu karakter disekeliling hidup Arthur Leander. Empat
bintang untuk Station Eleven. Banyak hal sederhana yang kita take it for granted mungkin menjadi hal
yang sangat kita rindukan disuatu masa yang berbeda, Station Eleven
mendeskripsikan konsep itu dengan sangat baik.
Award untuk
Station Eleven
Arthur C. Clarke Award for Best Novel (2015), PEN/Faulkner Award
for Fiction Nominee (2015), Sunburst Award Nominee for Adult (2015), John
W. Campbell Memorial Award Nominee for Best Novel (2015), British Fantasy
Award Nominee for August Derleth Award (best horror novel) (2015), The Rooster
- The Morning News Tournament of Books (2015), Toronto Book Award Nominee
(2015), Women's Prize for Fiction Nominee for Longlist (2015), National
Book Award Finalist for Fiction (2014), Goodreads Choice Award Nominee for
Fiction (2014)
suka baca reviewnya kak
ReplyDeleteresep makanan vegetarian praktis