Kisah di dalam buku ini mengingatkan saya pada tahun-tahun masa kecil di kampung halaman. Saya bisa memahami setiap rasa syukur Tokunaga ketika menjumpai camilan gratis dari setiap pohon yang berbuah atau mainan yang tersedia di alam. Saya juga bisa memahami kesedihan dan dilema yang muncul ketika harus meninggalkan kampung halaman untuk menggapai sesuatu yang lebih baik. Buku ini memang mendatangkan kebahagiaan. Mari kita lihat bersama sedikit kisah dari saga.
Pada usia yang sangat muda, kelas dua sekolah dasar, hidup Akihiro Tokunaga perlahan-lahan berubah. Saat ayahnya meninggal akibat pengaruh bom Hiroshima, Tokunaga tinggal bersama ibunya. Kehidupan Hiroshima di masa-masa pemulihan itu membuat sang ibu mendorong Tokunaga menjauh dari kota itu. Ibunya menginginkan Tokunaga mendapatkan pendidikan yang lebih baik, pendidikan yang tidak hanya berasal dari sebuah lembaga (sekolah) tetapi juga dari lingkungan yang sehat. Dengan air mata mengalir, Tokunaga meninggalkan Hiroshima dan menuju Saga tempat dimana dia bertemu dan tinggal bersama Nenek Osano. Saga adalah sebuah kota kecil yang indah. Hari baru saja beranjak malam, namun suasana kota sudah mulai sepi dan gelap. Bersama bibinya, Tokunaga berjalan memasuki Saga dengan keheranan terhadap tempat yang baru saja dimasukinya. Kecemasannya semakin bertambah ketika ia sampai di depan rumah sang Nenek yang secara tidak langsung memberitahunya bahwa ia akan mengecap kehidupan yang lebih susah di Saga. Rumah Nenek Osano sangat amat sederhana, nyaris seperti sebuah gubuk reyot yang beratap jerami. Begitulah akhirnya Tokunaga kecil sampai di Saga dan tinggal bersama Nenek Osano.
Bagaimana kehidupan sang Nenek Osano?
Setiap jam empat pagi Nenek Osano sudah mulai bekerja dan baru pulang jam 11 siang. Ketika sang Nenek pulang, semua orang bisa mendengarkan bunyi klang klang klang klang yang mengiringinya. Nenek Osano mengikat seutas tali ke pinggangnya, di ujung tali ada sebuah magnet yang menjuntai ke tanah dan berbunyi setiap kali ia berjalan. Magnet tersebut akan menarik sampah logam yang kemudian bisa dijual kembali. Ia tidak menyia-nyiakan apa saja yang mungkin bisa dibawanya pulang. Bahkan di sebuah sungai di dekat rumah, ia membuat sebuah gala yang dapat menahan apa saja yang dibawa arus sungai, mulai dari ranting-ranting yang bisa dikeringkan dan jadi bahan bakar, lobak ataupun timun, buah-buahan yang separuh rusak, sampai sandal geta yang kemudian bisa digunakan oleh Tokunaga. Membayangkan segala persediaan yang mengalir di sungai dan ditahan oleh gala sang Nenek, tolonglah jangan membayangkan sungai seperti yang ada di Indonesia (khususnya jakarta) Ok!. Nenek menyebut sungai sebagai “supermarket”, karena bisa menyediakan setiap kebutuhan mereka. Di hari ketika mereka tidak menemukan apapun di gala itu, sang Nenek akan berkata “hari ini supermarket libur”. Begitulah ia selalu bersyukur dengan apa yang ada dan selalu ceria penuh tawa menghadapi hidup.
Pada usia yang sangat muda, kelas dua sekolah dasar, hidup Akihiro Tokunaga perlahan-lahan berubah. Saat ayahnya meninggal akibat pengaruh bom Hiroshima, Tokunaga tinggal bersama ibunya. Kehidupan Hiroshima di masa-masa pemulihan itu membuat sang ibu mendorong Tokunaga menjauh dari kota itu. Ibunya menginginkan Tokunaga mendapatkan pendidikan yang lebih baik, pendidikan yang tidak hanya berasal dari sebuah lembaga (sekolah) tetapi juga dari lingkungan yang sehat. Dengan air mata mengalir, Tokunaga meninggalkan Hiroshima dan menuju Saga tempat dimana dia bertemu dan tinggal bersama Nenek Osano. Saga adalah sebuah kota kecil yang indah. Hari baru saja beranjak malam, namun suasana kota sudah mulai sepi dan gelap. Bersama bibinya, Tokunaga berjalan memasuki Saga dengan keheranan terhadap tempat yang baru saja dimasukinya. Kecemasannya semakin bertambah ketika ia sampai di depan rumah sang Nenek yang secara tidak langsung memberitahunya bahwa ia akan mengecap kehidupan yang lebih susah di Saga. Rumah Nenek Osano sangat amat sederhana, nyaris seperti sebuah gubuk reyot yang beratap jerami. Begitulah akhirnya Tokunaga kecil sampai di Saga dan tinggal bersama Nenek Osano.
Bagaimana kehidupan sang Nenek Osano?
Setiap jam empat pagi Nenek Osano sudah mulai bekerja dan baru pulang jam 11 siang. Ketika sang Nenek pulang, semua orang bisa mendengarkan bunyi klang klang klang klang yang mengiringinya. Nenek Osano mengikat seutas tali ke pinggangnya, di ujung tali ada sebuah magnet yang menjuntai ke tanah dan berbunyi setiap kali ia berjalan. Magnet tersebut akan menarik sampah logam yang kemudian bisa dijual kembali. Ia tidak menyia-nyiakan apa saja yang mungkin bisa dibawanya pulang. Bahkan di sebuah sungai di dekat rumah, ia membuat sebuah gala yang dapat menahan apa saja yang dibawa arus sungai, mulai dari ranting-ranting yang bisa dikeringkan dan jadi bahan bakar, lobak ataupun timun, buah-buahan yang separuh rusak, sampai sandal geta yang kemudian bisa digunakan oleh Tokunaga. Membayangkan segala persediaan yang mengalir di sungai dan ditahan oleh gala sang Nenek, tolonglah jangan membayangkan sungai seperti yang ada di Indonesia (khususnya jakarta) Ok!. Nenek menyebut sungai sebagai “supermarket”, karena bisa menyediakan setiap kebutuhan mereka. Di hari ketika mereka tidak menemukan apapun di gala itu, sang Nenek akan berkata “hari ini supermarket libur”. Begitulah ia selalu bersyukur dengan apa yang ada dan selalu ceria penuh tawa menghadapi hidup.
“Kebahagiaan itu bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh uang. Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh diri kita sendiri, oleh hati kita.”
Nenek Osano |
Membaca kisah Tokunaga, seperti belajar kembali memahami arti sebuah kebahagiaan. Nenek Osano mengingatkan saya pada sebuah rumus kebahagiaan yang pernah disampaikan oleh Mitch Albom dalam buku Have a little faith. Di buku itu, hanya ada dua rahasia kebahagiaan : merasa cukup dan bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan. Kedua hal itu juga mengiringi kehidupan Nenek Osano di Saga. Bagi Tokunaga, Nenek Osano adalah seorang yang hebat, keras kepala, dan punya ribuan ide cemerlang yang terkadang membuatnya tertawa. Nenek Osano hidup miskin, namun ia memilih miskin yang ceria. Ia tidak mau meminta-minta. Terkadang terkesan pelit, namun lebih tepatnya hemat. Di saat orang lain datang meminta bantuannya, ia tidak akan lama berpikir untuk mengeluarkan uang 5000 yen dari tempat penyimpanan hartanya. Nenek Osano memberi dari kekurangannya. Tokunaga belajar hal itu dari Neneknya dan saya pun belajar hal itu dari sang Nenek.
Saya membayangkan Nenek Osano sebagai seorang yang kocak dengan ide-ide lucu yang membuat saya sering tertawa ketika membaca kisah ini. Di tengah ide kocak sang Nenek, terselip berbagai pesan berharga yang membuat saya manggut-manggut mencoba memahami. Tokunaga tinggal selama delapan tahun bersama Nenek Osano di Saga. Tokunaga belajar banyak dari sang Nenek. Ia bahkan bersyukur karena Ibunya telah mendorongnya meninggalkan Hiroshima sehingga bisa mengecap kehidupan indah dan menyenangkan di masa kecilnya. Masa kecil memang sangat menentukan kepribadian seorang anak, sehingga pelajaran yang dikecap seorang anak di masa kecilnya sedikit banyak akan mempengaruhi cara hidup dan pola pikirnya. Di bagian akhir buku ini, Yoshici Shimada yang memiliki nama asli Akihiro Tokunaga mengakui bahwa kehidupannya sangat dipengaruhi oleh ajaran sang Nenek. Ia hidup cukup dengan apa yang dibutuhkannya. Walaupun telah menjadi salah satu anggota kelompok lawak “B&B” yang tampil di panggung dan menorehkan karya-karyanya, Tokunaga mengakui bahwa cara hidupnya mengakar pada ajaran sang Nenek, cukup dengan sandang, pangan dan papan.
Menulis resensi buku ini, sangat tidak cukup mewakili gambaran kehidupan dan ajaran Nenek Osano kepada Tokunaga. Saya sangat merekomendasikan anda untuk membaca buku ini. Buku ini sangat enak dibaca, terjemahannya pun mulus. Terkadang saya merasa sedang mendengar cerita dari seorang anak kecil saking ringannya bahasa di dalam buku ini. Saya selalu menyimpan buku-buku seperti ini untuk dibaca pada saat-saat sulit, berharap mendapat kebahagiaan dan sedikit harapan, dan terimakasih untuk Akihiro Tokunaga yang telah memperkenalkan Nenek Osano kepada saya. Saya mendapat banyak hal istimewa dari cara hidupnya dan saya berharap anda juga akan mendapatkannya ketika membaca kisah sederhana penuh air mata kebahagiaan ini.
----------------------------------------------------------------------
Judul : Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)
Penulis : Yoshichi Shimada
Penerbit : Kansha Books
Terbit : April 2011 (Cetakan I)
Tebal : 264
-----------------------------------------------------------------------
Saya membayangkan Nenek Osano sebagai seorang yang kocak dengan ide-ide lucu yang membuat saya sering tertawa ketika membaca kisah ini. Di tengah ide kocak sang Nenek, terselip berbagai pesan berharga yang membuat saya manggut-manggut mencoba memahami. Tokunaga tinggal selama delapan tahun bersama Nenek Osano di Saga. Tokunaga belajar banyak dari sang Nenek. Ia bahkan bersyukur karena Ibunya telah mendorongnya meninggalkan Hiroshima sehingga bisa mengecap kehidupan indah dan menyenangkan di masa kecilnya. Masa kecil memang sangat menentukan kepribadian seorang anak, sehingga pelajaran yang dikecap seorang anak di masa kecilnya sedikit banyak akan mempengaruhi cara hidup dan pola pikirnya. Di bagian akhir buku ini, Yoshici Shimada yang memiliki nama asli Akihiro Tokunaga mengakui bahwa kehidupannya sangat dipengaruhi oleh ajaran sang Nenek. Ia hidup cukup dengan apa yang dibutuhkannya. Walaupun telah menjadi salah satu anggota kelompok lawak “B&B” yang tampil di panggung dan menorehkan karya-karyanya, Tokunaga mengakui bahwa cara hidupnya mengakar pada ajaran sang Nenek, cukup dengan sandang, pangan dan papan.
Menulis resensi buku ini, sangat tidak cukup mewakili gambaran kehidupan dan ajaran Nenek Osano kepada Tokunaga. Saya sangat merekomendasikan anda untuk membaca buku ini. Buku ini sangat enak dibaca, terjemahannya pun mulus. Terkadang saya merasa sedang mendengar cerita dari seorang anak kecil saking ringannya bahasa di dalam buku ini. Saya selalu menyimpan buku-buku seperti ini untuk dibaca pada saat-saat sulit, berharap mendapat kebahagiaan dan sedikit harapan, dan terimakasih untuk Akihiro Tokunaga yang telah memperkenalkan Nenek Osano kepada saya. Saya mendapat banyak hal istimewa dari cara hidupnya dan saya berharap anda juga akan mendapatkannya ketika membaca kisah sederhana penuh air mata kebahagiaan ini.
----------------------------------------------------------------------
Judul : Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)
Penulis : Yoshichi Shimada
Penerbit : Kansha Books
Terbit : April 2011 (Cetakan I)
Tebal : 264
-----------------------------------------------------------------------
nenek hebat :)
ReplyDeletentar kapan2 deh baca ini,
iya bang..baca deh..ceritanya sederhana tpi istimewa :)
ReplyDeleteahh I know I will love Granny Osano! >,< pengen baca,.. (sambil lirik tumpukan hutang bacaan)
ReplyDeleteiya aku juga sangat suka Nenek Osano
ReplyDeleteayoo baca ana..atau bisa juga disimpan sebagai bacaan disaat lagi butuh semangat.
Setuju komen Esi, buku ini dibaca pas butuh semangat pas banget tuh, pasti tertampar :p
ReplyDelete